PART 9

10.9K 472 11
                                    

#AKU_BUKAN_MADUMU
#PART_9
#POV_ASLAN

Wulan, tetaplah gadis terhormat yang pernah kukenal. Bahkan untuk berbicara denganku saja dia enggan. Meski luka telah ia terima, jiwa dan raganya mungkin hanya bisa terbuka untuk suaminya. Aryan.
====

[Nak, pulang. Mas mu, minggu depan nikah] Pesan dari Ibu kuterima, dan aku pun cemas memikirkannya. Cemas memikirkan Wulan. Adikku yang juga tak bertemuku cukup lama, lima tahun kami berpisah, dan bagaimana kabarnya, sudah seperti apa dia, aku tak tahu. Tapi yang jelas, aku cemas. Berharap Aryan bisa membahagiakannya seperti dulu saat ia menganggapnya adik.

Setelah berpikir panjang akhirnya aku kembali. Gelar BBA pun sudah kuraih meski tak tahu akan kugunakan atau tidak. Pagi itu, tiada Wulan maupun Aryan. Mereka pergi entah ke mana. Bapak dan Ibu menyambutku biasa saja, tak seperti menyambut Aryan atau Ardi. Karena aku tahu, aku satu-satunya anak yang tak bisa membuat mereka bangga. Bagaimana tidak, pengamen diminta buat jadi pembisnis, aku tak bekerja, aku sibuk mencipta karya dan lagu. Pagi itu, terdengar suara Wulan dari luar, dan begitu saja hatiku mengembang senang. Senyum di wajahku terangkat, buru-buru aku ke depan, kemudian melihat Wulanku. Ya Tuhan, dia yang hitam kini putih dan cantik, matanya bulat, pipinya gembil dan satu lagi wajahnya tak berubah masih sama seperti dulu kekanak-kanakkan.

“Surprise!” teriakku mengejutkannya. Dan wajahnya begitu senang melihatku, raut rindu tergambar jelas di matanya yang bekaca-kaca. Tapi, ada yang aneh. Ia tak berani menatap suaminya sendiri, atau bahkan mendekati.

“Kak Aslan!”

“Maaf ya, aku nggak dateng ke nikahan kalian. Selamat ya Lan. Wulan udah besar sekarang ya, udah nggak bisa kakak godain donk,” kataku meledek, dan dia tersenyum lebar ke arahku.

“Ia kak. Nggak apa-apa,” balasnya seraya berjalan menuju dapur dan aku mengekor di belakangnya. Wulan masih seperti dulu, tak berubah. Urusan dapur menjadi hobinya dan cerita lucuku menjadi hal yang paling ia rindukan katanya. Cukup lama kami berbincang-bincang dan tertawa di dapur, rinduku terbayar sudah, aku merindukannya sangat. Jika ia bukan Wulan, aku mungkin sudah memeluknya seperti teman wanitaku yang lain. Tapi ini Wulan, gadis cilik yang sejak dulu sudah sok tua seperti ustadzah, gemar menasihati dan bahkan menunjukkan sikap terhormatnya tanpa suka menyentuh atau bahkan menolak ajakanku naik motor bersama.

“Dek, Lan.” Aryan datang memanggilnya, aku diam dan Wulan wajahnya datar. Tak seperti yang pernah ia katakan dulu padaku, “Nanti kalo Wulan menikah, Wulan akan terus tersenyum di hadapan suami, biar makin sayang dia,” katanya dulu saat kami berbincang-bincang soal pasangan dan hari itu aku terkejut.

Dia Wulan Ayudisa Soenggono, adik perempuan yang selalu menjadi bintang di rumah. Menjadi kebanggan meski bukan berasal dari keluarga kami. Wulan, atau Adis panggilan yang biasa kugunakan dulu untuknya. Gadis lincah dan penuh semangat, memiliki kepribadian alim juga faqih kata orang tuanya. Ya, itulah Wulan. Gadis yang selalu memberikanku wejangan, memberi semangat ketika dulu sebelum menikah.

“Mas, mbok yo berhenti merokok, nanti jodohnya susah loh! Badannya Mas kan nanti bau, gigi mas kuning, ih … siapa yang mau coba?” tanyanya dulu lucu ketika ia masih sekolah tingkat akhir.

“Kan ada Wulan,” kataku menjawab datar. Dan dia, hanya manyun meledek. Padahal aku serius. Ya, aku sangat serius. Siapapun pasti bermimpi memilikinya. Sifat menyenangkan, juga manutnya membuat Wulan menjadi menggemaskan di antara puluhan wanita yang saat itu mendekat. Pacarku banyak, Wulan tau itu. Tapi calon istriku, hanya dia. Inginku.

“Mas, ojo pacaran terus toh Mas. Dosa!” katanya dan ketika kujawab, “ya, udah … nikah langsung aja gimana Dek?”

“Sama sopo?”

Aku Bukan MadumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang