Hari ini cuaca panas sekali. Sepanas situasi di ruang perawatan Mas Ben. Ibu Mas Ben dan ibu Diah sedang berdebat tentang sebuah hal besar, dan aku terjebak di tengahnya.
"Kalau begitu kamu, em ... siapa namamu?" Ibu Mas Ben membuka pembicaraan.
"Na, Bu," jawabku.
"Ya! Na ... sebaiknya kamu menikah saja dengan Ben. Tak ada sejarahnya dalam keluarga kami perzinaan seperti ini. Kami juga ngga tau kan kalian sudah berbuat apa aja?" lanjutnya.
Aku dan ibu Diah terperanjat.
"Hei, Ratmi! Apa kamu bilang? Mereka menikah? Kamu pikir Diah itu apa? Anakku punya perasaan. Aku ngga setuju! Jangan coba-coba!" ancam ibu Diah. Ia menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
Oh, Tuhan! Sejak awal aku jatuh cinta pada Mas Ben memang aku selalu dihantui rasa cemburu pada istrinya. Tapi sungguh aku tak punya keinginan untuk merebut Mas Ben darinya. Aku hanya mencintai lelaki itu dengan segenap jiwaku. Apakah tak bisa?
"Nora ... terus kita harus bagaimana? Ben dan Diah sedang dalam masalah besar. Aku tak bermaksud menyakiti Diah. Ia sudah kuanggap anakku sendiri. Diah itu menantu yang sempurna. Tapi coba lihat, anak-anak kita sedang butuh bantuan besar untuk melewati hidupnya. Bukannya aku tak mau ikut menjaga mereka, tapi adiknya Ben baru melahirkan, aku tak bisa lama-lama di Padang, dua hari lagi harus pulang ke Surabaya." Ibu Mas Ben mengucapkan itu dengan raut wajah pasrah. Sedih, tegar, sakit hati, semua tampak melebur jadi satu.
Aku menampung semua perkataan dua orang tua itu dalam hati dan benakku. Kelu rasanya lidahku untuk berata-kata. Mengapa semuanya menjadi semakin rumit? Aku tak berharap banyak. Andaikan aku bisa menjadi asisten Mas Ben selama ia melewati pengobatan ini, aku akan mendampinginya sampai ia bisa berjalan lagi.
Kuakui aku takkan pernah bisa melupakan cintaku padanya. Tapi aku berjanji akan mencoba mengikis keinginanku untuk terlalu perhatian padanya. Aku berjanji takkan merebut Mas Ben dari Diah. Nanti jika Mas Ben sudah bisa berjalan kembali, aku akan pergi. Aku takkan mengganggu mereka lagi.
"Hei! Kamu dipanggil dari tadi ngga jawab!" Ibu Diah membuyarkan lamunanku.
"Maaf, Bu," kataku, mencoba fokus.
"Jika kamu ingin membantu Ben, kamu jadi pembantu saja di rumah mereka. Tapi jangan berani bermain api. Aku akan mengawasimu," kata Ibu itu, tajam.
"Lho ... Nora, kalau kita melepas mereka seperti itu artinya kita menyetujui Ben untuk berzina, dong. Aku ngga setuju!" Ibu Mas Ben kembali pada gagasannya.
"Maaf, Bu. Sebenarnya aku ngga bermaksud merebut Mas Ben dari Diah. Maaf jika semuanya jadi begini. Aku sangat salah. Tentang kesembuhan Mas Ben, aku ingin mendampinginya sebagai asisten jika Ibu mengizinkan." Akhirnya kusampaikan uneg-unegku pada mereka.
"Asisten? Maksudmu pembantu, kan, seperti kataku?" ucap ibu Diah, sinis. Sepertinya ia benar-benar ingin menyiksaku.
"Ngga ... ngga! Aku ngga setuju. Jika kalian ngga menikah tapi tinggal seatap, itu akan membuat kalian terjerumus. Sudah cukup kamu mempermalukan kami!" Ibu Mas Ben tampak begitu tegas dengan poin yang satu ini.
"Aku ngga terima anakku dimadu. Diah sekarang sedang koma, butuh bantuan, bukan dikhianati seperti ini!" Ibu Diah menangis. Tangis pilunya membuat hatiku tersayat.
Perdebatan itu berlangsung cukup lama. Mas Ben sedang diberi obat penenang oleh dokter, jadi kami bisa membicarakan semua itu di ruangannya. Tiga pasang mata sembab ini adalah mata yang sama-sama mencintai Mas Ben, dan ingin yang terbaik untuknya, meskipun sepasang mata di antaranya berisi cinta yang terlarang, yaitu aku.
***
Kamar hotel beraroma lavender menemani kegalauanku malam ini. Aku sudah membatalkan penerbangan untuk batas waktu yang belum ditentukan. Urusan Mas Ben jauh lebih penting.
Kulihat semua daftar kontak di handphone-ku. Ingin rasanya menelepon seseorang untuk membagi sesak ini, tapi aku tak punya sahabat yang bisa kucurhati. Rekan kerjaku bahkan tak tahu tentang urusan pribadiku. Kami hanya dekat secara profesional dan pertemanan biasa saja.
Oh ya, aku baru ingat Bu Eno, tetanggaku. Apa kuhubungi ia saja, ya? Keluarganya cukup dekat dengan keluarga kami. Dulu waktu Ayah masih ada, jika aku sakit dan Ayah sedang bekerja, Bu Eno yang menemaniku di rumah. Ia ibu rumah tangga dengan dua anak laki-laki yang umurnya jauh di bawahku. Bu Eno dan Pak Toha, suaminya, tak punya anak perempuan. Katanya, mereka sudah menganggapku sebagai anak sendiri.
Meskipun tak pernah curhat tentang hal pribadi pada Bu Eno sebelumnya, kupikir tak ada salahnya kali ini menjadi yang pertama.
Kujatuhkan pilihan ke nomor Bu Eno. Suaranya terdengar gembira di ujung sana. Awalnya kami saling menanyakan kabar, lalu ia bercerita tentang acara-acara RT yang diikutinya, lantas pelan-pelan kubawa Bu Eno pada topik utama.
"Bu, Na boleh nanya ngga?" kataku, hati-hati.
"Ya, tentu, dong. Mau nanya apa, sih?" katanya, penasaran.
"Hm ... menurut Ibu apa aku salah jika jatuh cinta pada suami orang?"
"Apa? Astaghfirullah!" Sepertinya Bu Eno sangat terkejut. "Sejak kapan kamu terlibat cinta seperti itu, Nak?" sambungnya lagi.
"Hampir setahun, Bu," jawabku, jujur.
"Na ... anak Ibu, Ibu ngga bermaksud mengguruimu. Tapi sebaiknya kamu akhiri hubungan itu, ya. Kasihan keluarganya. Ingat! Semua itu dosa besar!"
Aku terdiam. Perlahan mataku terasa panas, dan air mata mengalir begitu saja.
"Na? Kamu masih di sana, kan?" kata Bu Eno lagi.
"Ya, Bu," sahutku. Suaraku serak karena tangis.
"Hm ... Ibu bisa memahami cinta yang kamu rasakan. Ibu juga ngga akan menghakimimu. Ibu percaya kamu bisa pilih keputusan yang terbaik."
Setelah Bu Eno memberikan beberapa nasihat lainnya, pembicaran itu kami sudahi. Lihatlah betapa buruknya aku. Hal seperti ini pun tak terpikirkan sebelumnya. Tentang perasaan orang lain, tentang masa depanku dan tentang dosa.
Tapi aku ingin bertanya, jika semua ini adalah salah, lalu apakah cinta yang kurasakan selama ini tak ada artinya? Apakah mencintai itu memang salah?
Malam semakin larut. Sebaiknya aku istirahat. Pembicaraan dengan Bu Eno telah membuatku menyadari satu hal. Dan hal itu akan menjadi dasar keputusan yang akan kusampaikan pada ibu Mas Ben dan ibu Diah besok. Mungkin ini akan mengejutkan mereka. Semoga mereka siap.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
TERGODA MAS BEN
RomanceHai, aku Na kekasih Mas Ben. Tak ada yang tahu bahwa kami memiliki hubungan spesial. Selain menjadi arsitek muda yang sukses, Mas Ben adalah lelaki baik dan mencintai keluarganya. Ya, ia adalah seorang suami untuk istrinya yang cantik, dan seorang a...