"Opa!" Clarissa setengah berteriak, lalu berjalan cepat ke arah Andi Mahesa yang tampak terkejut dengan kehadiran cucunya bersama Tiara.
Clarissa berdiri di depan Andi Mahesa. Gadis kecil itu mengutarakan beberapa pertanyaan. Salah satunya mengapa ada di makam Meira.
"Opa juga kangen Bunda?" tanya Clarissa.
Andi Mahesa hanya tersenyum tipis. Ia melirik sekilas kepada Tiara yang berdiri beberapa meter darinya.
Andi mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Clarissa.
"Clarissa juga kangen Bunda, makanya ke sini," ujar Clarissa dengan wajah sedih.
Andi Mahesa mengusap kepala cucunya yang tertutup jilbab putih.
"Clarissa sayang Bunda Meira, Opa. Tapi.... Bunda malah pergi." Gadis kecil itu terisak.
Tiara mendekat dan memegang tangan putrinya. Berusaha menenangkan Clarissa.
"Jaga baik-baik cucuku!" Andi menatap tajam pada Tiara.
"Aku ibu kandungnya, Om Andi tenang saja," sahut Tiara dengan berani membalas tatapan mantan mertuanya. Dulu, ia takut dengan sorot mata pria di hadapannya. Namun, sekarang wanita itu tak merasa takut.
Andi Mahesa berlalu setelah berpamitan dengan Clarissa. Sesaat kembali melirik Tiara."Semoga lolos jadi wali kota, ya, Om," ucap Tiara. Andi Mahesa tidak menanggapi.
****
"Hanna, tolong bersihkan kamar tamu. Hari ini, keponakanku datang dan akan tinggal beberapa waktu di sini!" titah bu Ratih.Hanna mengangguk dan bersiap-siap menuju kamar di lantai dua.
"Aku pergi dulu," ujar wanita itu yang kemudian melangkah dengan anggun menuju mobilnya.
Sepeninggalan bu Ratih, Hanna menuju kamarnya yang ada di dekat dapur. Perempuan itu mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah benda kecil berbentuk bulat. Kemudian pergi untuk merapikan kamar tamu.
Sembari merapikan kamar, bayang-bayang peristiwa kecelakaan beberapa waktu silam membuatnya menjadi sedih. Akibat kecelakaan itu, ia sering sakit kepala secara tiba-tiba. Belum lagi, langkahnya menjadi kurang normal sebab di pergelangan kaki kirinya terdapat bekas luka yang diperoleh ketika mengalami kecelakaan. Namun, rasa syukur tak hentinya diucapkan karena Allah masih memberinya kehidupan.
Ia kini harus menjalankan perannya sebaik mungkin. Merasa aman dari lingkungan yang ingin menyingkirkannya.
***
Selesai membereskan kamar tamu, Hanna menghampiri bik Nur yang tengah sibuk memasak. Ia ikut membantu mengerjakan urusan dapur."Hari ini, masaknya banyak, ya, Bi?" Hanna dengan sigap membantu memotong wortel.
"Iya, Bu Ratih yang minta untuk menyambut keponakannya," kata bik Nur yang sedang mencuci daging di wastafel.
"Ponakannya sering ke sini?" tanya Hanna.
Bik Nur mematikan kran. Ia tidak langsung menjawab, wanita itu meletakkan wadah stainles berisi daging yang dicucinya tadi ke meja. Tangannya yang tampak keriput memegang pisau besar yang terlihat mengkilat dan tajam. Ia mulai mengiris daging.
Hanna masih menunggu jawaban dari bik Nur.
"Pernah dua kali ke sini," ujar bik Nur.
"Cowok atau cewek, Bi?" Rasa ingin tahu Hanna begitu besar.
Bik Nur mendongak dan menatap Hanna sesaat dengan sorot mata yang tampak kesal. Menyadari ketidak sukaan wanita itu, wanita muda itu pun akhirnya diam kembali fokus memotong wortel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta yang Dirindukan (Sekuel Bunga Tanpa Mahkota)
General FictionCinta yang menghilang, dan hanya satu pihak saja yang bertahan di atas rasa cinta. Lantas, masih bisakah bahtera mereka terus berlayar di samudera cinta? Atau terhempas pada jurang perpisahan? Teror demi teror pun harus mereka hadapi. Sebelumnya, ba...