08. I Love Blue

2K 269 50
                                    


Naya kembali dari tempat parkir dengan langkah gontai. Meninggalkan Aron yang tampak rapuh dan berderai air mata di sana.
Lagi, rasanya ada yang berserakan di dadanya.
Sudah cukup apa yang pria itu lakukan padanya. Dan kenapa sekarang ia malah mengungkapkan bahwa Chaca sakit? Apa yang Aron harapkan?

"Joe..." Naya memanggil serak ketika dilihatnya lelaki itu berdiri menungguinya dengan sabar  di depan pintu apartemen.

Melihat kedatangan Naya, Joe menyambutnya dengan senyuman lembut penuh arti. Tanpa mengucap sepatah kata, pria itu beranjak mendekati Naya, merentangkan tangan, lalu memeluknya erat. 
Ia tahu, hanya ini yang dibutuhkan olehnya, bukan yang lain.

Tak butuh waktu lama, lagi-lagi Naya menumpahkan isak tangisnya di sana, di dada Joe.

°°°

Dua pria itu saling tatap sejenak lalu sama-sama tersenyum kaku.

"Apa aku mengganggu?" Joe menyapa dengan pertanyaan. Siang itu ia sengaja berkunjung ke kantor Aron. Rasanya sudah lama sekali ia tak ke sini. Biasanya ia rajin sekali mengganggu Aron di tempat kerjanya. Atau kadang Ia akan segera meluncur ke apartemennya. Tapi karena tahu Aron tak tinggal sendirian lagi, rasanya akan sangat canggung kalau ia berkunjung ke sana.
Joe sendiri tak tahu apakah persahabatan mereka masih baik-baik saja setelah apa yang terjadi.

"Tidak. Masuklah." Aron seolah memberi titah pada Joe yang masih menyandarkan bahunya di kusen pintu. Lelaki itu manggut-manggut sambil menyeret kakinya pelan, lalu menjatuhkan pantatnya di sofa.

"Mau minum apa?" Aron bangkit, beranjak menuju lemari pendingin yang berada tak jauh dari sofa tempat Joe berada.

Joe menggeleng. "Tak usah, aku hanya sebentar," jawabnya.

Aron terkekeh kaku, tapi tetap saja Ia mengambilkan Joe minuman dari lemari pendingin di ujung ruangan.
"Atau kau butuh yang hangat? Aku bisa meminta orang untuk membuatkannya untukmu?" Aron berujar sambil meletakkan dua kaleng minuman ke meja. Setelah itu, ia duduk di sofa di sisi Joe.

"Tidak, ini saja sudah cukup," jawab Joe sambil meraih kaleng minuman di depannya, membuka penutup, lalu menenggaknya sedikit walau sebetulnya ia tak terlalu haus.

"Jujur aku tak menyangka kalau kau akan berkunjung ke sini. Kupikir, hubungan di antara kita, well, begitulah. Tak begitu baik akhir-akhir ini."

Aron seolah siap memulai obrolan serius antar lelaki. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran sofa seraya melirik sekilas ke arah Joe. Pria itu menarik napas lelah.

Joe balas menatap pria itu sekilas lalu meletakkan minumannya ke atas meja.
"Nana menceritakan padaku soal Chaca," ucapnya.

Aron tak terlihat kaget. Ia sudah menduga bahwa perempuan itu pasti menceritakannya pada Joe. Ia hanya terganggu mendengar panggilan 'Nana' untuknya.

Sejak dulu ia tak suka Joe memanggil Naya begitu. Panggilan itu terdengar... Intim.
Dan ia benci setengah mati.

"Jadi benar kalau dia sakit?"

Aron mengangguk tanpa ragu. 
"Dia harus bolak balik melakukan pengobatan di rumah sakit," ucapnya.

"Aku turut sedih. Semoga Chaca segera sembuh," ujar Joe.

"Terima kasih." Kali ini Aron menjawab tulus.

"Jika kamu butuh dokter ataupun rumah sakit terbaik, kamu tinggal bilang padaku. Barangkali saja aku bisa membantu." Joe mencoba menawarkan bantuan yang sudah pasti disambut gelengan oleh Aron. 
"Akan kuurus sendiri," jawabnya mantap.

Keheningan menyelimuti ruangan. Joe menatap kaleng minuman di atas meja, sementara Aron sibuk menatap arah lain.

"Aron, soal aku dan Nana..."

WeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang