Part 8

13.8K 699 62
                                    

#AKU_BUKAN_MADUMU
#PART_8

Mas Aryan yang budiman, Wulan bukan lagi adikmu. Jangan sebut lagi Wulan dengan sapaan Dek, atau apapun. Sebagai wanita berstatus sah istri di hadapan Allah, Wulan mohon diberikan keridhaannya untuk keluar dari rumah. Izinkan, dan besarkan hati agar malaikat tak mengutuk setiap langkah Wulan.
===

"Nduk ... barang-barangmu yang di kolong kasur itu, sayang mau Bue buang."

"Loh, terus di mana Bue?"

"Yo ... masih di kamarmu, toh."

Mulutku menganga, "titip Bue ...." Aku berlari melesat bagai meteor, berharap Mas Aryan tak membuka kardus yang dimaksud. Kubuka pintu dengan kasar, dan benar saja. Mas Aryan terlihat tertangkap tangan sedang memegang fotonya sendiri di tangan. Aku menarik napas, berjalan pelan kemudian merampas dari tangannya.

"Mau dibawa ke mana, Dek."

"Mau Wulan buang."

"Jangan."

"Ini punya Wulan kok, terserah Wulan mau diapakan."

"Dari pada dibuang, mending dikembalikan lagi ke orangnya."

"Nggak!" ucapku seraya memeluk kardus dan berusaha membawanya.

"Jangan ...," balasnya seraya mengambil kembali kardus di pelukanku.

"JANGAN!" teriakku. Karena ada barang-barang pribadi yang cukup memalukan di dalamnya, Mas Aryan pasti sudah sempat lihat-lihat, aku malu jadinya. Ada fotonya, kamus, dan semua pemberiannya dulu.

"Jangan dibuang!"rutuknya, kemudian meletakkan kembali di samping ranjang, "Mau, mas bawa pulang."

"Ya sudah ... Wulan tak buang, Mas tak usah bawa!" kataku seraya mengambil kembali kardusnya kemudian membawanya ke kamar belakang. Aku tak mau semua kenangan tersisa nantinya, jika dibawa Mas Aryan pun aku juga tak mau nanti Mba Agni salah paham. Cinta Wulan memang besar dengan Mas Aryan, tapi insyaAllah sudah siap untuk kemungkinan terburuk. Sudah siap berpisah, siap menjadi janda. Atau sebaliknya ... amiin.

Hari ini, hariku penuh dengan Mas Aryan. Sejak pagi kami ke Telaga Sarangan, kemudian kehadirannya di rumah, bercengkrama bersama Pae, sholat berjamaah di Masjid, dan membantu Pae menyusun program pengembangan Pesantren mini yang sudah berdiri tiga puluh tahun lamanya. Sementara aku, hanya diam-diam mengamati. Diam-diam merasakan sesuatu yang beda, sempat berpikir apa hati Mas aryan sudah berbelok? Apa Allah sudah mengabulkan doa-doa ku? Secepat ini kah?

"Mas ... sebaiknya kita pulang aja, kamar Wulan sempit. Mas mau bobo di mana?"

"Ya di ranjang lah."

Ish! Maksudnya apa coba! Dia sejak tadi rebahan di atas ranjang dan tak bergeser sedikit pun. Hanya sibuk melihat ponsel dan tertawa-tertawa sendiri seperti membaca sesuatu.

"Mas! Wulan sudah ngantuk!"

"Oh, ya udah sini dek!"

Ish! Dia lanjut tertawa lagi, aku jadi teringat dengan panggilan mba Agni yang sempat tak ia angkat tadi siang, saat dia membeli oleh-oleh. Apa mungkin Mas Aryan sedang chatting dengannya, tapi jika di lihat dari caranya memegang ponsel, dia tak seperti sedang chatting atau berbicara dengan seseorang, seperti sedang membaca artikel atau apapun itu. Entahlah.

"Mas!"

"Hmmmp!" jawabnya dan terus fokus pada layar ponsel. Aku ambil tikar, kemudian selimut dan bantal lalu menggelarnya di lantai. Setelahnya kurebahkan diri karena enggan menganggunya dengan kesibukannya melihat layar ponsel. Bahagia sekali sampai terkekeh.

Aku Bukan MadumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang