Namida:(3:)

796 86 8
                                        

Aku duduk di meja kerjaku. Di apartemenku yang terdengar hanya dengung pendingin ruangan. Ketika ponselku berdering lantang, aku melihat nama pria itu tertera  di layar ponselku. Seger kujawab panggilan itu antusias.

"Bisa ke sini?" Sapa suara itu lebih dulu sebelum aku sempat menyapa. Aku melayang. (ceileh_-)

"Hah?"  Rasa khawatir tiba-tiba mencekam. Aku tak mengerti maksud ucapannya.

"Aku pengen liat kamu chu~akh" Tut.. pip.

*Sambungan terputus.

"Hallo.. Dazai.. da.. cih sialan!."

Aku segera mengganti baju dan meninggalkan apartemenku di lantai 16. Di lantai dasar aku berlari menuju tempat parkir mobil, kemudian mengendarai mobilku dengan kecepatan yang tak bisa ku capai. Perasaan ku dihantui dan dicekam rasa khawatir. Pikiranku berusaha meredakan pertanyaan-pertanyaan yg muncul dengan liar.

Sesampainya di depan pintu kamar kosnya, aku mengetuk pintu. Ketukan berkali-kali itu tak menjawab. Maka, kubuka saja dengan lancang gagang pintunya.

Dia terkulai lemas di depan mataku.
Terdapat beberapa silet di meja samping tempat tidurnya. Ditangannya beberapa sayatan mengucurkan darah segar. Dia tertidur lemas di kasur dan tertawa riang, matanya sesekali membuka dan menutup, di bibirnya terdapat sisa darah segar yang dia jilat dari sayatan tangannya.
Kelopak matanya tiba-tiba berhenti bergerak. Aku menangis sejadi-jadinya. Sambil terisak, kuhubungi pihak Rumah Sakit untuk menghubungi ambulans, yg datang sepuluh menit kemudian. Pria itu masuk ke ambulans dan aku masuk ke dalam.
Suster di dalam ambulans tak berani bertanya apapun. Dia hanya diam, sungkan kepadaku. Aku yang selalu dia temui di rumah sakit, malam ini tiba-tiba terlihat lain, tanpa wibawa, berantakan, berbeda.

Pada hari pertama, aku tak bisa menjaganya seharian dan hanya mempercayai kinerja suster dan dokter di rumah sakit tempatku bekerja. Sesekali, ditengah kesibukanku, aku berkunjung ke kamarnya. Melihat keadaan dan bertanya kepada suster.
Seusai jam praktiku, jam besuk juga sudah selesai. Dengan berbagai macam alasan, aku bisa masuk ke kamarnya. Kutemui dia yg terkulai lemas. Alat pernapasannya menutup hidung dan mulutnya. Matanya tertutup. Jarum infus masih menempel di pergelangan tangannya.

Aku menyeret bangku ke tempat tidurnya.

"Tidur terus, kayak orang sakit."

Aku tak peduli jika dia tak dapat mendengarkanku. "Heh kang bundir sialan.. Selama ini kamu pakai uangku untuk beli narkoba, ya?".

Amarahku mencapai ubun-ubun, tapi kutahan. Rasanya darah naik ke kepala. Aku menggertakan gigi, berusaha menguasai perasaan. Tak dapat kucegah, mataku terasa panas. Kutahan tangis sebisa mungkin."Tukang bohong!"

Dia tak menjawab. Hanya terdiam.

"Kamu mau dengar ceritaku?"

Aku tak menunggu jawabannya.

"Ada seseorang. Dia menata hidupnya, dan segalanya berjalan sesuai keinginannya. Dia nggak pernah memikirkan hal-hal diluar cita-cita nya, termasuk cinta. Dia tumbuh menjadi seseorang yg dingin, kaku, dan nggak bisa menghadapi seorang pria."Aku menghela nafas, suaraku terdengar serak. "Tapi, semua berbeda, ketika seorang pria, seorang menyebalkan, seorang pembohong besar, penuh drama, datang ke dalam hidupnya."

Dia masih diam dalam selimutnya yg hangat.

"Seseorang kaku itu mencintai si pria menyebalkan. Berusaha menjadi pendengar yg baik. Semua dia lakukan seperti anjing yg setia kepada tuanya. Betapa seseorang itu begitu bodoh, sampai-sampai dia bercerita tentang rasa kehilangan. Pura-pura kuat menghadapi semua. Berusaha keras menyembunyikan cinta di balik sikapnya yg kaku."

Air mataku tiba-tiba tumpah. Suaraku terdengar makin serak.

"Kamu pengen tau siapa seseorang itu?"

Jemariku menyentuh tangannya, meskipun dia tak memberi respons apa pun.

"Seseorang itu adalah yang tergopoh-gopoh membawamu ke dalam ambulans. Seseorang yang dengan sisa-sisa tangisnya menemanimu selama di ambulans. Tapi, pria menyebalkan itu nggak pernah menyadari, betapa seseorang kaku selalu mempunyai rahasia yang sulit diselami."

Suaraku naik turun, sama dengan emosi dan perasaanku.

"Kau ingin tahu rahasia itu?"

Semakin erat ku genggam jemarinya dan suaraku bergetar hebat.

"Seseorang itu mencintaimu. Aku mencintaimu." Aku terisak.

"Aku selalu siap dengan berbagai macam kehilangan, tapi aku nggak pernah siap kehilangan kamu."

Bibirnya tak kunjung memberi jawaban dan tanggapan. Mata pria itu mengatup, Tapi bulir air matanya luruh satu-satu.

Aku menghela nafas.

"Baguslah kalau kamu mendengar dan menyadari. Kali ini nggak perlu aku saja yang mendengar. Kita harus saling mendengar. Biarkan aku juga terlibat dalam hidupmu, bukan hanya jadi penonton."

Tanganya sedikit bergerak, seolah ingin membalas genggaman tanganku.

"Dan, semoga, air matamu kali ini bukan seperti yg biasa.. bukan drama."







"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Author anti silent reader ya! If you like VOMENT PLEASE:)

Biasakan hargai penulis.

Maybe For ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang