8 | | Luka Paris

171 34 15
                                    


note: Ashen One, the mature souls will enjoy this 2350 words of near facts-fiction.


Bicara tentang Perancis, orang-orang akan membayangkan Paris, yang multikultural dan romantis juga indah. Atau bunga-bunga yang sebabkan udara Provence menjadi wangi. Mungkin juga jalanan indah Nice dan French Riviera sampai Monte Negro. Tapi orang-orang lupa atas Perancis masa lalu yang lukanya menganga lebar dan bahkan belum sembuh sampai saat ini. Dan semua adalah sesuatu yang kecil serta sederhana saja, remeh temeh pastinya, yang bisa sebabkan orang-orang menggugat Paris.

Perancis didaulat sebagai negeri pemikir, terbuka dan berdemokrasi. Segala hal menyenangkan menjadi milik Perancis masa kini sementara orang-orang lupa betapa urusan remeh temeh di Perancis bisa menjadi urusan Negara. Curiga dan benci lahirkan prasangka yang berujung kejam. Tidak, bukan tentang revolusi besar itu yang diawali mengarahnya meriam Bastille ke arah demonstran dan barisan tentara Perancis yang bukan Pengawal Kerajaan di hari itu. Ini urusan toleransi yang seharusnya biasa saja terhadap mereka yang tidak satu keyakinan dengan mayoritas ataupun Negara: l'affaire de Jean Calas, yang menjadi focus seorang Voltaire dalam menelurkan Traktat Toleransi. Sebuah kasus besar yang menjadi latar penting ilmu hokum.

Jean Calas seorang Protestan di masa itu. Suatu masa dimana agama Negara –dalam ini agama seorang Raja, adalah agama rakyatnya. Para rakyat mengamini titah raja, sudah pasti. Dan beberapa gelintir pihak yang sadar bahwa iman seseorang pada akhirnya melahirkan cara beribadah berbeda, bisa mengancam kerukunan dan potensial menimbulkan friksi. Sebagai upaya menekan makin berkembangnya cara ibadah lain yang tidak sesuai dengan agama Negara, maka diambillah cara yang cukup keras. Bahwa hanya seorang dengan agama Negara sajalah yang diperkenankan mendapatkan kedudukan di parlemen, pemerintahan dan semua posisi pekerjaan yang ada kaitannya dengan Negara. Raja Louis XV yang tengah berkuasa, dan ia seorang Katholik.

Mungkin Raja dan Parlemen hanya ingin masyarakat bersatu, tapi manusia punya sifat menyebalkan. Dengan cepat semua yang tidak memeluk agama Negara dikucilkan, dianggap bid'ah. Dimusuhi dan tidak dianggap oleh masyarakat. Dan bahkan matipun menjadi masalah bagi agama non-negara. Mereka yang mati dalam keimanan yang berbeda tidak diperkenankan mendapat sakramen terakhir atau dimakamkan di pemakaman Negara. Urusan Negara yang diatur pembesar agama, sesuai keputusan pembesar agama, menjadi terasa rumit dan terlalu pribadi. Setiap hal selalu dikaitkan dengan keimanan dan tata-cara beribadah mereka. Ini tentang kekuasaan berada pada sebuah mayoritas. Mau tak mau, kelompok minoritas jadi tertindas. Mungkin tidak kentara di Versailles dan sekitarnya, tapi Perancis bukan hanya Paris yang merupakan halaman istana raja.

Maka kisah dari Tolouse menggetarkan hati nurani. Keluarga Calas, seorang tanpa agama Negara, menjamu tamu keluarga yang akan berpindah ke Merseilles di suatu malam. Keluarga Calas pedagang kain dan memiliki kios di bawah apartemen mereka di jalan Filatiers. Pembantu setia mereka seorang Katholik dan tak pernah mereka saling berselisih. Malam itu adalah makan malam biasa untuk sekedar membicarakan berbagai hal dengan teman lama yang ingin mencari peruntungan Merseilles, kota pelabuhan sibuk milik Perancis yang menjangkau berbagai tempat.

Tapi malam tidak berakhir baik saat ternyata putra tertua Jean Calas ditemukan tergantung di dalam toko, bunuh diri. Namanya Marc-Antoine. Keributan terjadi, orang-orang berhamburan. Entah siapa yang memulai, orang-orang menuduh Jean Calas beserta keluarga dan teman Merseilles-nya membunuh Marc-Antoine Calas sebab pemuda ini berniat menjadi seorang Katholik. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya opini publik tercipta:

Marc-Antoine dibunuh keluarganya karena mau pindah agama.

Padahal Jean Calas dan tamu beserta istri dan pembantunya selalu bersama sepanjang makan malam dan Marc-Antoine memang pergi duluan meninggalkan makan malam itu. Pemeriksaan polisi pun menemukan bahwa tak mungkin Jean Calas yang sudah paruh baya dan sakit kakinya sanggup membunuh Marc-Antoine yang sehat dan kuat tanpa ada keributan juga perlawanan. Meski dibantu istrinya. Meski dibantu tamunya, sepasang suami istri Lavaisse. Tak mungkin tanpa perlawanan. Dan mereka dituduh demikian karena isu Marc-Antoine mau membaptis dirinya menjadi Katholik. Sejarah selalu mencatat, isu yang berangkat dari isu tidak pernah berakhir baik.

AFTER CHARLIE: An Intro to B L A C K E NTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang