Ketahuan saat berbuat kejahatan itu benar-benar memalukan. Ya, kuakui aku sudah sangat jahat pada Mas Ben dan keluarganya. Tapi siapa yang tahan melihat orang yang dicintainya menderita?
Aku masih mematung dengan menanggung tatapan tajam dari orang-orang yang ada di ruangan itu.
"Memalukan!" Seorang perempuan paruh baya membentakku.
Aku tak membalas.
"Bu, jangan marahi Na." Dengan kondisinya yang masih lemah Mas Ben berusaha membelaku.
"Kamu masih membelanya? Tolong hormati istrimu, Ben! Apa salah Diah? Apa salah anakku padamu?" Kudengar Mas Ben terisak begitu juga dengan perempuan yang akhirnya kuketahui adalah ibunya Diah.
"Maaf, Bu. Aku ...."
"Diam kamu!" Ibu itu semakin marah. Aku tak diberi kesempatan memberikan penjelasan. Ia juga mengusirku dari ruangan itu.
Cepat-cepat kutinggalkan mereka agar suasana tak semakin keruh. Kutumpahkan tangisku di koridor. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Andaikan aku tak jatuh cinta pada Mas Ben, mungkin semua ini takkan terjadi.
Uda Ali menemaniku sebentar. Ia menceritakan bagaimana kronologi kecelakaan yang dialami Mas Ben. Aku ngilu mendengarnya. Semoga semua itu terjadi bukan di saat Mas Ben berusaha menghubungiku. Sebab jika itu benar, aku takkan sanggup menanggung rasa bersalah ini seumur hidup.
Dari Uda Ali juga aku tahu bahwa Diah saat ini sedang koma. Kondisinya sangat buruk. Untunglah mereka hanya berdua saja ada di mobil itu. Anak-anak memang tak ikut liburan kali ini. Apa mereka bulan madu? Ah, entah mengapa cemburu itu menggelayut lagi di hatiku.
Waktu berlalu. Aku masih di koridor saat kudengar ribut-ribut dari ruangan perawatan Mas Ben. Kudekati lagi ruangan itu.
"Pokoknya Robin ngga mau makan! Robin mau makan sama Bundo aja! Pokoknya!" Seorang anak mengamuk sambil melempari barang-barang. Ia menangis sesegukan.
"Robin ... tenang dulu. Jangan lempar-lempar barang kayak gitu. Aduh! Robin!" Anak itu sedikit dibentak oleh seorang perempuan muda.
"Etek jahat! Robin mau sama Bundo!" Bukannya berhenti melempari barang, tapi anak itu semakin menjadi.
Sepertinya tadi aku ketiduran, sebab tak melihat kapan anak itu datang. Ruangan pun tak seramai tadi. Mereka yang masih ada di sana, berusaha memegangi Robin, tapi gagal. Dari kejauhan kulihat Mas Ben hanya bisa menatap kejadian itu dengan berlinangan air mata.
"Lepasin! Lepasin!" Robin berteriak tak karuan.
Dengan mengumpulkan keberanian, kudorong pintu yang sedikit renggang itu. "Tenang, Sayang. Robin ngga salah, kok," ucapku. Semua orang menoleh.
Di luar dugaan, Robin berlari memelukku. Ia masih terisak. Aku merasa tak enak dengan keluarga yang lain. Sebagian dari mereka masih menatap dengan pandangan tak suka, sementara yang lainnya menatap lega karena aku berhasil menenangkan Robin.
Robin ternyata anak sulung Mas Ben dan Diah. Anaknya yang kecil tampak tertidur di kursi. Mungkin sudah sangat lelah. Dalam tatapannya yang masih lemah, Mas Ben tampak lega menyaksikan kejadian itu.
"Robin ... Tante suapin, yuk. Biar Robin sehat terus dan ayahmu senang." Aku berusaha membujuk Robin.
"Robin mau Bundo ...." Hanya itu yang keluar dari mulutnya bersamaan dengan isakan yang belum reda.
"Robin doain bundonya, ya, biar cepat sembuh." Aku tak tahu dari mana kekuatan itu berasal. Menenangkan Robin seperti itu sesungguhnya sedang mengoyak hatiku sendiri. Ia itu anak Mas Ben dan Diah, orang yang kucemburui.
Robin akhirnya mau kusuapi meskipun sambil menangis. Dan setelah selesai menyuapinya aku beranjak dari ruangan itu. Tak berani mendekati Mas Ben atau siapapun.
"Na, terima kasih." Suara Mas Ben bergetar saat aku mencapai pintu.
Aku menoleh padanya, dan membalas dengan tersenyum. Sementara itu tak ada kata yang keluar dari keluarga yang lain. Mereka membiarkanku pergi begitu saja. Baiklah, tak apa. Ini memang salahku.
Malam semakin larut. Aku lantas memesan taxi dan mencari hotel terdekat untuk menginap.
***
Keesokannya aku datang lagi. Hari ini sepi. Di ruangan itu kini tinggal ibunya Diah seorang. Aku tak melihat Robin dan adiknya. Mungkin dibawa pulang oleh perempuan yang dipanggilnya "Etek". Sepertinya orang-orang sudah kembali ke aktivitas masing-masing.
Ibu itu tampak kewalahan karena harus mengurus Mas Ben dan bolak-balik ke ruangan tempat Diah dirawat. Aku hanya berdiri di luar sambil menunggu Mas Ben ditinggal sendirian, namun belum ada kesempatan. Tadi ada beberapa orang yang datang silih berganti, menjenguk sebentar lalu pergi lagi. Aku menunggu dengan hati berdebar. Setiap kulihat ibunya Diah hendak lewat, aku menjauh. Aku tak mau ia kalap lagi padaku.
Usai makan siang di kantin, aku kembali ke koridor itu. Aku terkejut saat seseorang membuka pintu dengan tiba-tiba.
"Anakmu itu keterlaluan. Aku tak menyangka ia mengkhianati anakku. Kamu harus bilang ...."
Ternyata itu ibunya Diah. Ia sedang bertengkar hebat dengan seorang perempuan paruh baya lainnya, dan sangat murka saat ia melihat wajahku kembali.
"Heh! Kamu masih di sini?" katanya padaku. "Lihat! Ini dia perempuan simpanan anakmu!" Ia berteriak kepada lawan bicaranya yang akhirnya kuketahui adalah ibunya Mas Ben.
Aku menunduk. Tatapan tajam kedua perempuan itu membuatku takut.
"Jangan ribut di sini. Ayo, masuk!" kata ibu Mas Ben, tegas.
Kini aku berhadapan dengan dua orang penting dalam kehidupan Mas Ben dan Diah. Ibu Mas Ben marah besar saat mendengar pengakuan kami. Katanya, aku telah membuat Mas Ben mencoreng nama baik keluarga. Ia menyuruhku pergi dari kehidupan Mas Ben. Kulihat Mas Ben tertunduk lemas. Ia tak bisa membantah lagi. Sama halnya denganku, Mas Ben pasti juga menyadari bahwa apa yang kami lakukan adalah dosa besar.
***
Hari ketiga di kota Padang. Aku berjalan di koridor rumah sakit sambil membawa koperku. Setelah puas menangis semalaman di hotel, kuputuskan untuk pulang ke Jakarta siang ini, tapi sebelum itu aku ingin berpamitan pada Mas Ben.
Baru saja aku sampai di dekat pintu, kudengar Mas Ben berteriak tentang sesuatu yang membuatku bagaikan disambar petir.
"Oh, Tuhan! Aku hancur. Aku orang yang ngga berguna! Kakiku tak bisa berjalan lagi!"
Apa? Mas Ben lumpuh? Aku terkesiap, tak sanggup mendengarnya. Air mataku tumpah sudah. Dengan sigap kudorong pintu itu. Di dalam ruangan tampak olehku seorang dokter, dua perawat dan beberapa keluarga.
"Permisi," ucapku pada mereka.
Lalu dengan jantung berdebar kudekati ibu Mas Ben dan ibu Diah.
"Bu, izinkan aku mendampingi Mas Ben untuk melewati semua ini," kataku tak tertahan.
Kedua orang tua itu terkejut dan menatapku, tajam. Tapi aku tak peduli. Aku tak bisa membiarkan Mas Ben melewati ini seorang diri.
***
Keterangan: Etek =Tante
KAMU SEDANG MEMBACA
TERGODA MAS BEN
RomanceHai, aku Na kekasih Mas Ben. Tak ada yang tahu bahwa kami memiliki hubungan spesial. Selain menjadi arsitek muda yang sukses, Mas Ben adalah lelaki baik dan mencintai keluarganya. Ya, ia adalah seorang suami untuk istrinya yang cantik, dan seorang a...