Air mataku menetes, ketika lengan itu masih melingkar di perut. Lelaki ini terus menerus berbisik memohon dan di sisi lain kegembiraan Bue, melunturkan hasratku untuk mencoba terlihat natural dari jiwa yang berapi-api, berat aku menelan saliva hingga kemudian perlahan kulepas tangan Mas Aryan, kemudian tersenyum menyembunyikan rasa pada Bue lalu menutup pintu, bukan karena aku menerimanya, tapi karena aku harus bisa menyiapkan semua amunisi agar Pae dan Bue siap mendengar.“Lan ….” sapanya seraya mendekat.
“Cukup, Mas!” rutukku menjauh. Kamarku tak sebesar kamar di rumahnya, hanya ada satu ranjang berukuran 120 cm, dan cukup ditempati satu orang saja atau dua orang kurus. Tidak ada kamar mandi di dalam, tidak ada sofa, begitu sederhana sama seperti pendirian keluargaku. Ruangan ini juga bersebelahan dengan kamar orang tuaku. Jika aku berteriak atau bertengkar, pasti langsung menembus hingga terdengar ke telinga mereka. Gontai aku berjalan kemudian duduk di atas ranjang, kucoba tepis air mata, mencoba mempertahankan harga diri. Mas Aryan, lelaki yang selama ini selalu kuanggap baik, terhormat ternyata mengkhianatiku. Ia kemudian duduk di bawah, kedua tangannya lurus memegang ranjang, bersimpuh dan menunduk.
“Maafkan aku Lan … maafkan, Mas.”
Sakit hatiku, itu berarti benar. Agni nyata, dan ada wanita lain di antara hubungan ini. Kupejamkan mata, hingga tak sanggup aku menahan genangan di pelupuk mata, air itu menerobos keluar. Di hadapannya aku seperti wanita bodoh, menangis akan hal yang tak seharusnya terjadi. Kutarik napas dalam-dalam, perlahan jemari itu mengusap air mataku, kutepis. Ia coba kembali, kutepis hingga kutunjukkan bagaimana mata itu menatapnya dengan tajam, aku mendengkus, menarik napas panjang.
“Ke-kenapa? Apa salah Wulan dengan Mas Aryan? Kenapa?” tanyaku mengguratkan wajah kebencian. Tak berani aku bertanya tentang wanita bernama Agni, mengingatnya saja, hatiku remuk redam, laksana badai yang meruntuhkan kelopak bunga mawar, hingga habis tak tersisa. Hatiku sakit Mas, sangat sakit, bagaimana mungkin? Kutunggu jawaban darinya, ia masih menunduk dan bersimpuh di bawah.
“Maafkan Mas, Lan … maaf.”
Aku melengos, kemudian mengempaskan tangannya yang berusaha menghalangi. Mendadak menjadi jijik di dekatnya. Bagaimana mungkin lelaki yang sudah dijodohkan lima tahun lalu denganku ini melanggar janjinya, dia berasal dari keluarga baik-baik, keluarga terpandang.
“Lan …,” sapanya kembali menyergahku untuk tetap duduk. Ia beranikan diri kemudian menatapku.
“Wulan … adikku, maaf ....”
Aku menarik napas kemudian air mata kembali runtuh. Aku melengos, mengempaskan kembali tangannya hingga ia menangkap kembali lenganku dan menarik untuk duduk, ia masih bersimpuh dan ada air mata di dua sudut mata. Aku diam, tak ingin berteriak agar orangtuaku tak mendengar.
“Mas mohon … dengarkan Mas, setelah itu terserah Wulan mau berbuat apa.”
Aku diam kemudian menunggu ia melanjutkan bicara, dan yang tak ia ketahui adalah perlahan aku sedang mencoba menghapus setiap butiran rasa di hati, harapan di masa depan, juga mimpi indah, semua kutepis hingga berharap namanya punah, menghilang dan lenyap.
“Enam tahun Mas di luar negeri, dan selama itu ada wanita lain yang sudah mengisi ruang hati Mas, perjodohan ini pun sejujurnya tak pernah mas inginkan, Agni adalah orangnya. Dia orang yang mas cintai sejak lima tahun lalu, dan ….”
Deg! Perih. “Dan apa?”
“Mas sudah menikahinya.”
Bagai tersambar petir, ragaku lemah, ingin rasanya aku menancapkan sembilu di dada, mengakhiri hidup segera. Mas Aryan, jahat! Pengecut! Wajahnya ingin segera kuludahi dengan liur yang kini bercampur dengan air mata. Aku sesenggukan di hadapannya semakin membuatku terlihat bodoh. Aku harus apa? Ya Allah … kenapa nasibku begitu berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Madumu
RomanceWulan terjebak oleh rencana Aryan dan Agni. Pernikahan yang sejatinya mimpi indah seketika hanyalah sebuah mimpi buruk baginya. Aryan yang tak pernah mencintai Wulan, kini terperangkap akan sebuah dilema besar. Dilema kisah rasa yang mencabik-cabik...