Bab 13

1.8K 131 23
                                    

Rasa kantuk belum juga menyapanya. Sedari tadi ia hanya menatap langit-langit kamar, berkawan sepi.

Ingatannya melayang ke satu jam lalu, nyaris saja ia melakukan sesuatu diluar kendali. Bibir merah yang begitu menggoda itu, sedikit lagi disentuh oleh bibirnya. Namun, suara ponsel di saku jas menyentak kesadarannya.

Bersyukur ponsel berbunyi, sehingga ia tak melanjutkan aksinya. Itu tidak baik. Sangat tidak baik, jika sampai menyentuh sang mantan.

Revan meremas rambutnya. Merutuki diri. Nyaris saja berbuat kebodohan.

Kembali ponselnya berbunyi. Segera ia menyentuh layar lima inci itu dan menggerakkan telunjuk ke simbol telepon bewarna hijau.

Ia mendengarkan orang yang sedang berbicara di ponselnya. Di menit kelima, lelaki itu duduk dengan wajah terkejut. Kemudian, perlahan sedikit terlihat pasrah.

"Baiklah, akan kuikuti saranmu. Tapi ...." Revan seperti ragu.

"Ayolah, ini demi kebaikanmu. Lakukan dengan tenang dan bersabarlah," saran orang yang meneleponnya.

"Oke, akan kulakukan. Terima kasih," ucap Revan.
Ia kembali merebahkan diri, menghadap ke nakas yang ada di sisi kanan ranjang. Matanya menatap lekat wajah Meira yang tersenyum dalam foto. Bibir lelaki itu melengkung tipis, ada kehangatan menjalar ke hati yang tengah didera milyaran kerinduan.

"I love you, Meira," lirihnya sebelum matanya terpejam.

****
Sementara di kamar yang begitu luas, Tiara belum bisa memejamkan mata. Ia sesekali menoleh pada Clarissa yang tertidur di sisinya.

Seuntai senyum terukir di bibirnya, diiringi letupan-letupan laksana kembang api yang menyala di angkasa saat malam pergantian tahun. Sungguh, wanita itu seperti diserang virus cinta lagi. Rasa yang dulu susah payah dikubur sedalam mungkin, kini kembali datang. Pipi mulusnya merona. Adegan beberapa waktu lalu, di depan pintu kamar. Benar-benar membuatnya menggila.

Tatapan lembut dan sentuhan hangat di pipinya, sungguh menenggelamkan hati wanita itu ke dalam samudra cinta. Sentuhan di bibir yang nyaris saja terjadi, sudah cukup melahirkan bunga-bunga asmara yang bermekaran. Ia sangat mendambakan pria yang dulu hanya menganggapnya selayak tempat pembuangan. Sekadar sebagai wadah melemparkan kotoran.

Lima tahun lalu, pria itu hanya menatapnya dengan tatapan kemarahan dan terkadang nafsu semata. Ia tak berharga, disia-siakan. Dua tahun berjuang untuk bertahan demi cinta yang mendalam pada suaminya. Namun, akhirnya menyerah. Kelahiran Clarissa tak mengubah Revan untuk menjadi perhatian. Sama sekali tidak. Justru sikap tak acuh makin menjadi.

Sebagai rasa kecewa, sakit hati, dan marah, ia mencari kesenangan di luar. Shopping, ke salon, senam, arisan, atau berkumpul di kafe bersama teman-temannya. Sekali waktu bahkan ia pergi ke club malam. Menumpahkan perih hatinya kepada minuman yang hanya bisa memberikan kesenangan sesaat.

Clarissa pun menjadi korban. Ia abaikan putrinya yang masih merah dan membutuhkan cinta. Setiap tangis sang bayi pecah, saat itu pula Tiara mengumpat dan kadang terlintas pikiran untuk melenyapkan malaikat kecil itu.

Pertengkaran demi pertengkaran menghiasi hari-hari Tiara dan Revan. Bahkan kadang kala, wanita itu bertengkar dengan Andi Mahesa.

Berkali-kali wanita manja itu, mengadu pada ayah dan ibu agar menekan Andi Mahesa diurusan bisnis. Atas nama kasih sayang, orang tuanya menuruti. Berharap dengan begitu ayah mertua mau membujuk Revan agar perhatian pada Tiara. Namun, gagal.

Dalam perih yang termat sangat, ia berjumpa dengan Dandi. Pria dari kalangan sederhana. Teman semasa SMA Tiara. Perhatian demi perhatian didapatkannya dari lelaki itu.

Cinta yang Dirindukan (Sekuel Bunga Tanpa Mahkota)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang