Popi melihat-lihat barang-barang di depan nya. Kebanyakan peralatan rumah tangga. Kasur, sofa, meja kayu, meja kaca, yah, typically toko furnitur rumah.
Entah apa yang membuat mereka datang kesini. Oiya, Rivo yang membuat mereka akhirnya kesini. Karena Rivo ingin melihat-lihat saja, katanya.
Rivo yang berada di depannya satu meter itu berjalan lebih dalam lagi. Popi mengikutinya di belakang.
"Asli gak si?" tanya Popi melihat beberapa tanaman di hadapannya. Berbagai tanaman yang Popi tidak ketahui namanya, hanya satu yang Popi tahu, Anggrek, yang terletak dibelakang.
"Kaga lah," kata Rivo yakin, "eh kayak iya."
Popi memegang daun nya, "kaga lah, mikir."
"Lagian gak mungkin beneran lagi," kata Rivo.
"Tapi kayak beneran ya?"
Rivo berjalan lagi ke depan, bagian cermin-cermin besar dengan berbagai macam, Popi tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan nya selain dengan satu kata: bagus.
Rivo berhenti di salah satu cermin dengan material kayu dilapisi cat berwarna hitam, "foto dong, pake hape lo, berdua."
Popi melirik, sedikit ingin, banyak gengsi nya. Banyak ingin, lebih banyak gengsi nya. Ingin banget, gengsi nya banget-banget. Ah cewek emang ribet.
"Gak ah."
"Cepetan."
"Apaansi, kaya apa aja deh."
"Yaudah mana sini hape gue, gue aja foto sendiri," ucap Rivo dengan nada kesal. Sedangkan Popi yang mendengar hanya tertawa.
Mereka berjalan lagi. Kali ini ke tempat barang-barang elektronik. Televisi, Air Conditioner, mesin cuci.
Rivo berhenti di hadapan televisi yang entah Popi tidak tahu berapa inch itu, intinya besar.
"Gue diem disini aja kayaknya betah," kata Rivo melihat tayangan badak, burung, gajah di hadapannya.
Popi tersenyum sedikit, mengangkat bahu.
"Rivo si penyuka binatang," kata Popi.
Popi berjalan lagi ke bagian hiasan. Kebanyakan hiasan dinding, tapi ada barang-barang lainnya, seperti lampu neon, candle, dan banyak lagi. Tapi Popi suka bagian ini, hiasan dingin dengan material kanvas atau kayu dengan isi quotes.
"Lo pernah bilang bisa buatin gue kayak gini," ucap Popi tanpa melihat Rivo yang kali ini berada di belakang nya.
"Iya lah. Gampang banget."
"Bener ya? Buatin, sih. Pokoknya bahan-bahan dari lo deh, entar gua yang nulis nya aja."
"Justru, lo yang nyari bahan, gue tinggal buat."
"Lah, ogah, sue. Kebalik!"
"Lo sayang nggak sama gue?"
Popi mengernyit mendengar jawaban yang out of topic. Ia berbalik menatap Rivo.
"What?"
"Gue nanya serius ya."
Popi, si overthinker, bertanya, "kenapa emang? Are you wondering?"
"Gapapa deh, hehe."
Popi mendengus, "katanya serius."
"Ya, gue sayang sama lo. Lo sayang sama gue nggak? Lo mau pacaran? Atau mau kayak gini aja?"
Popi terdiam sesaat.
"What makes you think like this?" tanya Popi. Karena mereka pernah membahas ini sebelumnya. Dan Rivo juga seharusnya tahu betul bagaimana perasaan Popi padanya.
Rivo melihat Popi, "tapi lo jangan ketawa ya."
Popi menaikkan alis. Dibilang seperti itu Popi malah ingin terkekeh entah kenapa. Ujung bibir nya berkedut sedikit, ia menahan untuk tertawa.
Rivo berbalik arah. Tanpa melihat Popi ia berkata, "ya gue takutnya lo nunggu gue buat nembak lo."
"What the f?" Popi shocked.
"Pi, your language."
Alis Popi berkerut makin dalam, "jadi lo kasian gitu maksudnya sama gue?" tanya nya berusaha keliatan santai tapi nadanya menunjukkan bahwa ia tidak suka.
Rivo menatap Popi, "tuh kan! Emang pikiran lo. Panjang. Udah abaikan, deh."
"I'm complicated, aren't I?"
"Ya makanya gue nanya lo. Mau lo kayak gimana? Kayak gini aja apa gimana?"
Popi tetap tidak mengerti. Sebenarnya alasan Rivo yang dia harapkan adalah karena Rivo memang ingin mereka seperti itu atau setidaknya hal itu Rivo lakukan, ya, karena Rivo memang ingin, karena kehendak Rivo, bukan karena Popi seperti yang Rivo ucapkan.
Ditanya seperti itu, Popi jelas-jelas tidak ingin memutuskan, "kok lo jadi nanya gue?" tanya nya dengan muka yang entah Popi tidak bisa mendeskripsikannya. Yang ia tahu, alis nya berkerut dan mungkin mukanya jauh dari kata santai.
Lo nya sendiri gimana, Vo?
Rivo mengangkat bahu. "Yaudah kaya gini aja," gumam nya agak ragu.
Popi diam.
Rivo menjelaskannya lagi, "iya, kayak gini aja."
Popi mengangguk-anggukan kepalanya. Dan Popi tidak mengerti apa sebenarnya yang Rivo inginkan.