#AKU_BUKAN_MADUMU
#PART_13
Dan ternyata kepergiannya membuatku rapuh, dan cinta baru bisa kaurasakan ketika rasa hilang itu ada
____
Jadi ketika aku sudah rapuh, Wulan justru pergi meninggalkanku. Padahal ada banyak hal yang ingin kusampaikan padanya, banyak kata yang ingin kuukir dan kubisikkan di telinganya. Penyesalan, kata maaf hingga ungkapan cinta yang teramat dalam. Dan ternyata kepergiannya membuatku rapuh, dan cinta baru bisa kaurasakan ketika rasa hilang itu ada. Dan ini terjadi padaku, tak pernah aku merasakan kehilangan yang sebesar ini. Malam itu, saat Aslan menghujani pukulan aku berlari ke dalam mencarinya dan Wulan tak ada, kosong. Batinku sakit lebih sakit dari perpisahan yang kurasakan bersama Agni. Ini lebih parah, hingga aku tak sanggup bernapas. Langkahku Gontai kemudian berlari keluar di tengah malam, sangat malam. Meski pandanganku kabur, darah mengalir di mulut maupun pelipis aku tak peduli. Aku hanya ingin melihatnya, itu saja.
Jalan menuju arah Tawangmangu sangat terjal, rasa lelah menjadi hilang dan hanya sebuah harapan. Darahku sepertinya tak kunjung berhenti, aku usap perlahan. Mencoba menghubungi ponsel istriku, dan tak aktif. Jalanan menanjak terjal, sebelah kanan adalah hutan liar yang bisa saja membawaku terjatuh ke jurang jika lalai. Aku pacu. Napasku tersengal, mataku berkaca-kaca berharap tak terjadi sesuatu pada adikku, kekasih yang sudah lama menungguku. Tiba di pesantren Al-Fatih, aku berlari kemudian melihat suasana yang tenang. Perlahan kuketuk pintu rumah yang begitu sederhana, rumah yang terbuat dari dinding tua, dua pilar dan lantai keramik putih yang sudah berwarna kecoklatan. Kuucapkan salam berulang-ulang hingga Kiai Hadi keluar menyambutku, karena saat itu sudah menunjukkan pukul tiga malam, dan sepertinya ia hendak menjalankan salat malam.
“Nak Aryan? … kenapa?!” ucapnya tercengang mungkin melihat keadaanku, yang berdarah-darah.
“Masuk!” lanjutnya lagi.
“Buee!” teriaknya memanggil istrinya, sementara aku terbaring di sofa kayu tempat kami biasa bercengkrama.
“Innalilahi! Nak Aryan! Kenapa toh? Malam sekali? Wulan kemana?” Bue menanyakanku banyak hal dan pertanyaan terakhir membuatku memelas. Wulan tak ada di rumah. Lalu ke mana dia?”
Bue berlari lagi ke dalam, mengambilkan air hangat dan kompres sementara aku merasa malu dengan keduanya. Aku tersungkur di lantai, meraih punggung tangan Kiai Hadi, dan menciumnya lalu menangis.
“Maafkan Aryan Pae …,” lirihku dan keduanya terdiam bingung, raut wajah mereka panik. Bue tak lama duduk di samping Pae dan aku semakin tenggelam dalam keadaan, air mataku tumpah. Merasa malu karena telah menyakiti putri mereka, merasa hina karena tak pantas disebut mereka lelaki baik. Aku terisak, hingga perlahan kurasakan tangan yang sudah berkeriput itu mengusap kepalaku.
“Bangun, Nak … ada apa?”
“Apa … Wulan tak pulang?” tanyaku membuat mereka saling menatap dan bertanya. Kemudian menggeleng.
“Kalian bertengkar?” tanya Bue cemas.
Aku diam, entah apa ini. Sebuah pertengkaran kah? Wulan tak pernah bertengkar denganku, ia juga tak pernah mencaci atau bahkan berteriak di depanku. Ini bukan pertengkaran. Ini pengkhianatan.
“Innalilahi … Wulan, kenapa bertengkar kok yo langsung keluar rumah,” kata Bue panik kemudian bangkit.
“Ini salah Aryan Bue …,” balasku membuat langkahnya terhenti.
Sesenggukan aku berusaha kuat bercerita, entah sakit atau tidak hati mereka. Aku akan mencoba tegar. Kurengkuh tangan Kiai Hadi, kemudian perlahan bercerita. Dan ketika kukatakan aku sudah menikah sebelum menikahi Wulan, Kiai Hadi menarik lengannya. Mereka terdiam, menangis. Dan aku semakin rapuh.
“Lalu di mana Wulan sekarang?” tanyanya datar, raut wajah Kiai Hadi seketika berubah dan yang kurasakan ia sangat kecewa. Aku tahu, dia diam tapi tak berkata, ia marah tapi tak ia luapkan. Begitulah orang-orang yang terbiasa mendekatkan diri pada Allah. Lelaki itu bangkit sementara Bue, menatapku dengan nanar, kekecewaan teramat nyata.
“Istirahatlah … besok kita cari Wulan, Wulan tak ke sini.”
“Apa mungkin di rumah Ramlah ya Pak?” saut Ibu panik. Aku berdiri,”di mana rumahnya Bu, biar Aryan yang cari.” Bue diam, mengambil jaket kemudian keluar rumah. Sangat panik, anak satu-satu mereka telah terluka dan itu karena aku.
“Bue … biar Aryan antar,” kataku dan dia tak jawab. Aku menunduk mengikuti, hingga kemudian beberapa anak pondok masuk ke dalam mobilku dan Bue masuk juga. Kami menyusuri satu per satu rumah sahabat-sahabat istriku, aku tahu. Dia memiliki sahabat bernama Ramlah juga Atikah, dan Kani semua tersusun jelas rapi di Diarynya. Dari setiap pintu rumah yang kami ketuk tak ada satupun tanda-tanda keberadaan istriku. Lalu ketika kami kembali ke pesantren dan salat subuh telah diadakan aku ikut salat. Setelahnya melihat wajah Kiai Hadi aku merasa malu. Perlahan melangkah ke tengah lapangan, kurentangkan kedua tangan ketika guntur menyambar gelapnya langit. Aku berdiri seperti yang pernah Kiai lakukan padaku, menangis dan membiarkan alam menghukumku, menghukum atas segala kekeliruan, menghukum atas semua kesalahan. Kiai Hadi diam, ia tak menarik tubuhku dan sepertinya ia merestui apa yang kulakukan.
Hingga terik mentari menyinari tubuhku, aku gontai. Kunang-kunang mulai hadir di mata, dan tak satupun yang datang hingga kemudian bayangan Wulan hadir, gadis mungil berusia tiga belas tahun itu datang membawakan kuminuman, aku tersedu.
***
Mataku mengerjap, aroma jahe dan melipir di indra penciuman. Dan kurasakan hangat di dahi. Sebuah kompres begitu hangat kurasakan. Kubuka mata noda jamur di sudut langit-langit seperti mengingatkanku pada sebuah tempat. Kamar Wulan, ya kamar kami. Aku mencoba bangkit, tapi tubuhku terasa berat, kepalaku terasa sakit, tenggorokan kering dan sepertinya tak sanggup untuk bangkit. Kurebahkan kembali tubuhku, kemudian teringat apa yang terjadi padaku. Kemarin setelah Bue tahu di mana keberadaan istriku, aku bersama Bue menemui Wulan. Dia berada di kediaman Bulek dan Paleknya di Gondangrejo, hatiku tenang dan lega.
Setiba di sana, rindu yang ingin kutumpahkan nyatanya meski kutahan, Wulan menolak menemuiku. Saat itu, kulihat ia pun kacau. Kelopak matanya membesar, air matanya deras. Sepertinya ia sangat sakit, tumpah sudah luka yang selama ini kuberikan padanya. Aku hanya diam mematung, mengharap iba padanya. Namun, ia bergeming. Dek, Mas kangen … maafin Mas Dek, Adek kenapa?” ingin kutanyakan tapi Wulan buru-buru masuk ke kamar. Dan setelahnya aku diminta ia untuk pulang.
Entah apa yang membuat Wulan menjadi murka, aku tak paham. Setelah mengantar Bue aku kembali ke Gedongrejo, menunggu kekasihku di dalam mobil. Melihatnya dari kejauhan, seraya menahan sakit yang begitu berat. Hingga tak lama kulihat Aslan, adikku. Hatiku bergema, air mataku menetes. Aslan datang membawakan bunga untuknya. Apa yang ia lakukan? Bukankah Wulan masih istriku? Ia datang bersimpuh di hadapan Wulan, dan aku menahan nyeri yang teramat dalam. Sangat sakit hingga sejurus kemudian sebuah pesan masuk ke ponselku.
[Aku pergi Mas, selamanya. Terima kasih atas kenangan indah juga pahit yang kautorehkan, aku pergi selamanya. Meninggalkanmu juga napas terakhirku. Agni]
Aku panik, Agni terlalu besar mencintaiku hingga apapun ia lakukan untuk mendapatkanku. Kupacu kendaraan meninggalkan Gondangrejo, berulang kali aku menghubungi Agni. Tapi tak ia angkat, aku panik. Bukan karena cinta ini karena keresahan, tak ingin aku melihatnya pergi, mengakhiri hidup yang tak seharusnya ia lakukan.
“Agni! Apa yang kamu lakukan?” tanyaku di telepon, dan hanya desahan napas yang kurasakan.
“Mas … aku tahu kamu mengkhawatirkanku, kan? Aku tahu kamu masih mencintaiku kan?”
“Agni … aku mohon, jangan lakukan apapun yang bisa mengancam jiwamu.”
“Aku mau pergi Mas, selamanya.”
“Mas, mohon hentikan!” kataku seraya menginjak rem mendadak, sebuah motor melintas di hadapan, pandanganku gelap dan perlahan suara Agni senyap menghilang.
Dan di sinilah aku. Di kamar istri tercintaku, merasa lemah kemudian menarik napas panjang. Merasakan aroma jahe dan juga kompres hangat di dahi. Berharap juga membayangkan istriku bersamaku, di sini mendampingi. Sinar mentari menerobos masuk ke sela-sela jendela, dan senyap-senyap kudengar suara yang persis istriku.
Ya, Wulan Adisa Soenggono, cinta dalam hidupku, dan kekasihku di Surga. Aku mencintainya dan selamanya seperti itu. Hingga tak lama pintu terbuka, aku menerka, mencoba membuka mata yang terasa berat, seorang wanita masuk ke dalam kamar. Ia membawa teh hangat juga semangkuk makanan di atas baki. Aromanya, gerak tubuhnya sangat kukenali. Dia, istriku Wulan. Hatiku berdesir bagai ombak, ia letakkan baki di atas nakas tua disampingku, kemudian pergi dan langkahnya terhenti setelahku meraih lengannya.
Ia diam, dan aku mencoba membuka semua pandangan hingga jelas terasa. Wulan, dia benar Wulan. Ya Allah, aku rindu denganya, rindu sekali. Ingin sekali memeluknya. Dia diam, dan tak menoleh. Hingga perlahan jemarinya melepaskan genggaman tanganku.
“Dek …,” lirihku. Dia bergeming.
“Kalo Mas sudah sehat, Mas bisa pulang. Lagian di sini nggak ada dokter. Mas sebaiknya pulang aja,” katanya ketus seraya berjalan meninggalkanku. Pedih, sangat pedih. Aku menarik napas, mencoba menahan perih. Rapuh lagi, hingga kemudian ia masuk lagi terpaksa. Sepertinya ia habis ditegur, aku tahu. Karena wajahnya terbalik. Ia duduk di sampingku, kemudian mengaduk bubur yang ia bawa tadi mengaduknya dan berusaha menyuapiku.
“Mas nggak mau makan, Dek.”
“Kenapa? Mas mau mati?” tanyanya kesal.
“Adek mau, Mas Mati?” tanyaku, dia diam dan melengos kulihat genangan di matanya tapi wajahnya tak lagi merona. Aku kehilangan, cintanya. Cinta yang selama ini ia pupuk. Cinta yang terlihat ketika pipinya merona saat di dekatku.
“Mas … makan, Wulan sudah lelah. Setelah itu mas, bisa menceraikan Wulan,” kutarik lengannya dan meletakkannya di dadaku. Menatap matanya yang bergenang, dan ia menoleh.
“Mas, tidak mau bercerai dek. Tidak mau,” kataku dan tak sadar air mataku menetes.
“Mas sudah sehat sepertinya, makan setelah itu Mas kembali pulang. Kasihan Mba Agni sejak tadi nelepon!” katanya ketus, ia letakkan mangkuk di atas nakas kemudian keluar tanpa mendengar penjelasan dariku.
Anganku kemudian kembali ke Agni? Bukankah sebelumnya ia katakan ingin mengakhiri hidupnya, kenapa saat ini ia berulang kali menghubungiku. Apa ia hanya mengancam? Entah. Buru-buru aku ambil ponsel yang Wulan letakkan di atas nakas, ku lihat panggilan tak terjawab puluhan kali masuk dan terakhir satu jam yang lalu. Wulan pasti resah, ia pasti mengira aku masih memiliki hubungan dengan Agni. Bagaimana aku menyampaikannya jika ia tak mau bertemu denganku. Apa yang harus kulakukan jika Wulan bersikuku meminta pisah, aku tak ingin berpisah dengannya. Sampai kapanpun lafaz pisah takkan terucap.
Nyeri di tubuhku masih terasa kepalaku masih terasa berat. Berjam-jam aku menunggu kekasih, dia tak kunjung datang. Hingga tak lama dia datang lagi, terburu-buru tak menatap, dan hanya meletakkan makanan. Kemudian terdiam, sangat lama melihat meja nakas. Ia mendesis kemudian duduk di sampingku.
“Mas tuh mau apa sih? Kenapa sampai sekarang belum makan juga?” tanyanya ketus. Aku hanya diam, bagaimana mungkin aku makan Dek, tanganku saja masih lemas. Hanya tanganmu yang mampu membantu, tapi bukankah ini takdir Allah? Bukankah ia sengaja membuatku menjadi lemah seperti ini agar kau datang menemuiku dan merawatku? Aku diam menatap wajahnya, wajah yang datar dan tiada senyuman sama sekali. Seperti ini rasanya jika Wulan marah, dunia seakan runtuh.
“Mas ndak bisa bangun Dek,” jawabku lemas. Perlahan ia bantu mengangkat tubuhku, dua tumpuk bantal ia letakkan di bahu. Kemudian mengambil piring yang berisi nasi dan sayuran juga tahu goreng di atasnya. Wajahnya masih datar dan seperti enggan menyuapi.
“Dek ….”
“Nyuwun ngapunten Mas, Nyuwun tulung ndak usah bicara. Wulan akan pergi jika Mas, bicara.”
Aku diam, lebih baik tak bicara daripada harus kacau lagi merindunya. Saat ia menyuapi aku gamit jemarinya kemudian membuka mulut dan dia diam saja, tiada senyuman, biasa saja.
Setelahnya, ia tak datang lagi. Wulan Adisa Soenggono, ke mana tomat di pipimu? Kenapa tak pernah muncul lagi saat bersama Mas? Apa sudah hilang rasa itu di hatimu Dek? Bukankah seharusnya kamu pertahankan seperti katamu di diary?
“Jika aku menikah dengan Mas Aryan, insyaAllah aku akan terus mencintainya sampai ajal memisahkan.” Itu katamu di diary yang mas baca, apakah sudah hilang Dek?
Malam itu, Wulan tak lagi datang ke kamar. Ia menghindar sepertinya, hingga kemudian Kiai Hadi datang memintaku, memohon untuk kembali dan membiarkan Wulan sendiri. Ia butuh waktu katanya. Aku paham, aku memang sudah merusak hatinya. Aku bangkit keluar dari kamar, kuedarkan ke sekeliling ruangan tak ada Wulan di sana. Hanya ada Bue dan Pae yang senantiasa memaksa sabar dari apa yang sudah kulakukan. Aku pulang, tapi aku janji akan kembali menjemputnya.
____
POV AGNI
Aku dan Islam. Tiada keraguan sejujurnya. Ketika bertemu lelaki yang begitu menghormatiku, menjaga marwahku aku terpukau. Semudah itu aku mencintai Islam, semudah aku jatuh hati pada suamiku Aryan. Tapi, ketika Aryan memutuskan untuk menikah lagi, hatiku sakit. Bagaimana mungkin ia menggunakan cara itu untuk menyenangkan orang tuanya sementara aku disakiti. Tak berpikirkah dia, jika aku membutuhkannya, tak tahukah dia jika ini berat bagiku? Aku tahu? Dia memiliki seseorang di sana. Aku tahu wanita yang akan dia nikahi adalah wanita yang sudah lama ia kenal. Orang tua adalah alasannya, seperti mereka yang menggunakan agama sebagai alasan untuk mendua. Poligami atau entahlah apa itu, tak mampu masuk ke tatanan anganku, semua menghancurkan harap juga impian. Seketika pandanganku tentang islam roboh, hancur aku bersedu. Malam itu ketika Salima datang ke apartment aku tak sanggup berkata apa-apa. Yang kubutuhkan hanya Aryan, hanya suamiku tapi dia justru mendatangkan orang lain untuk menenangkan istrinya.
“Mba Agni yang sabar … mungkin ini ujian Allah, agar kadar iman mba Agni bertambah. Seseorang yang menjemput hidayah kadang cobaannya macam-macam, ada yang rezekinya berkurang ada yang dijauhkan dan banyak hal, ingat Mba, hidayah Mba yang utama,” katanya dan aku ragu. Bagaimana mungkin aku menganggap hidayah yang utama jika Aryan kulepaskan. Bukankah Aryan adalah alasan utamaku menikahinya.
“Apa Allah akan mempersatukan saya dengan Aryan Mba?”
“Bukankah sudah bersatu Mba?”
“Saat ini kami belum menyatu, Aryan menikahiku tapi tidak menyentuhku. Apa itu namanya?”
“Mba … khusnudzon saja, mungkin Mas Aryan tak ingin terjadi sesuatu dengan mba. Karena kebanyakan wanita yang dirugikan dalam pernikahan siri. Yang Mba lakukan sekarang hanya taat, ikuti maunya Mas Aryan.”
Taat? Ikuti maunya? Aku seperti robot menjadi bodoh. Cukup lama aku hidup dalam kebebasan, dan kini menjadi terikat dan tak bisa bergerak. Baru saja aku mencintai cara Aryan memperlakukan wanita, dengan tidak menyentuhnya, dengan menghormatinya seketika tumbang dengan ketidaksepahamanku akan pengertian taat dan poligami. Aku benci itu semua. Wanita dijajah dalam Islam mereka tak bisa bebas, tiada kesetaraan gender dalam Islam. Dan semua itu membuatku tak nyaman. Lalu bagaimana jika aku ingin bekerja? Aku ingin ini dan itu dan semua itu haruskan mengikuti maunya suami? Lalu bagaimana dengan wanita yang memiliki suami tak sebaik Aryan, suami yang senang melakukan KDRT dan bersifat permisif pada keluarganya. Apakah istri harus taat juga? Aku tak sepaham. Aku membenci ini semua. Lalu aku menangis lagi, seperti menyesali agama yang kupeluk sekarang, tapi bagaimana Aryan?
Malam itu, aku menunggunya hingga larut dan Aryan tak kembali. Sendiri di dalam Apartment dan di kota orang, membuatku tertekan. Aku ingin membuang semua rasa ini, rindu ini begitu menyiksa, dan anganku membayangkan lelakiku bersama wanita itu bahagia bersama. Karena mereka memiliki kesamaan ideologi, restu orang tua. Sementara aku? Tersisih. Aku diam, hingga kemudian teringat dengan gereja Saint Maria yang kukunjungi kemarin, aku gundah. Aku keluar dan kembali lagi ke sana.
Dinginnya malam membuatku semakin yakin akan sebuah keputusan, bahwa bisa saja aku terburu-buru dalam menyikapi masalah. Cahaya yang Aryan katakan padaku tidak benar-benar menyinariku, lalu aku harus apa? Puluhan tahun aku percaya pada Dia yang kini di hadapan, Dia yang jelas bentuk dan wujudnya dan kini dipaksa harus mencintai Dia yang lain yang tiada wujud dan bentuknya, bahkan aku tak mampu membayangkannya. Aku diam, hingga kemudian aku kembali.
Pagi itu aku coba kembali mengikuti peribadatan, aku ingin tahu apakah hatiku benar-benar tertambat pada keyakinanku saat ini. Bukankah tak salah mencoba demi memantabkan keyakinan? Aryan tak tahu, dan aku tahu ini salah. Biarlah ia sibuk dengan dirinya juga kehidupannya, sementara aku akan sibuk dengan memantabkan keyakinanku pada Tuhan. Cukup lama aku mengikuti peribadatan, dan rasa rindu pun memang kurasakan tapi seperti ada yang mengganjal, rasa bersalah, rasa malu karena aku harus berdusta pada Aryan. Seseorang yang sudah membawaku pada keyakinannya. Haruskah aku jujur dan membiarkannya pergi? Atau aku bertahan saja dengan kebisuan ini, berpura-pura agar ia tak menceraikanku, karena nyatanya aku sulit menimbang cintaku dan cinta pada keyakinanku. Aku menangis, tertawa, bersama kerabat baruku. Tapi ada yang mengganjal. Aku nyaman dengan islamku, tapi ada yang tak benar di hatiku. Aryan tak mampu menjawab atau bahkan mebimbingku.
Aku kembali, di perjalanan. Rindu mengusik, ini adalah hari minggu dan seharusnya Aryan bisa menyempatkan untuk datang menemuiku tapi tak ia lakukan. Pagi itu, aku ke rumahnya dan tak sengaja berpapasan dengan mobilnya yang berangkat keluar. Aku ikuti, dan terus melihatnya dari kejauhan. Hingga kemudian aku terdiam, tersadar saat melihat Aryan, suamiku mengusap pipi wanita di sampingnya dan kutahu itu Wulan, istrinya. Aku melihatnya jelas saat mobilnya menepi, dan aku menangis. Hatiku sakit, napasku sesak. Kutarik napas dalam-dalam, dan kucoba menghubunginya, ia tak angkat.
Semalaman aku menangis dan Aryan jelas-jelas menghindar, atau karena wanita itu yang kini sudah mulai berarti baginya. Oh Tuhan, kenapa aku harus berjumpa dengan Aryan jika jalannya sesakit ini? Tak sanggup, aku kirim pesan pada Wulan kemudian menemuinya.
Siang itu, Wulan terlihat lugu dan begitu polos. Tak tega sejujurnya, jika benar apa yang dikatakan Aryan bahwa ia sungguh-sungguh membantu kami, itu bisa kubuktikan lewat tatapan matanya. Tapi, saat anganku terbang melihat kejadian kemarin, hatiku terluka. Entah ada hasrat kewanitaanku yang ingin menumbangkannya. Wulan tersedu di hadapan, tiada perlawanan, tiada cacian, ia menerima apapun yang kukatakan. Jahat memang, tapi akan lebih jahat lagi jika ia terus menerus bertahan dan menyakitiku. Salah seorang harus ada yang dikorbankan, dan itu bukan aku. Dia.
Kebahagiaan memang harus dikejar, aku puas dengan apa yang kulakukan meski malu dengan apa yang baru saja terjadi. Malamnya aku kembali, kusiapkan sebuah pesta kecil untuk menyambut kepergiannya. Tapi nyatanya, malam itu menjadi malam terakhirku bersama Aryan. Aku terluka, aku mencintainya tapi ia tak memahami, ketika harus dihadapkan mana yang akan kupilih, Dia yang telah memberikanku napas atau dia yang datang menumbuhkan cinta? Aku tak mampu menjawab. Di mataku Aryan pergi, meninggalkanku.
Rasa itu hilang, terbang, aku mematung sendiri di keheningan malam dan cahaya Tuhan tak mampu menghangatkan hati. Aku dalam kebimbangan, berlari ke arahnya dan meninggalkan semua yakinku atau menetap dan kembali merasakan hangatnya cahaya. Tapi, ada keraguan di hati terdalam. Keraguan yang teramat besar akan semua hal yang pernah Aryan ajarkan, dibalik ketegasan Islam dalam memperlakukan wanita, di dalamnya ada juga keindahan yang bisa melindungi wanita dari kekejaman dunia, dan semua itu pernah Aryan tunjukkan. Aku diam dan tersudut, Aryan sudah menceraikanku, entah apa mungkin aku bisa mendapatkannya kembali? Atau aku kembali pulang saja? Meninggalkan semua yang sejujurnya aku pun ragu. Islam atau Aryan yang sebenarnya berat di hatiku? Aku menangis, dalam hening mencoba menerobos cahaya yang perlahan mulai tertutup.
____
Kisah Aku bukan madumu, tidak sekedar berkisah tentang cinta yang terbagi, tapi juga mengkisahkan tentang beratnya hidup dalam menggapai kalam Ilahi. Agni dengan segala keangkuhan juga aktivitas sosialnya, justru ragu akan hatinya. Islam atau Aryan yang ia inginkan, dan semua itu hanya bisa kamu dapatkan di Novel.
Berapa jumlah Part di Novel? Ada 36. Terdiri dari 87ribu kata. Tebal.
Harga PO 95ribu. Segera diorder sebelum kehabisan. Cetak terbatas, 1000 eks dan saat ini pesanan sudah mencapai 858 orderan. Yuk sebelum kehabisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Madumu
RomanceWulan terjebak oleh rencana Aryan dan Agni. Pernikahan yang sejatinya mimpi indah seketika hanyalah sebuah mimpi buruk baginya. Aryan yang tak pernah mencintai Wulan, kini terperangkap akan sebuah dilema besar. Dilema kisah rasa yang mencabik-cabik...