Namida:(1:)

1.2K 102 6
                                        

"AYAHKU MENINGGAL," Bisiknya lesu di ujung telepon.

"Kamu nggak pulang ke yokohama?" Suara ku sedikit bergetar.
Aku berusaha agar tangisku tak pecah. Sebenarnya, dadaku begitu sesak.

"Bagaimana mau pulang? uangku habis."

"Mau pinjam dulu uang ku?"

Hening sesaat

"Kamu baik banget, mau ikut ke sana nggak.?"

Aku berpikir sebentar.

"Pekerjaanku banyak sekali."

"Seperti biasa, kamu nggak peduli," ucapnya dengan nada putus asa.

"Kamu nggak boleh asal menilai begitu." Sambil menyandarkan tubuh yang pegal di sofa apartemen aku mengingatkannya.

"Untuk menghindari perdebatan, lebih baik kamu ke apartemenku, ambil uang, habis itu kembali ke Yokohama."

"Sepeda motorku rusak. Kamu bisa ke sini nggak?"

Tanpa pikir panjang, aku segera memutus sambungan telepon. Pintu apartemen segera ku kunci. Aku berjalan menuju parkiran dengan langkah tergesa-gesa. Mobilku segera melaju, membelah jalanan yg licin sehabis hujan. Kalimat pertanyaan itu menaikan level khawatirku hingga ke titik paling puncak. Aku melupakan rasa lelah tubuhku demi mengunjunginya.

Kalau kau pikir aku bodoh, aku memang sudah lama bodoh seperti ini.

Sejak mengenal dia, mungkin aku tambah bodoh.

<(°-°<)

Aku mengetuk pintu kosnya. Dibalik pintu, sosok jangkung berbalut perban itu kini terlihat berantakan (tapi ketampanannya selalu ada gaes tolong dicatat!). Biasanya rambut gondrong coklat miliknya ditata rapih (walau tetap berantakan), Dan mata itu, yang selalu terlihat ceria dengan binar kepolosan yang menyebalkan, kini terlihat merah dan mengantuk. Aroma tubuhnya yang menenangkan, kini tercium tak enak, sungguh mungkin jika aku adalah orang lain, aku akan menutup hidung lama-lama. Tak biasanya dia buat aku ingin menjauh beberapa senti seperti ini.

Dia tak menjawab sapaan, hanya membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk dengan mengayunkan tangannya.
Tubuhku memasuki kamar kos yang seperti dirinya sekarang ini.. berantakan.

Aku disambut asbak-asbak penuh puntung rokok yang terletak dimana-mana. Lukisan-lukisan kanvas yang sepenuhnya selesai tergeletak kaku di lantai. Tube cat air dan kuas juga tersebar di dekat tempat tidur, meja gambarnya, juga di dekat dispenser. Baju-baju kotor dan bantal pun berserakan, lebih parah bertengger di atas televisi dan radio. Bibirku sudah bosan menegur pria serba berantakan ini, pria yang entah kenapa selalu kudengar dan kunikmati ceritanya, meskipun dalam drama kehidupan, aku hanya dijadikan penonton.

Tempat tidur yg spreinya selalu tak terpasang rapi itu memang seperti biasa kujadikan tempat duduk. Dia juga duduk disampingku, tapi tak kunjung membuka percakapan, menungguku mengeluarkan nafas kehidupan dari tasku. Aku segera mengambil dan memberinya dana untuk perjalanan pulang ke Yokohama demi menemui ayahnya. Kudengar dia mematik dan menyalakan rokok . Embusan asap rokoknya perlahan-lahan menyentuh indra penciumanku.

"Jangan dihabiskan semua, jangan boros, apalagi cuman dipakai buat beli rokok!" Aku mengulurkan tangan."Baik-baik disana ya, salam untuk keluargamu yang lain."

Dia menatapku sebentar, ekspresinya datar. Bibirnya kembali menghisap rokok, secara kurang ajar dia menghembuskan asap tepat di depan wajahku. "Makasih."

"Uhuk.. uhuk.. Kalau kamu merokok terus, kamu akan segera menyusul ayahmu," Canda ku kesal.

"Ada masalah kalau aku mati duluan? segala hal kamu hubungkan dengan soal kesehatan." Dia tertawa-tawa, tawa yang dipaksakan, tawa yang bercampur dengan perasan lain.

"Kamu nggak mungkin mati duluan. Kalau aku yang tangani kamu, kamu nggak akan mati kok, tenang!"

"Dokter sih, tapi jomblo!"

Demi tuhan!!! Pernyataan sialan!
Aku kembali terbatuk-batuk gara-gara asap rokoknya.

"Kamu mending siap-siap aja deh. Bukankah pulang selalu menyenangkan eummm.."

"Kalau pulang untuk melihat seseorang yg sudah pergi, apa akan tetap menyenangkan?"

Sudah kubilang aku bodoh.. Dasar aku bodoh (author:sudahlah chuuya kamu tidak bodoh...si tampan dazai saja yg bodoh gak tau diri awoawoka:V)

Aku menunduk. Tak bisa membayangkan rasa kehilangannya.
Lagi-lagi dia menghembuskan asap rokok ke wajahku secara sengaja, sambil tertawa-tawa seperti orang gila. Aku tahu dia sedang berusaha keras menutupi rasa sedihnya, makanya dia tak menanggapi pertanyaanku.

Beberapa detik setelahnya,dia mematikan rokok di asbak. Tanpa mengucapkan sepatah kata , dengan lengan kuatnya dia merengkuh tubuhku yang kaku.

"Ih ngapain lu peluk peluk dodol! jauh jauh sonoh," Rontaku berusaha lepas dari pelukannya.

"Ukh.. Diamlah tsundere cebol," Pelukannya semakin erat. Pelukan kali ini, terasa pilu, aku pun pasrah dan meremangkan kepalaku didadanya.

Tangisnya meledak
Tak pernah kudengar dia menangis sekencang ini. Napasnya tersengal-sengal. Aku tak bisa menghiburnya, hanya mengelus bahunya, berharap sentuhan ini bisa meredakan perasaanya.

"Aku nggak tau harus cerita ke siapa. kamu pendengar yg baik" Ucapnya. Kalimat itu diucapkan di sela isak tangis, begitu lirih (seperti wirid yang dibisikkan tengah malam)

Aku selalu jadi pendengar yg baik, juga penonton yang tak banyak mengeluh.

Maybe For ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang