11. Our Last Part (END)

2K 255 50
                                    

Perlu waktu sekitar satu setengah bulan hingga akhirnya Naya berhasil mendapatkan tempat kerja baru. Menjadi staff di penginapan kecil yang berada di Magelang. Ia juga mendapat kontrakan murah yang berjarak sekitar satu kilometer dari tempat kerja. Sebenarnya penginapan tersebut menyediakan mess untuk karyawan. Tapi Naya sengaja memilih untuk mencari tempat tinggal sendiri.

“Kamu yakin akan tinggal di tempat ini?” Wendy bertanya ragu seraya menatap sekitar. Kontrakan Naya yang sekarang lebih kecil dari apartemen yang selama ini ia tempati. Tidak ada barang mewah di sana. Hanya dipan mungil, satu lemari baju berukuran sedang, meja ruang tamu dari kayu, televisi berukuran lima belas inch di pojok ruang. Dapur dan kamar mandi pun berada dalam satu ruang.

“Lumayan nyaman, kok,” jawab Naya seraya meletakkan tasnya di atas ranjang lalu menatap sekitar. “Sewanya juga murah.” Ia melanjutkan seraya membuka lemari dan mulai menata beberapa baju.

“Kamu tak berencana tinggal di sini lama, kan?” Wendy duduk di pinggir ranjang.

Naya tersenyum. “Sejujurnya, aku berniat menetap di sini. Maksudku, pekerjaan sebagai staff di sebuah penginapan bukan hal buruk. Aku suka. Jadi, tak ada alasan untuk pindah, kan? Aku juga sudah bicara dengan orang tuaku tentang hal ini dan mereka tak keberatan.”

“Lalu apartemenmu?”

“Kamu urus saja. Atau kamu sewakan, terserah. Lagipula, apartemen itu dulu dibelikan Aron. Aku hanya membantu sedikit. Jadi, sekarang aku merasa tak punya hak. Selain itu, teramat banyak kenangan di tempat itu yang tak ingin kuingat lagi.”

Mendengar penuturan Naya, Wendy tak kembali bertanya. Ia juga tak suka membahas tentang masa lalu, terutama tentang Aron. Karena dapat ia lihat, setiap kali nama itu melintas, kedua mata Naya selalu basah.

“Ngomong-ngomong, Joe bagaimana?” Wendy mengalihkan topik pembicaraan.

Kali ini terdengar Naya tertawa geli. “Dia ada di sebelah,” jawabnya.

Wendy mengernyitkan dahinya. “Di … mana?”

“Di sebelah.”

“Hah?”

“Ia membeli rumah tepat di sebelah rumah kontrakan ini.”

Wendy terbelalak. Sejurus kemudian ia tertawa. “Astaga, nekat sekali dia.”

Naya manggut-manggut. Awalnya ia kira Joe bercanda perihal keinginannya untuk mengikuti dirinya. Ternyata, pria itu serius. Termasuk punya tempat tinggal tepat di sebelah Naya berada.

“Ada pria seperti Joe di sisimu, kamu benar-benar beruntung, Nay. Dulu aku mengenalnya sebagai sosok playboy gemar pesta. Sekarang, ia berubah. Melihat apa yang ia lakukan untukmu, aku yakin sekali kalau  perasaannya padamu begitu serius.”

Naya menarik napas lalu ikut duduk di samping Wendy. Ia manggut-manggut. “Kamu benar, Wen. Aku beruntung sekali ada dia sisiku. Andai ia tak ada, entah apa yang akan terjadi padaku,” ucapnya.
“Setelah sempat berdarah-darah dengan apa yang Aron lakukan, Joe datang dengan harapan baru. Tadinya aku takut berandai-andai, tapi sekarang, aku tak takut lagi untuk merancang masa depan bersamanya.” Ia melanjutkan.

“Kudengar kamu juga sudah diperkenalkan pada orang tuanya?”

Naya mengangguk.

“Kereeennn. Joe benar-benar sigap.” Wendy bersorak.

“Dan dia juga bersedia menunggu sampai aku benar-benar siap untuk, yeah, begitulah, komitmen yang lebih serius.”

Wendy meraih tangan Naya dan menggenggamnya erat. “Tidak apa-apa, pelan-pelan saja sampai semua benar-benar membaik. Aku akan selalu mendoakan untuk kebahagiaan kalian.”

WeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang