Bukan karena ia benar-benar ingin ke tempat itu makanya Suga kini berada di kantor salah satu profesor besar YASI, Youth Art and Science Institute. Nama beliau Prof. Hwang dan Suga hanya mengikuti permintaan ibunya yang berteman dekat dengan profesor perguruan tinggi tersebut.
"Mirai itu ya, sering sekali membanggakanmu kepada saya sejak dulu. Kemampuanmu membuat lirik pun, Prof. Jang pernah membawanya masuk ke kelas kami tentang literatur dan sosial. Ah, bagaimana kondisi Kyunghoon?"
Suga tersenyum tipis. Kondisi ayahnya saat ini membaik, kendati beliau masih sering melamun dan terlihat tidak bersemangat.
"Terima kasih. Mohon maaf karena saya memang belum tertarik mengambil kelas formal," ucap Suga sopan, memberi penolakan terhadap ide sang ayah yang menyuruhnya melanjutkan pendidikan formal di sebuah universitas. Bertolak belakang dengan ibunya yang memiliki jiwa bebas, sang ayah sangat ketat dan masih terbilang kolot dalam urusan pendidikan. Sebagian diri Suga merasa ia tidak akan bisa berkarya sebagai Agust D jika ia berada di asuhan sang ayah ketika kecil.
Pertemuan mereka berakhir setelah Suga diajak mengelilingi berbagai fasilitas universitas fakultas seni. Ia kembali memberikan salam seadanya ketika Prof. Hwang pamit undur diri menyudahi pertemuan mereka.
"Feel free untuk lanjut berkeliling, Suga-ssi. Saya harus menghadiri rapat diskusi kurikulum semester depan. Jika lowong, pikirkanlah kembali tawaran saya yang terakhir"
Suga tersenyum tipis lagi, "Ah, terima kasih."
Sampai akhirnya Suga bisa melihat punggung lelaki berusia kepala 6 itu menghilang di koridor, barulah ia menghela napas panjang. Ia melihat sekeliling. Sudah lama ia tidak berada di tempat yang menyuarakan pendidikan formal, sekitar 10 tahun.
Suga hanya menyelesaikan pendidikan SMA. Tempat seperti sekolah membuat pikirannya berat karena ia memang tidak suka sistem pendidikan di Korea yang menilai semuanya berdasarkan pelajaran eksak dan logika semata. Namun setelah ia baca-baca lagi, YASI tidak seperti itu. Ia bisa lihat dari fasilitas kampus yang disediakan. Gumaman kecil rasa senang entah kenapa muncul ketika Suga berkeliling masuk ke studio dan tempat latihan yang ada di YASI.
Ketika berjalan ke arah tempat parkir, atensi Suga terhenti pada sebuah ruangan berpintu kayu. Berhubung tidak ada hal berarti yang ingin ia lakukan hari ini, Suga memutuskan untuk masuk ke dalamnya.
Tempat itu adalah sebuah ruangan berukuran medium dengan podium kayu di pojok depan, khas tempat paduan suara, dengan peralatan yang terlihat sudah tua. Akan tetapi tidak berdebu, membuat Suga yakin bahwa ruangan ini masih digunakan. Berjalan lebih ke dalam, ia menemukan sebuah piano hitam pekat, Fazioli308 keluaran 1995.
Suga menggembungkan mulut. "Whoa!" Jantungnya berdebar melihat sebuah benda antik. Ia melihat ke belakang, memastikan tidak ada orang di dalam ruangan. Tanpa banyak pikir, Suga menetapkan dirinya di atas kursi piano tersebut. Ia membuka penutup keyboard, dan tanpa banyak berpikir, kesepuluh jemarinya bergerak lembut melantunkan Nocturne dari Chopin.Ia sama sekali tidak menyesal mengikuti permintaan ayahnya untuk berkunjung ke YASI. Diskusi dan obrolan kecil dengan orang baru sudah tidak lagi membebaninya. Lagipula, ia kini mendapatkan kesempatan untuk melihat perkembangan dunia musik dari segi lain dan itu memberinya pemahaman dan cara pandang baru.
Namun, ketika tangannya berhenti bermain karena interupsi asing yang masuk ke ruangan, Suga seketika menyesal datang ke YASI hari ini.
---
azel's note:
no.2 op. 9 is my fav out of other nocturnes :"D
KAMU SEDANG MEMBACA
What She Wants || yja x myg (slow update)
FanfictionWhat Jiae wants, Jiae gets. Except Yoongi.