Untuk kesekian kalinya, Aqil gak ngerti kenapa dia ada disini sekarang. Bener-bener yang kesekian kali sampai Aqil sendiri capek sama otak nya yang selalu nanya hal yang sama.
Ngapain, sih?
Disini. Di depan toilet berlambang perempuan, dan di samping toilet untuk laki-laki. Menunggu Ziad, yang bisa Aqil bilang--mantannya, aduh jangan sebut mantan, deh, rasanya gak enak. Panggil Ziad aja.
Aqil juga gak habis pikir! Padahal dua bulan setelah mereka menyelesaikan semuanya, Aqil setengah mati berusaha buat jauhin Ziad karena Ziad--entah karena sifat baiknya atau gimana Aqil masih gak ngerti--masih berusaha kontak dia. Aqil yang mau cepet-cepet move on--cailah, move on--kan ingin menghindari dan menjauhi segala kontak dengan Ziad.
Suara keran mengalir dari ruangan sampingnya--yang ia yakini itu Ziad--jadi backsound pikiran Aqil dengan dirinya sendiri. Aqil mengetuk-ngetukkan sendalnya ke lantai.
"Dih, ngapain lo disitu?" tanya Ziad setelah keluar. Aqil tahu maksudnya kenapa Aqil tidak ke toilet juga seperti dirinya malah menunggu di depan seperti ini.
Aqil cuma ngangkat alis sekaligus ngangkat bahu. Malas mendeskripsikannya lewat kata karena ia malas mikir. Capek.
Ziad dan Aqil berjalan di lorong toilet menuju ke ruangan lebar khas mal. Ziad melirik ke arah kanan dimana Aqil sedang diam dan sepertinya banyak hal yang mengalir di otaknya.
Ziad mengerti.
Aqil yang merasa dilihat pun melirik ke arah Ziad lalu mengangkat kedua alisnya bertanya kenapa, tetapi Ziad hanya nyengir lalu tangannya menarik kepala Aqil ke arah badannya.
Aqil cuma berdeham lalu menjauhkan kepala dari apitan lengan Azil dan badannya. Ia menggeser badannya ke dinding lorong berniat menjauh dari Ziad dan geleng-geleng kepala. Entah kenapa ia malas mengungkapkan semuanya dalam kata-kata.
Ziad tahu maksudnya. Itu bukan porsinya lagi, mungkin itu yang Aqil ingin sampaikan.
Lalu mereka berdua melangkah menuju eskalator untuk turun. Ziad melirik perempuan di sampingnya yang masih tidak banyak kata. "Apa yang lagi lo pikirin?"
Aqil diam. Kenapa Ziad bisa menebak kalau dari tadi dia sedang mikir kapan waktu yang tepat untuk berbicara tentang hari ini.
I didn't mean to come back.
Melihat Aqil yang tidak bersuara, Ziad bertanya lagi hal yang sama.
"Apa yang lagi lo pikirin, hm?"
Aqil masih diam. Matanya menatap sesuatu di hadapan nya. Mencoba mencari jawaban lain tetapi otaknya kembali memutar kalimat yang sama.
I didn't mean to come back.
"Aqil, apa yang lagi lo pikirin?"
"Ada gak ya barang yang gue mau di Guardian?" jawab Aqil asal ketika matanya melihat toko bernuansa hijau tosca di depannya.
Ziad mengikuti arah pandang Aqil. Ia tahu Aqil mengerti kemana arah perkataannya tetapi sepertinya Aqil tidak ingin membahas itu sekarang. Ziad menghela nafas, ia mengikuti kemauan Aqil.
Aqil melangkah masuk menuju rak-rak putih yang ada di Guardian. Pikirannya melayang sedangkan matanya pura-pura mengamati perintilan skin care dan make up yang ada di depannya. Aqil memang gak bermaksud untuk kembali ke Ziad karena--ia tidak mau membayangkan lagi rasanya seperti apa ketika harapan tidak sesuai. Tetapi ketika ia menolak ajakan Ziad untuk main bersama hari ini, rasanya ada yang... kopong? Seperti ada yang kurang. Seperti ada sesuatu dalam diri Aqil yang merasa--seharusnya tidak seperti ini. Aqil mencoba duduk santai di sofa pun rasanya tidak nyaman walaupun televisi telah menayangkan kartun kesukaannya.
Akhirnya, Aqil disini dengan memutari rak-rak di depannya dengan Ziad yang memutuskan untuk duduk di bangku depan toko tersebut.
Hal-hal yang terjadi diantara mereka tidak teruraikan hari ini. Mungkin tidak sekarang.