Bab 12

1.8K 128 20
                                    

Senyum, tawa, dan terkadang terselip wajah tertekuk atau senyap tanpa sepatah kata yang diiringi linangan air mata, menghiasi hari demi hari pria bertubuh tinggi itu. Kini, sepi dan hanya kenangan demi kenangan yang tertinggal dalam memorinya. Ia mengamati setiap sudut rumah. Hhh, sungguh sekuat tenaga menahan duka. Lima purnama berlalu, tanpa sang kekasih hati.

Debu-debu halus menempel di perabotan dan figura. Ia tersenyum dengan hati gerimis memandang foto berukuran besar di ruang tamu. Foto keluarga. Ia, dua anaknya, dan wanita yang telah membuatnya menghargai cinta.

"Aku mencintaimu dan selalu merindukanmu, Meira," lirihnya.

Ia melangkah ke kamar, tempat privasinya dan Meira. Lagi, seuntai senyum hadir di wajah menawan lelaki itu diiringi rasa perih karena rindu.

Suara ponsel mengejutkannya. Ia pun langsung membuka pesan WhatsApp yang baru masuk dari seseorang tanpa nama. Ada beberapa foto dan chat yang cukup panjang hingga membuatnya duduk di tepi ranjang yang berdebu demi membaca setiap kata dalam pesan tersebut.
Ekspresinya datar sembari mengetik kata membalas pesan tersebut.

[Oke, terima kasih]

Hanya tiga kata itu yang diketiknya. Kemudian memindai kembali setiap sudut kamar. Sepi. Ia merasakan rongga dadanya terasa menyesakkan.

****
Hanna meletakan secangkir kopi panas di meja bulat berbahan rotan. Sedikit menyunggingkan senyum dan menyilakan Darrel untuk menikmati kopi buatannya.
Hanya anggukkn pelan balasan dari pria berkaca mata itu.

Bu Ratih datang dari dalam rumah dan menyuruh Hanna pergi. Perempuan ramping itu pun dengan tertatih masuk, tetapi kemudian diam-dian berdiri di dekat jendela, mengintai gerak-gerik dua majikannya yang sedang berbicara serius.

****
Dulu, Rina pernah mencaci Ema. Merasa miliknya dirampas, dicuri.  Namun, kemudian ia menyesal karena telah berbuat seperti itu. Saat itu hanya amarah dan rasa sakit karena dikhianati sehingga membuatnya marah.

Di hari-hari berikutnya, bertahun-tahun lamanya. Ia memilih diam. Menyimpan rasa sakit dengan rapat. Terus memberikan segenap hati untuk lelaki yang begitu dikagumi. Wanita itu, menjaga diri untuk tidak bertindak seperti kaum bar-bar.
Demi menjaga nama baik keluarga dan mengikuti amanat sang ibu.

"Jangan kotori tangan dan ucapanmu pada kotoran. Kamu harus pahami, kotoran selamanya tetap kotoran. Dari pada kamu mengamuk seperti orang gila, dan menjadi perbincangan orang banyak. Lebih baik kamu perbaiki diri. Limpahkan perhatian dan cintamu pada suamimu. Selagi bisa dipertahankan, maka pertahankan!"

Itu nasihat sang ibu padanya. Cukup sekali ia memaki wanita yang menjadi racun dalam pernikahannya. Ia tahu lelaki boleh memiliki istri lebih dari satu, tetapi bagi Rina itu sangat berat.

Pernah ia meminta cerai. Namun, Andi Mahesa tidak menyetujuinya.

Ia pun bertahan. Meski setelah hubungan dengan Ema berakhir. Secara diam-diam sang suami kerap berkhianat. Pria yang dicintainya sering membuat sekandal dengan wanita-wanita di luar sana. Mulai dari sekretaris, patner bisnis, atau sekadar perkenalan dalam urusan politik di mana ada wanita yang bersedia menjadi penghibur.

Cantik saja tak cukup membuat sang suami mencintainya. Andi sengaja berkhianat karena sakit hati telah gagal membina rumah tangga dengan Ema.
Ia berpura-pura baik pada Rina, hanya sekadar untuk menjaga nama baik keluarga.

Rina menyeka air matanya. Duduk di tepi ranjang sembari menatap ke nakas,  di mana ada foto saat ia dan Andi usai ijab qabul.

Perjodohan dan juga atas nama bisnis, mereka dipersatukan. Namun, sejak remaja ia sudah jatuh hati pada Andi Mahesa. Cintanya begitu besar kepada lelaki itu. Apapun akan dilakukan demi menjaga keutuhan rumah tangganya. Berkali-kali berita sekandal sang suami dengan wanita muda, tak menyurutkan sedikit pun cinta di hatinya.

Cinta yang Dirindukan (Sekuel Bunga Tanpa Mahkota)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang