Sagitta menggigit bibirnya dengan gemas. Ia tidak peduli jika gigitan itu melukai bibir bawahnya. Baginya, hanya itu satu-satunya cara agar tidak menerkam anak kecil yang berada di depannya.
"Oke, sekarang kita mulai dengan yang lebih mudah. Be-i-bi-be-i-bi bacanya?"
"Babi!" sorak anak itu dengan kegirangan. Kekesalan Sagitta mulai memuncak. Sia-sia saja usaha untuk menahan amarahnya. Sudah lama ia ingin menggigit anak kecil itu agar segera lenyap dari muka bumi.
"Ih! Mana ada bacanya babi! Jelas-jelas di buku ini tulisannya bibi, bukan babi. Berapa kali harus diulangi, sih? Kamu mau jadiin Bibi kamu babi, hah?!" bentak Sagitta dengan wajah memerah. Sekarang ia tidak peduli lagi apakah yang dimarahinya anak kecil atau bukan. Jika menahannya lebih lama, maka ia bisa mati dalam keadaan duduk sekarang juga.
"Mama! Hua !!!"
Sagitta telah menduga bahwa anak itu akan menangis. Dasar cengeng, umpatnya di dalam hati. Tidak ada sedikit pun terbesit di hatinya rasa kasihan. Lebih baik telinganya mendengar tangisan ketimbang harus menahan kesal.
"Sagitta! Ya ampun! Cup ... Cup ...," heboh mamanya yang muncul entah sejak kapan. Sagitta memijit kening, meredakan rasa sakit di kepalanya. Jika sudah begini, ia berencana merendam kepalanya di baskom berisi es batu.
Sang mama mengelus anak kecil tersebut dan memeluknya. Sagitta mendengkus kesal. Dia juga ingin berada di pelukan mamanya. Katakan saja bahwa ia sedang cemburu. Mengakui bahwa dirinya masih kekanakan sekalipun umurnya sudah beranjak 27 tahun.
"Mama urusin deh curut yang satu ini, nyusahinnya pake banget!" ujar Sagitta seraya beranjak dari sofa hendak pergi.
"Eh, mau ke mana kamu? Ini anak didik kamu, Gitta!" geram Mama.
"Telepon aja mamanya biar dibawa pulang. Gitta gak mau lagi jadi guru privat dia. Kesel pake banget. Mama gak tau sih, gimana ngeselinnya dia. Gitta capek ngajarin dia. Gitta suruh baca tulisan bibi malah dia bilang babi. Emangnya aku babi?" dengus Sagitta mengeluarkan unek-uneknya.
Entah sejak kapan, anak kecil yang tadinya meraung-raung malah memejamkan matanya dengan damai. Anak itu sudah tidur di pangkuan mamanya. Sagitta memandang iri pada anak kecil itu.
"Lah? Yang nawarin diri jadi guru privat siapa? Kan kamu sendiri yang minta sama Kamila," ujar sang mama membuat Sagitta menyengir.
"Iya, sih. Gitta mana tau anaknya Mbak Kamila sebodoh ini," remeh Sagitta.
Buk!
Sagitta meringis saat bantal kecil mendarat mengenai wajahnya. Ia pun memberungut kesal.
"Dia baru berumur lima tahun, Sagitta. Wajar kalau masih belum bisa membaca. Kamu gak boleh ngatain orang seenaknya!" sengit sang mama membuat Sagitta memutar bola matanya dengan malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Free Zone (Tamat)
Tiểu Thuyết Chung[DISARANKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠] Highest rank #1 dalam Fiksi Umum #2 Romcom #1 Comedy #1 Komedi #1 Horor #1 Hantu (Romance-Komedi-Horor) _____ "Saya bukan pembantu, Bapak!" dengus Sagitta tidak terima. Ini hari Minggu. Haruskah ia berteriak...