Warai to shitsubō:(2:)

375 28 0
                                    

Sehari sebelum kontes stand up comedy, aku masih menemani nya latihan. Hari ini memang beda. Dia mengajakku ke apartemennya, tempat yg belum pernah kudatangi walaupun kami sudah berkenalan selama satu tahun.

Kulihat tindakannya juga berbeda. Dia terus menggenggam erat jemariku, tidak seperti biasanya. Entah mengapa, aku tak bisa melawan dan mengelak ketika dia memperlakukanku layaknya seorang kekasih. Bolehkah aku beranggapan bahwa dia punya perasaan lebih terhadapku? Dia sudah merangkulku, menggandeng tanganku, dan tak segan-segan memujiku. Bukan itu berarti dia punya perasaan lebih daripada teman?

Kami terus berjalan hingga sampai depan kamarnya. Jemarinya membuka pintu dan dia memintaku masuk. Buru-buru dia segera merapihkan pakaian, bantal, buku, dan alat tulisnya yg tercecer begitu saja di lantai.

"Maaf agak berantakan."

Dia kadang terlihat polos di mataku. Aku suka memperhatikan sinar matanya yang selalu membuatku merasa hangat. Betapa aku tak pernah ingin kehilangan dia, betapa aku ingin terus bersamanya, meskipun selama ini aku tak tahu dia menganggapku sebagai apa?.

Sekali lagi dia berlatih di hadapanku. Aku menikmati penampilannya. Dia pandai menciptakan situasi dan memilih punch line yg tepat. Cara dia menuturkan kata dan melafalkan setiap kalimat juga telah diasah. Dia berhasil membuatku tertawa kencang dan kadang terpingkal-pingkal.

Aku senang mengetahui perkembangannya yg begitu pesat dan hebat. Aku ingin kelak dia juga akan meraih juara satu, seperti aku meraih juara satu dalam ajang stand up comedy di daerah kami setahun yang lalu.

Lawakannya yg lucu membuat mataku berair. Hidup itu kadang aneh dan sulit dimengerti. Air mata bisa berarti segalanya. Saat kau menangis terlalu kencang, suara tangismu terdengar seperti tawa. Ketika tertawamu terlalu kencang, tawamu malah mengeluarkan air mata. Aku ingin terus tertawa seperti ini, terutama jika tawaku disebabkan oleh dia.

"Gimana menurut kamu?" Dia menghela napas, berusaha merapikan jengkal napasnya yg memburu karena total mengeluarkan energi demi penampilannya. "Garing nggak? Timing-ku gimana?"

"Kamu luar biasa! keren, kok. Topik kamu sulit sebenarnya tapi penguasaan kamu bagus. Ironinya dapet banget. Kamu jago menentukan sudut pandang." Aku memujinya. "Masih latihan aja udah lucu, apalagi kalau udah di panggung buat perlombaan nanti, ya?"

Dengan wajah senang dia memelukku yg duduk di tempat tidurnya. "Kalau bukan kamu yg ngajarin aku, aku nggak akan selucu dan semenghibur ini."

Di pelukannya, aku terdiam. Tiba-tiba perasaanku tidak enak. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Wajahnya terheran-heran. Dia duduk di sampingku dan bertanya, "Kenapa?"

"Nggak apa-apa, cuman bingung aja," jawabku dengan nada rendah. "Kamu merasa ada sesuatu yg aneh di antara kita nggak, sih?"

Dia memasang wajah bingung. "Aneh gimana?"

"Ya, aneh aja. Kamu nggak ngerasa kita udah terlalu deket?"

"Emmm--aku emang ngerasa udah deket banget, sih, sama kamu."

"Terus? Kamu ngerasain apa lagi?"

"Aku nyaman sama kamu. Itu aja."

"Kamu nggak punya perasaan lain?"

Dia terdiam lama sekali. Pertanyaanku seperti menguap di udara. Matanya menatapku, kemudian menatap ke arah lainnya. Beberapa detik lamanya dia terdiam, lalu kembali membuka suara, "Besok aku pakai baju apa, ya? pilihin bajunya, dong!"

Mendengar tanggapan seperti itu, aku tak lagi berani membuka suara. Aku terdiam dan menatap matanya dengan tatapan mendalam. Kucari jawaban yang sejujurnya dalam iris biru itu. Kuingat segala hal manis yang pernah ku lakukan bersamanya. Aku hanya menggenggam jemarinya kuat-kuat , berusaha mencari kekuatan dalam cela-cela jemarinya.

"Pakai gaun putih aja."

"Kamu suka banget sama gaun itu, ya?"

Aku mengangguk sambil berusaha tersenyum. "Kamu pasti besok cantik banget, deh."

"Kalau aku cantik, tentu kamu mau dateng, kan?"

"Ke perlombaan besok?"

"Kehadiranmu besok bakal jadi pasokan energi buatku. Setidaknya, nggak bakalan bikin aku grogi," Tanggapnya dengan wajah tenang. "Besok pertanyaanmu pasti juga terjawab. Kalau aku jawab sekarang nggak seru, dong!"

"Besok hari spesial, menurut kamu aku pakai baju apa, ya? Topi yang bagus yang mana, nih? Jaket yg kece kira-kira warna apa?"

Chuuya menatap tubuhku dari atas kepala hingga kaki. Dia tertawa geli beberapa saat, tawa itu kusambut dengan tatapan heran. Dia melangkah mundur menjauhi tubuhku, lalu memicingkan matanya sambil menatapku dari ujung kaki sampai pucuk kepala. Beberapa detik kemudian wanita bersurai jingga dengan tinggi badan yg lumayan (pendek:v) itu berjalan ke arahku. Dia memelukku sekali lagi dan membenamkan wajahnya didadaku.

Dia lepaskan pelukanya, lalu mengambil topi yg tersemat di kepalaku. Jemarinya menyisir lembut surai coklatku. Dia membuka jaket baseball yg kukenakan dan mebuat jaket itu tergeletak di lantai.

"Ganti kaos kamu, menurutku terlalu simple dan sederhana di wajahmu yg tampan itu, wanita mana yg nggak geregetan bikin kamu patah hati?" tawa Chuuya memecah keheningan kami. "Besok pakai kemeja panjang ya."

Aku tak mengangguk karna pakaian seperti itu pasti mengundang tawa ejekan dari para comic yang juga mengenalku.
Kepalaku menggeleng lemah tanda aku tak menyetujui sarannya. Tapi, Chuuya malah tertawa gemas, kembali dia membawaku ke dalam pelukannya, pelukan yang terasa begitu hangat dan erat. Dia lepaskan lagi pelukan itu dan membelai lembut rambutku. Aku menatap matanya yang teduh, mata yang selalu membuatku percaya ada cinta disana.

Maybe For ImpossibleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang