it is supposed to be this way

6 1 0
                                    

Tata menggigit nori kaku dan pedas yang ada di tangannya ketika Rio duduk di depannya sedang mengendarai motor. Tata merasa lapar sampai kepalanya sedikit terasa pening, mengingat ia baru makan sekali hari ini saat tadi siang sebelum mereka pergi dan sekarang matahari sudah terbenam dua jam yang lalu.

"Lo pasti gak tau jalan ini," ucap Rio ketika ia mengarahkan motornya untuk tetap lurus yang seharusnya mereka putar balik ke arah berlawanan jika ingin pergi ke pasar kuliner yang sering mereka kunjungi.

Tata melihat jalanan depan nya, "tau kok. Pas macet gue pernah lewat sini."

"Bagi dong, Ta. Potongin, tapi jangan terlalu kecil."

Tata memotongkan nori Tao Kae Noi Big Sheet yang ia beli sebelum mereka meninggalkan mal. Makanan kesukaan Tata dan kakak laki-laki nya, tetapi yang ukuran ini Tata merasa nori nya terlalu kaku, lengket dan agak pedas--karena memang rasanya hot, Tata tahu, tapi yang biasanya, yang kecil dan rasanya hot, tidak sepedas ini.

Tata menyerahkan potongan nori ke depan muka Rio, "tapi yang ini lengket gitu, deh. Enakan yang biasa."

"Emang yang murah biasanya begini."

"Itu karena promo launching kayaknya, makanya murah."

Rio kembali fokus menyetir dengan tangan kiri memegang nori yang tadi Tata beri. Ia masih bisa menghandel stang motornya dengan satu tangan karena jalanan di depannya merupakan jalan perumahan bukan jalan raya.

"Ta," panggil Rio yang jarang-jarang memanggilnya seperti ini. Gak juga, sih.

"Hm," Tata menyahut dengan gumaman, tapi Rio tidak bersuara lagi dan Tata mengerutkan dahinya, mulai curiga kalau Rio akan membahas hubungan mereka berdua yang sebenarnya sudah berpisah, "kenapa?" tanya Tata lagi ketika ia masih merasa ini seperti percakapan yang akan menjurus ke--

"Gue mau jadi lurah, camat, RT, RW, gitu-gitu deh."

--arah yang Tata tidak pernah duga. Tata langsung tertawa, antara menertawakan dirinya yang berfikir terlalu jauh dan gambaran Rio menjadi Kepala Rukun Tetangga.

Tetapi tak dipungkiri, pikirannya mengingat kearah Rio yang peduli terhadap lingkungan rumahnya seperti masalah selokan di rumahnya bersih atau tidak, jalanan sekitar rumahnya yang akan dipasang konblok atau suasana rindang sekitar rumah karena pohon.

"Lo ingin menata lingkungan, ya?"

Tata memang tidak melihat wajah Rio tapi ia tahu Rio tersenyum lebar ketika ia mengucapkan, "iyaaa!"

"Random, deh, lo."

"Beneran, Ta." Rio tertawa lalu memarkirkan motornya ketika dihadapannya telah berjejer banyak kedai makanan dari makanan berat, ringan, maupun jajanan es kopi. "Parkir disini aja kali, ya."

"Dikunci stang gak, Pak?" tanya Rio pada bapak berbaju hitam di depannya yang dijawab dengan, "gak usah, Mas."

Tata turun dari motor lalu melepas helm dan menaruhnya di spion motor. Ia mulai memandangi sekitar nya dan memikirkan apa yang enak untuk dimakan malam ini.

"HAH, APA INI TA?"

Mendengar suara Rio yang agak keras dengan nada yang kaget seperti itu membuat Tata menoleh dan mendapati Rio yang sedang melihat ke arah sweater abu-abu nya yang baru saja dilepas dan menemukan ada tempelan sisa nori yang tadi Tata makan.

Tata refleks tertawa lagi, "itu nori. Apa, sih, heboh banget."

Rio nyengir dan mengambil nori tersebut untuk dimakan, "kaget gue. Gue kira apaan."

"Heran, deh. Padahal lo juga tadi tau nori nya suka nempel ke baju."

"Kan dibilangin jangan makan nori di jalan."

Tata tidak menghiraukannya dan mulai jalan memasuki pasar kuliner yang selalu ramai walaupun ini weekdays. Mungkin karena anak sekolah sedang libur kenaikan kelas, kali, ya. Tata kuliah, by the way.

"Nanti kalo ada gurita, kita beli," ucap Rio dari arah belakang lalu mensejajarkan jalan nya dengan Tata.

Tata menoleh ke kanan menatap Rio, mengerutkan dahi nya, mengingat-ingat tentang gurita sampai ia memutar ulang kejadian ketika saat itu--saat mereka masih di bangku kelas dua belas SMA, Tata ingin sekali memakan gurita atau cumi bakar dan bertanya pada Rio apakah ada sekitaran tempat mereka tinggal yang menjualnya, dan Rio berjanji kalau dia akan mencari dan menanyakan ke teman-teman nya.

"Masih inget, kan, gue? Gue udah janji, kan."

"Boleh lah, boleh lah." Tata mengangkat bahunya dengan senyuman di wajah. Gurita atau cumi bakar itu sudah lama sekali, Tata bahkan sudah menuju semester tiga kuliahnya. Tata gak ngerti kenapa Rio masih ingat. Sempat terlintas kali, ya?

"Tapi serius, Ta. Pokoknya entar kalau gue udah lulus kuliah, gue mau langsung masuk--"

"Partai?"

"Iya. Betul. Gue mau ngebenerin sekitaran rumah gue pokoknya. Entar lo liat, ya."

"Iya, gue aminin dulu aja nih, ya? Mending sekarang buruan, deh, cari makan. Keburu kemaleman."

Rio melihat jam tangannya, "lah iya. Harusnya tadi kita dari siang, ya."

Tata menatap nya kesal, "ya, kan, emang. Gue dari taun jebot juga maunya dari siang. Tapi lo bisanya sore."

"Iyaa, gimana, ya, orang sibuk. Eh tapi kalo kita dari siang, gak bakal begini jadinya, beda lagi ceritanya, ya kan?"

Tata menatap muka Rio yang berbicara dihadapannya. Otaknya memutar kembali perkataan Rio dan mencernanya baik-baik. Seperti menyentil pikiran Tata kalau yang dikatakan Rio ada benarnya. Ia baru menyadari kalau mungkin memang jalan ceritanya--jalan cerita mereka, seperti ini, ia bertemu lagi dengan Rio ketika tiga bulan sebelumnya ia berencana untuk tidak menemui nya karena... Tata masih sayang dan Tata tidak mau jatuh lagi. Tetapi, sepandai-pandainya manusia merencanakan dan bertekad, semua belum tentu berjalan sempurna, kan?

Tata menganggukkan kepala nya, entah kenapa merasa agak lega mengetahui bahwa ia memutuskan menerima ajakan Rio untuk bertemu  mungkin bukan kesalahan yang sengaja Tata buat, tetapi memang jalan cerita hidupnya, seperti ini.

"Bubur aja kali, ya, Ta?"

"Iya."

"Mas, bubur nya dua."

"Gue yang porsi kecil."

"Yang satu porsi nya kecil."

"Pake ati ampela gue."

"Yang kecil pake ati ampela, yang satu biasa aja."

"Sama es teh tawar."

"Sama teh tawar, yang satu pake es satunya lagi anget."

FridayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang