Part 7

11.7K 549 26
                                    

#AKU_BUKAN_MADUMU
#PART_7
"Tresno sing dilandasi karo Gusti Allah mesti dalan ya gampil, Nduk. Ning, nek mboten kalih Gusti Allah, dalan e angel." [Cinta yang didasari karena Allah itu, jalannya mudah Nduk. Tapi, kalo diniatkan karena selain Allah, jalannya susah.]

https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2573390372682467&id=100000345884293
====

Terdengar dering ponsel di atas nakas memecah ketegangan di hati karena sebentar lagi Mas Aryan akan datang dan mengajakku pergi seperti katanya. Ya, meski hanya lari pagi. Tapi kenapa aku senang sekali, ya Allah maafkan aku. Maafkan aku yang belum juga bisa menghilangkan rasa. Pelan langkahku menuju ponsel.

"Assalamualaikum, Dek."

"Waalaikumsalam, Mas."

"Gori masih ada?"

"Ada."

"Siapin ya."

"Ya." Aku tutup telepn, apa maunya Mas Aryan menelepon hanya menanyakan Gori. Aneh, apa ia lapar. Bukankah kita berencana pergi untuk lari pagi. Aku beranjak ke dapur, dan tak lama telepon kembali berdering, buru-buru aku kembali ke kamar.

"Dek."

"Ya."

"Gorinya taruh di rantang."

"Kenapa?"

"Udah, ikutin aja ya."

"Nggih."

Mas Aryan memang aneh, sejak dulu selalu bisa membuatku tertawa karena sikapnya yang sulit ditebak, sangat sulit hingga tak tahu apa yang ia rasakan untuk Wulan. Aku kembali ke dapur, mencari rantang dan tak lama telepon kembali berdering, aku berlari lagi ke kamar.

"Dek."

"Apa lagi sih Mas?"

"Selain Gori ada apa?"

"Botok."

"Yo wis, itu juga masukkin sekalian."

"Kenapa nggak sekalian aja sih, Mas. Kan Wulan cape mondar-mandir."

"Yo, kenapa kamu nggak bawa Hpnya aja, Dek."

"Ish! Lagi diisi batrainya mas!"

Aku tutup kesal seraya mencabut kabel sambungan pengisi batrai. Mas Aryan meledek. Ya hanya meledek, memangnya aku apa? Apa karena usiaku yang terlalu muda, jadi Mas Aryan tak bisa bersikap serius padaku. Aku juga ingin diperlakukan seperti wanita lain, dianggap, dicintai layaknya sepasang kekasih. Ah bodoh, Wulan memang bodoh. Dering ponsel kembali terdengar, ish!

"Opo meneh!"

"Loh kok, marah-marah. Jelek!"

"Biarin."

"Yo wis." Kali ini ia yang tutup, sementara aku lanjutkan apa yang ia pinta. Dan tak lama lagi-lagi telepon berdering.

"Dek."

"Opo meneh toh mas!" terdengar suara geli di ujung telepon, membuatku kesal. Kututup teleponnya, dan tak lama ia hubungi kembali.

"Kok ditutup?"

"Ya, Mas Aneh. Mau ngomong kok sepotong-potong. Wis sekalian, maunya apa?"

"Ada apa lagi di dapur?"

"Semua udah Wulan masukkin, Sambel kecap, tahu goreng, kerupuk, nasi, apa lagi?"

"Nah gitu donk ... kalo Wulan, bisa nggak dimasukkin sekalian ke rantang."

"Ish!" aku menutup kesal sambungan telepon kemudian menoleh dan mendadak wajahku memerah, dadaku berdegup cepat. Mas Aryan ada di belakangku, bersandar pada pintu dapur, tersenyum lebar membuat hatiku luntur seperti air pengunungan.

Aku Bukan MadumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang