Hai! Aku, Na, kekasih Mas Ben. Tak ada yang tahu bahwa kami memiliki hubungan spesial.
Selain menjadi arsitek muda yang sukses, Mas Ben adalah lelaki baik dan mencintai keluarganya. Ya, ia adalah seorang suami untuk istrinya yang cantik, dan seorang ayah untuk kedua putranya.
Tolong jangan menghakiminya hanya karena ia menjadi kekasihku. Aku mengatakan bahwa ia lelaki baik, karena ia memang baik. Sebab itu aku tak kuasa melarangnya masuk ke dalam hati dan kehidupanku.
Mungkin orang-orang akan menceramahi karena aku telah memilih kehidupan seperti ini. Tapi andai saja mereka menjadi aku, belum tentu mereka mampu menolak gairah cinta yang disuguhkan Mas Ben.
Masih lekat dalam ingatanku kejadian malam itu. Kejadian yang membuat kami akhirnya memiliki hubungan yang tak biasa.
"Hei! Serahkan tasmu!" Teriakan itu membuat langkahku terhenti.
Dua orang lelaki sangar menghadangku saat pulang kerja. Aku panik, takut, tapi aku ingat Ayah pernah mengajarkan teknik bela diri padaku.
"Santai, Bung!" kataku sok berani.
Ternyata sikapku membuat penjahat itu meradang. Mereka lantas mencengkeram lenganku dan berusaha mengambil barang-barangku. Tentu saja aku kesal. Langsung saja kuberi jurus yang pernah diajarkan Ayah. Namun ternyata aku tak sekuat dugaanku. Mereka menang. Salah satu lelaki itu bahkan menamparku. Perih!
Saat itulah pertama kali aku melihat sosok Mas Ben. Ia datang menghardik dua orang itu, dan bertarung menjatuhkan mereka.
Sejak saat itu Mas Ben adalah pahlawan bagiku.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, setelah dua penjahat itu kabur.
"Pipiku sakit," jawabku, lugu.
Mas Ben memerhatikan sekilas, lalu ia mengambil saputangan dari sakunya dan memberikannya padaku.
"Masih bisa jalan, kan? Ayo, kuantar pulang."
Badanku terasa remuk. Kupikir Mas Ben akan menggandengku menuju mobilnya, tapi tidak. Sebenarnya aku heran dengan sikapnya. Ia perhatian, sekaligus tak perhatian. Ah, entahlah aku bingung menyebutnya apa.
Ia membukakan pintu penumpang.
"Maaf, Mas, tapi aku bukan bosmu. Aku tak enak duduk di belakang," kataku.
"Lalu kamu mau duduk di mana? Jok depan ini khusus untuk istriku."
Deg. Kenapa tiba-tiba aku merasa cemburu? Begitu sayang lelaki ini kepada istrinya. Siapa perempuan yang beruntung itu?
Aku pun berakhir di jok belakang memerhatikannya dengan perasaan yang campur aduk. Betapa bahagianya. Seorang lelaki tampan sedang duduk di belakang setir itu untuk mengantarku pulang. Kuperhatikan ia lekat. Hidungnya mancung, alis matanya hitam tebal, dan yang paling kusuka adalah tatapan matanya yang teduh.
Tapi pahlawanku ternyata sangat mencintai istrinya.
Ah, Na ... tentu saja ia mencintai istrinya! Rutukku pada diri sendiri.
"Maaf, Mas. Apa aku boleh tahu namamu?" tanyaku memberanikan diri.
"Ben."
"Makasih sudah menolongku, Mas Ben. Aku, Na."
Mas Ben hanya membalas salam perkenalanku dengan senyum menawannya yang kulihat dari kaca spion. Selanjutnya Honda Jazz merah itu melaju kencang membelah jalanan Jakarta.
***
Tak lebih dari tiga puluh menit kami sampai di tujuan. Aku heran. Pagar rumahku terbuka lebar. Sebuah pemandangan yang tak biasa menyambut ketika kami memasuki halaman. Tetangga memenuhi rumah, dan sayup kudengar lantunan ayat suci Al-Quran dari dalam. Aku menerobos kerumunan orang, dan terkejut seketika saat melihat sosok yang terbujur kaku di tengah ruangan. Aku berlari dan terhenyak tepat di sampingnya. Bu Eno memegang pundakku, dan memintaku untuk tabah.
Itu jasad Ayah. Aku menangis sejadinya. Malam itu sungguh berat untukku. Aku kehilangan satu-satunya keluarga yang kupunya. Mungkin hanya keluarga Bu Eno orang terdekatku setelah Ayah. Mereka tetangga kami yang sudah kami anggap seperti keluarga sendiri.
Sejam berlalu. Mas Ben ternyata belum pergi. Ia juga berusaha menenangkanku.
"Na, yang tabah, ya," katanya mendekat.
Aku menatapnya sekilas lalu kembali memeluk jasad ayahku. Lelaki itu meskipun menghampiri, tak sedikitpun ia menyentuhku, mengusap kepalaku mungkin? Ah!
Tak lama setelah itu, Mas Ben berpamitan, dan memberikan kartu namanya padaku.
"Ini kartu namaku. Jika perlu sesuatu hubungi saja," katanya sebelum berlalu.
Oh, lelaki itu. Ia datang di saat yang sangat tepat bagiku, walaupun tidak baginya. Tiba-tiba segores luka tumbuh di sisi hatiku yang lain. Andaikan Mas Ben masih sendiri.
***
Setelah Ayah pergi hidupku menjadi tak mudah. Aku merasa kesepian. Hanya pekerjaan kantor yang kujadikan pelarian. Aku meminta atasanku memberikan tugas yang banyak. Walaupun harus begadang, bagiku tak mengapa.
Namun suatu hari aku sungguh tak tahan. Kartu nama Mas Ben yang selama ini kusimpan di dompetku sangat menggoda di saat-saat seperti itu. Dua bulan sudah kami tak bertemu sejak hari kematian Ayah, dan malam itu kuberanikan diri untuk menghubunginya.
"Mas, masih ingat aku? Na." Begitu pesan pertamaku untuknya.
"Ya. Ada apa, Na?" Uh, jawaban yang kaku. Aku jadi bingung harus membalas apa.
Untunglah ada saputangan pemberiannya yang bisa kujadikan alasan. Kukatakan bahwa aku ingin mengembalikannya. Mas Ben hanya membalas dengan emoticon senyum. Mungkinkah ia tahu itu hanya modus? Aduh! Aku malu sekali.
Begitulah. Meskipun awalnya terasa canggung, tapi beberapa waktu selanjutnya obrolan kami jadi menyenangkan.
Mas Ben tak pernah menuliskan kata-kata gombal atau sejenisnya saat chatting denganku, namun terkadang memang ia yang memulai chatting lebih dulu. Biasanya ia meledek status yang kupasang di story-ku.
Oh, bahagianya. Aku seakan punya dunia baru. Dari obrolan itu pula akhirnya aku tahu bahwa ia tinggal di kota Padang, daerah asal istrinya. Ia punya perusahaan di sana, dan saat bertemu denganku waktu itu ia sedang melakukan perjalanan bisnis ke Jakarta.
Hari-hari terlewati. Kini Mas Ben telah menempati urutan pertama untuk orang terpenting dalam hidupku, meskipun baginya mungkin aku bukan siapa-siapa. Ya, begitu pikirku sebelum akhirnya kami ditakdirkan bertemu tanpa sengaja di Jogjakarta. Sebuah pertemuan yang berakhir di kamar hotel tempat Mas Ben menginap.
Salahkah aku jika semakin mencintainya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TERGODA MAS BEN
RomanceHai, aku Na kekasih Mas Ben. Tak ada yang tahu bahwa kami memiliki hubungan spesial. Selain menjadi arsitek muda yang sukses, Mas Ben adalah lelaki baik dan mencintai keluarganya. Ya, ia adalah seorang suami untuk istrinya yang cantik, dan seorang a...