Bab 9

1.8K 144 25
                                    

Revan bergegas pergi mengendarai mobilnya, membelah kesunyian malam. Suara isakan di telepon tadi membuatnya cemas. Ia terbayang Meira yang berada dalam kesendirian  dan ketakutan. Hatinya bagai  tersayat-sayat setiap kali teringat  sang istri. 

Sesekali ia melirik pada jok kosong yang ada di sebelahnya. Imajinasi lelaki itu  mulai bermain,  kini seakan Meira ada di sampingnya dengan senyum mengembang. Suara gelak tawa sang belahan jiwa seolah terdengar di mobil.

Terdengar helaan napas Revan. Ia mengusap wajahnya. Menatap ke jalan yang masih tampak pekat.

"Aku merindukanmu,  Mei," gumam Revan sambil terus menyetir di jalan yang lengang.

***

Revan sudah sampai di depan rumah bercat mocca. Ia mengetuk pintu beberapa kali. Namun, tidak ada respon dari dalam rumah yang tampak gelap.

Revan mendengar sesuatu yang pecah dari dalam. Gegas ia memegang gagang pintu, mendorongnya sedikit. Ternyata tidak terkunci. Ia setengah berlari menuju salah satu kamar yang tak jauh dari ruang tamu dengan pintu yang sedikit  terbuka. Matanya terbelalak. Pecahan kaca berserakan di sisi tubuh langsing berbalut piama yang tengah terbaring di lantai dengan wajah babak belur. Darah menetes dari pergelangan tangan kanan wanita itu.

Revan mendekat,  memanggil-manggil nama wanita tersebut beberapa kali. Namun, tak ada reaksi. Ia pun mengangkat tubuh yang penuh memar itu dan membawanya ke mobil.

****
Revan berdiri di sisi ranjang, menatap dengan sendu kepada wanita yang tengah terlelap dengan pergelangan tangan yang dibalut perban. Ia mengamati jejak-jejak kekerasan fisik di wajah yang biasanya terias dengan sempurna. Sementara di bibir yang biasanya terpoles lipstik itu, tampak kering dengan sedikit goresan luka.

"Tiara," ucap  Revan, pelan.

Tiga bulan ini, ia sering berinteraksi dengan Tiara.  Selain urusan Clarissa, terkadang wanita itu kerap bercerita tentang rumah tangganya yang mulai kacau.

Revan hanya mendengarkan, tak bisa pula memberi solusi atas masalah Tiara dan suaminya yang ternyata selingkuh.

Revan hanya tidak ingin Clarissa kehilangan sosok ibu lagi. Kepergian Meira sangat membuat putrinya kehilangan. Kehadiran Tiara, cukup mengobati kesedihan gadis kecil itu.

Revan keluar dari ruangan. Membiarkan Tiara beristirahat. Ia mengecek ponselnya. Ada banyak pesan WA yang masuk.

Ada beberapa pesan yang membuat matanya membeliak. Ia pergi meninggalkan rumah sakit, menuju sebuah tempat untuk menemui seseorang.

****
Di sebuah kafe yang buka 24 jam, Revan sedang berbicara serius dengan seorang lelaki. Sesekali ia mengangguk pelan, kemudian terkadang tampak kerisauan di garis-garis wajahnya yang rupawan.

Sebuah pesan WA baru saja masuk lagi dan itu membuat matanya membulat sempurna. Pria di depannya pun penasaran.

"Lapas kebakaran. Dan ... ada yang tewas," ujar Revan dengan wajah tegang.

"Lalu?" tanya pria di depan Revan.

"Indra ...." Revan menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Mendadak lidahnya terasa kelu.

****
Selepas subuh, Revan kembali ke rumah sakit. Tiara sudah bangun.

"Hai, syukurlah kamu selamat." Revan menarik kursi ke dekat ranjang dan ia duduk menghadap Tiara yang tampak pucat.

"Makasih, kamu mau datang nolong aku," ucap Tiara, lirih.

"Semua akan baik-baik aja, Tiara. Aku sudah menyuruh orang untuk menjagamu di sini. Memastikan gak ada wartawan yang tau. Juga ...."

Cinta yang Dirindukan (Sekuel Bunga Tanpa Mahkota)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang