PART 11

11.6K 474 8
                                    

#AKU_BUKAN_MADUMU
#POV_ARYAN_PART_11
Agni, cintanya turun dari mata kemudian menuju hati.Sedang, Wulan, cintanya turun dari langit dan langsung menembus hati.
----
Kupejamkan mata, merasakan bagaimana deburan uji yang kini masuk ke dalam setiap hidupku. Aliran hidupku yang berliku membuatku semakin tak mengerti akan apa yang terjadi dalam hidup. Rasa yang tumbuh akan Agni begitu natural, namun seperti ada ratusan peluru dari langit yang menghalangi kami untuk bersama. Ratusan peluru yang ditembuskan melalui alunan doa yang begitu merdu dari mulut mungilnya. Wulan.

Hingga kemudian jalan bersamanya menjadi mudah, jalan hatiku pun semakin mengalir dan hanya untuknya. Doa seperti apa yang kau hajatkan, keinginan apa yang kaupinta pada Allah. Mengapa kini ku bertekuk lutut hanya padamu, adikku yang tak pernah ada di hati, dan kini semua memenuhi ruang hati. Agni, cintanya turun dari mata kemudian menuju hati.Sedang, Wulan, cintanya turun dari langit dan langsung menembus hati.
***
[Mas Aryan ada yang ingin saya bicarakan] Pesan Salima masuk ketika aku sedang bercengkrama bersama Wulan di dapur.

“Mas Aslan yang bantuin aku semalaman Mas,” kata Wulan seraya mengambilkan sarapan. Aku cemburu. Hingga tak lama Aslan datang kemudian perlahan duduk di hadapan. Aku pun tahu adik lelakiku menyimpan rasa pada istriku. Tapi bagaimana? Aku tetap tak bisa mengingkari janjiku pada Agni, meski hatiku kini terbang ke arahnya. Wulan masih ketus aku tau, dan ku pun berusaha menjaga jarak darinya, walau aku seperti orang bodoh yang menyia-nyiakan cintanya.

Wulanku, begitu sabar, ucapan dan wajahnya selalu memberikan keteduhan. Cukup membuat hati dan batinkku tenang. Tapi aku bisa apa? Aku akan dicap apa jika harus meninggalkan Agni, aku harus pilih salah satu di antara mereka. Wulan, memiliki Aslan yang mencintainya, memiliki orang tuaku, juga keluarga yang selalu memberikan nilai-nilai positif padanya. Tapi Agni? Dia milik siapa? Selain aku? Lalu aku pun meringis ketika Wulan melayaniku dengan segelas teh tubruk hangat yang ia letakkan di atas meja. Senyum manis Wulan, perlahan membawa rasa menjadi terombang-ambing. Jutaan malaikat kini seperti mengamini doanya, hatiku benar telah berpindah. Untuknya. Lalu siapa yang akan berdiri bersamaku? Disaat aku harus mengorbankan rasa demi janji yang kubuat bersama Agni.

“Lan, Mas juga mau donk diambilkan sarapan,” kata Aslan tidak sopan. Ada aku tapi dia menyuruh istriku.

“Ndak usah Dek,” jawabku ketus. Kemudian Wulan linglung dengan langkahnya, piring berisikan makanan di tangan tapi matanya menatap takut padaku.

“Kamu sudah besar, kan, ambil sendiri,” lanjutku ketus pada Aslan yang menatapku dingin. Entah apa yang membuat Aslan terlihat terobsesi sekali pada Wulan, apa ia sedang mengujiku atau ia tahu masalahku? Aku masih suaminya dan seharusnya dia menghormatiku.

“Biasa saja, Mas. Ini hanya makanan,” jawabnya menyeringai ia bangkit mendekati wajahku kemudian berbisik, “tapi suatu saat … bukan makanannya, tapi ….”

“Kurang ajar kamu!”

“Mas!” teriak Wulan seraya menarik tubuhku yang hendak melayangkan pukulan ke wajahnya. Wulan memeluk tubuhku, refleks mengusap dadaku yang kembang kempis karena emosi, “maafkan Wulan Mas, maaf … harusnya Wulan bertanya, maaf,” katanya berkaca-kaca. Kemudian aku melihatnya, aku pun sebentar lagi bukan suaminya. Mataku berkaca-kaca, napasku tersengal, aku usap wajahnya dengan lembut kemudian pergi meninggalkan mereka. Aku bisa apa? Melihat sikap Aslan hatiku sakit, anak itu sejak dulu tak pernah berubah selalu bersikap tak sopan dan jauh dari nilai agama. Ia seharusnya paham bahwa Wulan istriku, dan dia seharusnya tau bagaimana memuliakannya.

Aku tinggalkan rumah menuju kediaman Salima. Seorang mubalighot yang kuberikan ukhro untuk mengajarkan Agni selama aku tak berada di sisinya. Kuempaskan beban Aslan sejenak mencoba melupakannya dan membiarkan kembali beban Agni menyambangi pikiranku. Anganku terbang pada kesantunan Wulan juga kesalihannya, gadis itu dengan baik mengerjakan semua tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Mulai dari pekerjaan rumah sampai pakaianku ia semua yang memegang. Sesekali kulihat ia keletihan dan memintanya untuk berhenti, ia justru menjawab dengan polos,

Aku Bukan MadumuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang