Namida:(2:)

841 76 12
                                        

Dua minggu kemudian dia kembali ke Tokyo. Kabar itu dia beri tahukan melalui pesan singkat yang ia kirim beberapa menit sebelum ke ruang operasi. Aku membaca pesan singkat itu dengan senang hati. Saat bertemu nanti, aku sudah membayangkan mata itu kembali teduh lagi, dan aku akan mendengarkan ceritanya tanpa bertanya dan berkata. Aku sungguh jatuh cinta dengan suasana itu:).

Aku masuk ke ruang operasi. Pasien yang telah dibius itu terkulai lemas. Beberapa suster dan ahli bedah lainnya siap melakukan bedah.
Tiga jam di ruangan operasi cukup membuat debaran jantungku memburu.
Seusai melakukan bedah operasi, seorang suster membuka surgical mask dan mulai mengajakku berbicara santai. Dengan jemarinya yang lembut, dia juga membuka penutup kepalaku.
Rambutku yang diikat seadanya menyembul keluar;seakan bahagia kembali diberi nafas dan udara. Aroma darah masih begitu menusuk hidung. Kubuka secara perlahan sarung tangan yang masih ternoda darah segar pasienku.

Aku menatap wajah tenang itu, wajah yang masih terlena dalam bius, yang akan segera terbangun dalam rasa sakit yg luar biasa. Tak ada yg bisa mengalahkan perasaan merdeka ketika bisa menyelamatkan nyawa seseorang. Kubisikan doa dalam hati, semoga pasienku kali ini, bisa menjalani hidupnya dengan keadaan sehat dan normal. Helaan nafasku terasa ringan dan damai.

Aku membasuh keringat setelah keluar dari ruang operasi. Langkahku mantap menuju pintu koridor. Kulihat seorang pria yang kukenal duduk di bangku ruang tunggu bersama seorang wanita manis. Mereka sesekali tersenyum dan saling memandang. Melihat aku yang baru keluar dari ruang operasi pria itu langsung berdiri menghampiriku, diikuti wanita yg berada di sampingnya.

"Berhasil?"

Senyumku tak dapat kusembunyikan lagi." Iya berhasil. Kok kamu udah disini?"

"Ada hal penting yg harus kamu tahu" Bisiknya merdu di telingaku.

"Eh, iya, Chuuya perkenalkan, ini Rinzawa chan."

Wanita itu mengulurkan tangan. Aku membaca perasaan cemburu dari sirat matanya."Kamu cantik dan imut ya, baik pula, Ayah selalu bercerita tentangmu." Jujurnya.

"Maaf__Ayah?" Aku mengangkat sebelah alis, tak mengerti. Dan lagi dia memanggilku apa *cantik* *imut* Sialan. Aku ini pria woy.. open your eyes young girl!.

Mereka saling menatap dengan wajah berseri-seri. Wanita dengan alis jiplakan dan pipi berpoles merah muda itu menarik bibirya tipis."Saya memanggil dia ayah dan dia memanggil saya bunda." Jelasnya.

Aku terdiam. Rasanya ingin ku muntahkan seluruh isi perutku ke wajah mereka yang terlihat bahagia itu.

"Sebentar, ya, bunda,"

Ucap dazai. Dia menarik lenganku menjauhi kekasihnya.

"Bagaimana? cantik?"

"Kali ini spesies apa lagi? Genus apa? Ordo apa? Familia dari mana?" Tanggapku datar.

"Alah.. bilang saja kamu iri.. , tau tidak? dia penulis lho chu~"

"Ck. Pantas saja nggak jauh denganmu.. suka main drama." Aku tertawa geli.

"Setelah arsitek, insinyur, editor majalah, sopir angkot, tukang somay, janda beranak dua, polwan.. jenis wanita apa lagi yang mau kamu kenalin ke aku?"

Dia cekikikan."Kamu terlalu serius."

"Dih malah ketawa.. tampol juga tu mulut lama-lama. Jadi kamu nggak serius sama dia?."

"kalau dia ngerti jalan hidup dan kebebasanku, aku pasti akan serius kok!_^"

"Kasian juga ceweknya.. ujung-ujungnya juga pasti diajak bundir_-"

"Aha!!!" Senyumnya nista.

Aku tersenyum dingin. Kalimat itu sudah diucapakan kepadaku sebulan yang lalu, setelah dia mengenalkanku dengan seorang perempuan yang selalu sibuk dengan gadgetnya. Aku lupa nama wanita itu, tapi rupanya wanita itu sudah ditinggalkan oleh kang bundir satu ini. Dia berganti-ganti pasangan semudah mengganti batang rokok baru yang masih panjang.

"Aku sedang mencari yg terbaik."

"Nggak bosen?."

Matanya yg bening tiba-tiba meredup cahayanya. Mata yg sama, ketika kali pertama kutemui dia di rumah sakit enam tahun yang lalu. Waktu itu dia meremas tanganku, mengiba, meminta tolong agar aku segera menyembuhkan kekasihnya.

"Saya mencintai dia" Ucapnya dengan suara parau."Tolong selamatkan dia untuk saya. Tolong!"

"Saya, berusaha semampu saya." Aku mencoba menyakinkan. Setelah itu, aku memasuki ruang operasi. Kutinggalkan dia duduk lemas di ruang tunggu.

Kali pertama kulihat matanya, aku tau dia akan membawa perubahan dalam hidupku. Kekasihnya, yang enam tahun ku operasi itu, pada akhirnya tak tertolong. Demi membalas kebodohanku yang tak bisa menyelamatkan kekasihnya, aku mengukuhkan diri untuk menjadi sahabatnya, menjadi pendengar yang baik, menjadi segalanya bagi sosok yang menyebalkan dan sulit kutebak itu.

Selama enam tahun terakhir ini aku selalu menemaninya.
Tak banyak orang yg tahu mengenai persahabatan kami. Persahabatan? Aku bahkan tak tahu dia menganggapku apa. Mungkin juga hanya pendengar dan penonton drama kehidupannya:)

Aku selalu menyempatkan diri untuknya ketika dia mencariku. Aku berusaha sebisa mungkin ada disampingnya, menepuk bahunya, mengucapkan macam-macam nasihat yg kubaca dari banyak buku.

Kukira tak akan terjadi apa-apa di antara kami. Namun, bagaimana mungkin aku bisa mengantisipasi kedekatan enam tahun agar tak memunculkan perasaan apapun?

Aku mencintainya, cinta yg berusaha ku sembunyikan dalam setiap  sifat dinginku.

Maybe For ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang