"Kamu ...." Meira merasa napasnya terhenti beberapa detik.
"Gak ada waktu lagi. Ayo cepat ikut aku!" kata pria di depan Meira dengan wajah tegang.
"Ta-tapi ...." Meira merasakan pusing di kepalanya. Tangan pria itu hendak menarik lengan Meira.
"Stop!" Meira menghindari tangan pria yang ingin memegangnya.
"Ayolah, Mei. Cepat pergi!"
Meira berdiri dan berjalan pelan. Pikirannya tak menentu. Bingung dan takut.
"Fandi!" panggil Meira dengan pelan.
Fandi mengabaikan pangggilan Meira. Ia membuka pintu sedikit dan memindai bagian luar kamar. Sepi.
"Ayo!" Fandi bergerak keluar, diikuti Meira.
Mereka melewati ruangan kecil, di mana ada dua kursi rotan dipisah dengan meja kayu persegi.
Meira nyaris berteriak, saat sadar di lantai ulin ada seorang pria pingsan dengan posisi telungkup.
"Jangan teriak!" Fandi mengingatkan dengan lirih.
Mereka kembali melangkah. Fandi membuka pintu, lalu cepat mentupnya kembali. Ia mengajak Meira mengikutinya menuruni tangga kayu yang berdebu.
Fandi menginstruksi agar Meira hati-hati. Ada suara tikus berlarian di ruangan yang hanya mendapatkan cahaya bulan purnama dari sela dinding kayu yang renggang. Bau apek dan lembab membuat Meira kembali merasakan pusing.
Fandi berdiri di dekat pintu, mengintip dari lubang kunci. Di luar sangat sepi, hanya suara debur ombak yang terdengar. Sementara Meira memegangi kepalanya. Ia meringis.
"Fan ...." panggil Meira pelan.
Fandi menoleh dan melihat Meira lunglai.
"Meira?" Fandi memegang tubuh Meira agar tidak jatuh.
Dari lantai atas terdengar suara kaki sedang melangkah.
Fandi memapah Meira dan membawanya keluar. Angin menyapa wajah mereka.
"Bertahan. Kita harus keluar dari sini!" kata Fandi.
Ia memapah Meira yang lemas. Melewati deretan pohon bakau, lalu masuk ke jalan yang dipenuhi tumbuhan liar yang tumbuh setinggi lutut orang dewasa. Berjalan melintasi barisan pohon kelapa. Cahaya bulan menerobos dari sela-sela pohon.
Fandi terus membawa Meira. Di tengah jalan, wanita itu pingsan.
***
Hari sudah hampir pagi, tetapi Meira belum juga kembali.Revan berjalan gontai menuju kamarnya dengan menenteng tas dan belanjaan Meira yang tertinggal di taksi.
"Ayah!" Suara Clarissa menghentikan langkah Revan. Gadis kecilnya berdiri di ambang pintu sambil mengucek mata.
Revan menyembunyikan wajah sedihnya dan mendekati Clarissa. Ia berjongkok di depan putrinya.
"Clarissa sudah bangun." Revan mengusap kepala Clarissa.
"Bunda biasa bangunin Clarissa jam segini. Biar shalat subuh," ujar Clarissa.
Revan tersenyum tipis. Mengelus pipi putrinya. Mata Clarissa sudah terbuka lebar dan melihat dua buku cerita menyembul dari paper bag yang tergeletak di lantai.
"Itu apa, Yah?"
Revan mengikuti arah telunjuk Clarissa. Ia menarik napas, mencoba mencari kalimat yang tepat. Pasti setelah menjawab pertanyaan putrinya, dapat dipastikan gadis kecil itu akan menanyakan Meira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Dirindukan (Sekuel Bunga Tanpa Mahkota)
Fiction généraleCinta yang menghilang, dan hanya satu pihak saja yang bertahan di atas rasa cinta. Lantas, masih bisakah bahtera mereka terus berlayar di samudera cinta? Atau terhempas pada jurang perpisahan? Teror demi teror pun harus mereka hadapi. Sebelumnya, ba...