Part 1

20.2K 716 12
                                    

#AKU_BUKAN_MADUMU

[MAS PULANG! ATAU AKU AKAN MATI!]

Seketika tubuhku membeku, pesan itu baru saja kuterima dari ponsel lelaki yang baru saja menjadi suamiku. Pesan dari seorang wanita bernama Agni, wanita berambut hitam terlihat anggun di foto profilnya.  Ah tidak, bagaimana mungkin Mas Aryan berbohong. Pesta meriah yang melibatkan dua keluarga besar baru saja usai, pesta yang sejak sebulan lalu sudah dipersiapkan dengan acara adat jawa juga pengajian yang sakral tak mungkin sebuah kebohongan, aku menghela napas berusaha berpikir tenang dan tak larut dalam emosi sesaat.

Berulang kali aku menelan saliva, dadaku kembang kempis berusaha mengatur diafragma yang berantakan. Kebaya putih masih melekat ditubuhku, bahkan ranum tubuhku pun belum lelaki itu sentuh. Sementara Mas Aryan sibuk membersihkan diri di kamar mandi. Di dalam kamar beraroma melati dengan taburan bunga mawar merah di atas ranjang aku termangu. Ragu. Hingga kemudian ada napas yang menyelimuti batin, ragaku mengendur lemas ketika pesan kedua terdengar. Rasanya takut untuk membaca, aku ragu tapi aku sudah menjadi istrinya.

Ponsel yang sejak tadi ia simpan di laci nakas begitu rapi, akhirnya terlihat denganku saat ku tak sengaja mencari tisu di dalam kamarnya. Aku diam, Mas Aryan sepertinya masih lama di kamar mandi, kubuka kembali.

[MAS ARYAN! AKU AKAN LONCAT KALO KAMU NGGAK DATANG!]

Hatiku semakin panik, drama apa ini? Siapa Mas Aryan? Mengapa aku bisa bodoh. Lelaki yang sejak lima tahun lalu kucinta, lelaki yang selalu dielu-elukan keluargaku. Dia Mas Aryan, lelaki yang setauku tak pernah mengecewakan keluarganya juga tak pernah berbuat macam-macam seperti lelaki kebanyakan atau dua adik lelaki lainnya. Tapi kenapa Mas Aryan? Anganku teringat ketika dua bulan lalu akhirnya Mas Aryan datang bersama keluarganya untuk melamar, hatiku terbang, bagai bintang terang yang bersinar di cuaca mendung hingga kemudian langit hitam berubah menjadi biru yang cerah. Cahaya hatiku menyinari seluruh isi ruang, keluargaku juga keluarganya pun mengharapkan pernikahan ini.

Lalu apa yang terjadi malam ini? Apa? Buru-buru aku kembalikan ponsel Mas Aryan ketempatnya. Kemudian aku termangu ketika suara shower perlahan terdengar meredup, dan tak lama lelaki yang baru saja sah menjadi suamiku keluar, ia kenakan handuk kimono seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Sementara aku diam dan terus mematung membelakanginya.

“Kamu nggak mandi, dek?” tanyanya dan aku masih diam, mencoba menerka isi pesan yang baru saja kubaca. Perlahan terdengar suara derit lemari, ia seperti baru mengambil pakaian kemudian memakainya. Hatiku sesak hingga kemudian perlahan air mata menetes, entah harus mulai dari mana? Atau aku harus katakan dan bertanya kemudian merusak malam yang seharusnya menjadi malam terindahku bersamanya? Napasku semakin cepat dan tak beraturan, aku bangkit, kebaya putih dengan kain sepan masih membuatku sulit melangkah. Perlahan aku berjalan dan masuk ke dalam kamar mandi.

“Aku harus berani, tanyakan … tanyakan,” gumamku seraya melepaskan hijab dan kembang melati yang masih menempel. Air mataku merusak celak hingga membuat kelopak mata semakin gelap, kucoba menata hati. Kemudian keluar kamar dan masih mengenakan gaun yang sama, hanya saja hiasan melati telah terlepas. Mas Aryan terlihat kelelahan ia rebahkan dirinya di atas ranjang, dan tak sedikitpun juga ia mengamatiku. Seharusnya aku sudah bisa membaca hal ini sejak awal, bodoh! Kenapa aku terima pinangannya. Tapi, jika aku tak memberitahunya bisa saja esok akan ada kabar seorang wanita yang akan mati karena melompat, entah melompat dari mana? Mungkin dari gedung tinggi atau kamar apartementnya.

“Kamu sudah selesai?” tanyanya setelah mengerjapkan mata. Ia bangkit kemudian duduk memandangku, sementara aku menoleh dan menunduk.

“Sini, duduk,” pintanya dan tak kuhiraukan hingga ia menarik lenganku dan kini aku duduk di sampingnya.

“Kamu kenapa?” tanyanya seraya menggamit jemariku, ia tarik kemudian ia cium hingga membuat hatiku berdesir. Kupejamkan mata, hingga kurasakan ia meletakkan tangannya di ubun-ubunku kemudian melafazkan sebuah doa. Air mataku mengalir, pikiranku kacau, Mas Aryan telah berdusta, bohong. Ini tak bisa dilanjutkan, ku tarik napas panjang.

“Pergi Mas!” rutukku seraya mendorong tubuhnya, ketika kurasakan embusan napasnya terasa dekat dengan wajah. Aku harus menyelamatkan harga diri sebelum semua berakhir, setidaknya aku harus tahu apa isi pesan yang baru saja kubaca. Siapa wanita berambut hitam sebahu bernama Agni? Aku harus tahu sebelum ia merasakan ranumku.

“Kamu kenapa, Dek?” tanyanya. Wajahnya pucat sama pucatnya dengan wajahku. Aku mendengkus kemudian bangkit, menghela napas panjang sebelum akhirnya aku mengempaskan tubuhnya ke ranjang saat tangan Mas Aryan menarik lenganku untuk kembali duduk di sampingnya.

“Mas sebaiknya pergi!”

“Pergi? Pergi ke mana? Maksudmu apa Lan?”

“Pergi … karena kekasih mas yang bernama Agni akan segera lompat dan bunuh diri!”

Matanya terbelalak, seketika pucat dan buru-buru ia mengambil ponsel di laci nakas tempat ia sembunyikan sebelumnya. Ia buka, kemudian seketika panik mendera. Bangkit dari tempat tidurnya berganti pakaian hingga perlahan senyap, suamiku pergi meninggalkanku. Tubuhku roboh, malam itu entah aku yang dikhianati atau gadis yang bernama Agni yang jelas hatiku terluka, pedih.

Mas Aryan malam ini adalah malam pernikahanmu juga malam perpisahan bagiku. Buru-buru aku membersihkan diri di kamar mandi, membuka gaun kebaya yang memiliki simbol kelembutan juga keteguhan perempuan, menggantinya dengan abaya hitam pemberian Bue juga hijab yang senada. Malam itu, ketika semua keluarga Mas Aryan tengah terlelap letih setelah pesta besar, diam-diam aku keluar. Pergi meninggalkan kediaman Ganendra.

Hampir dua jam perjalananku dari Kertasura menuju Tawangmangu, Karanganyar. Aku pergi memberanikan diri menggunakan taksi, daerah perbukitan, udara semilir menerbangkan air mata juga sedikit menyejukkan hati yang kian memanas. Aku tiba di rumah, Bapak adalah tokoh agama di desa kami. KH. Hadi Soenggono, nama Bapak. Cukup terkenal hingga ke desa sebrang karena pengaruhnya di bidang pemberdayaan umat dan karena Bapak jugalah akhirnya aku menikah dengan Mas Aryan. Kepulanganku tak boleh ada satupun yang tahu, aku tak ingin nama Bapak menjadi taruhan.

Kukenakan kain untuk menutupi wajah, kemudian senyap melangkah ke arah rumah hingga terlihat plank Pesantren Al Fatih kini terlihat jelas di mata, buru-buru aku turun, dengan membawa koper mini kemudian perlahan masuk ke dalam. Sepi.

“Loh … Mba Wulan, kok pulang?” Suara Sri, pembantu di rumah yang sudah kami anggap keluarga  terdengar dari arah tak terduga.

“Wulaan ….” Bue! Ya Allah … ingin rasanya aku berlari ke pelukannya dan menceritakan semua masalahku padanya.

“Suamimu mana Nduk? Kok malam-malam begini? Nopo toh nduk?”

“Bue ….” Tak tahan aku lari kemudian menangis di pelukan.

“Ono opo toh, Nduk?”

“Bue ….”

“Wulan kangen Bue, belum terbiasa di rumah.” Aku melengos, mendadak, mataku terbelalak, suara Mas Aryan menyambar begitu saja. Lidahku kelu, tubuhku gemetar, kemudian menoleh ke arahnya melihat dirinya sedang sibuk mengeset kaki di atas keset.

“Oalah … yo wis, malam ini kalian nginap di sini. Besok kamu harus kembali ke rumah suamimu ya Nduk.”

“Nggih Bue …,” jawabnya dan aku tahu itu semua hanya sandiwara.

Aku diam, mematung. Melihat wajah Bue yang terlihat bahagia, tak tega rasanya jika harus bercerita masalahku. Lagian toh aku sudah dewasa dan kedua orang tuaku sudah begitu tua, bagaimana jika mereka syok mendengar kejadian yang kualami.

Aku mematung hingga tak lama Mas Aryan datang kemudian merengkuh pundakku, aku empaskan tangannya kemudian berjalan menuju kamar, dan Mas Aryan mengikuti dari belakang.  Hingga tiba di kamar, ia biarkan pintu terbuka kemudian memeluk tubuhku erat dari belakang.

“Aku mohon lan, orang tua kita sudah tua. Papih sudah sakit-sakitan, aku mohon jangan ceritakan masalah ini kepada mereka,” bisik Mas Aryan membuat emosiku semakin memanas.

"MasyaAllah … pengantin baru, romantis,” teriak Sri dan Bue berbarengan.

Seketika napas tersengal, mataku berkaca-kaca suara kegembiraan terdengar nyaring di telingaku. Ingin marah, tapi tak berdaya. Yang dikatakan Mas Aryan pun benar, kedua orang tuaku sudah renta. Lalu aku harus apa?


Aku Bukan MadumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang