ALIKA '07

12 3 0
                                    


"Aku tak pernah menyalahkan takdir. Aku hanya ingin ia berpihak kepadaku"

Alika Laurent callista

      

                             🌬🌬🌬

Pagi ini, Alika bangun dengan mata yang seperti panda, hidung merah, rambut acak-acakan. Rasanya sangat malas bangun dan membersihkan diri mengingat bahwa hari ini adalah hari Minggu. Sudah, Alika tak mau mengingatnya lagi cukup semalaman aku menangis karena hal tersebut.

Tok!! Tok!!

"Sayang!! Bangun nak"

"Alika bangun nak"

Aku tersenyum mendengar suara bunda yang sangat lembut memanggil namanya ku. Rupanya bahagia sesederhana itu.

Clekek

"Good morning princess"ucap bunda sembari mencium kening ku

"Morning bunda"

"Mandi gih abis itu kebawah ya
kita sarapan"

"Okee bun"

Aku menuruti kemauan bunda walaupun dengan berat hati berpisah dengan pulau kapuk. Selesai melakukan ritual mandi ku, aku memutuskan membersihkan kamar dan menjemur anduk di balkon.

Belum sempat aku menginjak lantai dasar, suara yang sudah lama tak ku dengar di telinga membuat ku terdiam tak bergerak sedikitpun.

Aku menatapnya. Menatap dengan jelas. Mata ku tidak salah lihat. Aku melihat sosok yang tlah lama hilang. Aku merindukan sosoknya. Air mata ku turun tanpa seizin ku. Oh God! Sungguh aku tak kuat bertatap dengan mata nya yang sungguh ku rindukan.

"Apa kabar"

Aku terpaku, aku terdiam, detak jantung ku seakan terhenti. Aku tak kuat menahan berat badan tubuh ku. Aku terduduk di lantai dan memejamkan mata ku. Aku tak merasakan apapun setelah mendengar teriak bunda dan
suara..        Bang Bima"

Flashback on

"Permisi ndok"

Arini yang sedang membaca koran menoleh melihat asisten nya yang sudah puluhan tahun menemani dirinya semenjak berumahtangga

"Kenapa mbah"

"Iiii...tu ada mas... Arham"

Arini terkejut bukan main. Ya memang Mbah Surti sudah mengetahui bahwa suami ku mempunyai kembaran

"Bawa dia masuk dan temui saya di taman belakang"

"jangan beri dia hidangan apapun. Kawal dengan satpam dan supir" ujarku sambil berdiri

"Baik ndok"

Arini berjalan dengan gelisah, dirinya tak ingin membuka luka lama dan tak ingin saling menyakiti. Tak disangka ia telah duduk di taman rumahnya. Memutar kenangan Arini bersama sang suami yang telah meninggalkan dirinya cukup lama.

"Aini"  aku memejamkan mataku mendengar suara dan panggilan dirinya untuk ku.

"Apa kabar"

"Ekhem.. baik"

"Aku turut berduka cita atas berpulangnya Arkan. Aku baru mengetahui sejak berkunjung ke Indonesia"

"Terimakasih. Tak perlu basa basi, aku tak ingin ada kesalahpahaman. Apa yang membawa mu kerumah ku"

"Aku hanya merindukan mu. Oh maaf maksudku kalian. Aku sangat rindu Ibas,Ryan, dan kesayangan ku Alika"

"Tau dari mana aku sudah mempunyai anak"

"Aini, sudah ku bilang kau adalah hidupku, jantung hatiku, aku menjaga mu walau tak bersama mu"

Aku terdiam, aku lemah sekali.

"Pulanglah"

"Aku akan menuruti apapun kemauan dirimu... Dengan satu syarat"

Aku menatap manik matanya, sungguh tak ada perbedaan diantara keduanya. Aku mencari sisi lain tapi tak ku temukan.

"Aku ingin bertemu dengan anak-anak mu dan besok aku akan berjumpa untuk sarapan bersama sebelum aku pulang"

Setelah lama terdiam aku memutuskan untuk meninggalkan dirinya. Aku memasuki kamar dan membuka kotak yang sudah lama tak ku buka. Aku mendapatkan apa yang selama ini ku inginkan.

"Mas.. sungguh ini bukan yang ku mau. Bukan pula yang kau harapkan. Bagaimana mas? Aku tak ingin tersesat untuk kedua kalinya" lirih Arini sambil mengelus foto sang suami

Flashback off

AlikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang