Revan melangkah menuju ruang kerja ayahnya dengan bersemangat, sebab sudah tidak sabar ingin mengetahui informasi soal peneror itu.
Saat hendak mengetuk pintu, Revan mendengar suara ayahnya yang sedang berbicara. Ia menempelkan telinga ke pintu.
Hampir lima menit Revan berdiri dan akhirnya bisa mendengar sang ayah menutup telepon. Ia pun mengetuk pintu dan masuk setelah Andi Mahesa mempersilakannya.
"Hai, Pa!" sapa Revan.
Andi hanya tersenyum tipis dan meminta Revan untuk duduk. Ia memperlihatkan rekaman CCTV di laptopnya.
"Siang tadi anak buahku mengambil rekaman CCTV. Dan ternyata semalam sepertinya peneror itu datang. Lihat ini!" Andi menekan satu tombol di keyboard laptop untuk menghentikan gambar.
Seorang pria berbadan tegap tampak sedang berdiri di depan pintu rumah. Andi memperbesar gambar, mata orang tersebut sangat tajam. Wajahnya ditutup masker bergambar tengkorak.
"Siapa dia?" Revan mengernyitkan keningnya. Ia tidak mengenali pria yang ada dalam rekaman tersebut.
"Entahlah, mungkin itu orang bayaran. Anak buahku masih menyelidiki. Tenang saja, dalam waktu dekat akan terungkap siapa dalangnya." Andi bersandar di punggung kursi.
"Semoga cepat tertangkap." Revan mengepalkan tangannya.
"Oh ya, istrimu jika berpergian sebaiknya dikawal. Mengingat beberapa teror, dan sekarang aku kembali ke politik. Banyak kemungkinan untuk mencelakai keluarga kita."
"Oke, Revan setuju. Terima kasih, Pa."
Tentu Revan senang kini ayahnya bisa menerima Meira dan memperhatikan keselamatan istrinya. Terlebih setelah kelahiran Yusuf, Andi menjadi sedikit lebih ramah pada Meira.
Revan memandang ayahnya yang sedang fokus ke layar ponsel. Wajah yang masih tetlihat tampan itu meski sudah tidak muda lagi, tampak serius.
"Revan ke kamar dulu, Pa." Revan berdiri dari kursi. Andi mendongak sebentar, lalu kembali menatap layar ponselnya.
Revan beranjak dari ruangan yang didominasi cat putih dan biru. Sebelun menutup pintu ia memandang ayahnya beberapa detik. Kemudian menutup pintu perlahan.
Saat melewati ruang tengah, Revan melihat ibunya sedang menemani Yusuf yang berada di kereta bayi. Sementara Clarissa bermain lego di karpet sambil sesekali berceloteh yang direspon dengan semangat oleh Rina.
Revan memperhatikan keakraban Rina dengan kedua anaknya, membuat hati pria itu haru.
Clarissa menyadari kehadiran ayahnya. Ia langsung menghambur kepelukan Revan.
"Hai, anakku yang cantik!" sapa Revan sembari memeluk sang putri.
Clarissa melepas pelukannya dan mulai bercerita soal lego yang sedang ia rangkai. Revan berjongkok mensejajarkan pandangannya dengan sang anak, mendengarkan dengan saksama segala ocehan putrinya.
Yusuf pun terdengar mengoceh, lalu tertawa kecil saat diajak berbicara oleh omanya.
Selesai bercerita tentang lego, Clarissa menarik Revan untuk menyapa Yusuf.
"Ayah, ade Yusuf hari ini pinter. Gak banyak nangis," ujar Clarissa sambil memegang tangan adiknya.
"Alhamdulillah. Kalo Kaka gimana? Pinter gak hari ini atau ngerepotin Oma sama Bunda?" Revan menyipitkan matanya. Clarissa tersenyum.
"Kaka pinter kok, Yah. Ya 'kan, Oma?" Clarissa menoleh ke Rina.
"Iya, Clarissa pinter, Ayah," kata Rina sambil mencebik pipi Clarissa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Dirindukan (Sekuel Bunga Tanpa Mahkota)
General FictionCinta yang menghilang, dan hanya satu pihak saja yang bertahan di atas rasa cinta. Lantas, masih bisakah bahtera mereka terus berlayar di samudera cinta? Atau terhempas pada jurang perpisahan? Teror demi teror pun harus mereka hadapi. Sebelumnya, ba...