9. Di Antara Dua Cinta

497 31 2
                                    

Jantungku masih berdebar. Kueratkan pelukanku di tubuh Mas Ben yang kian terisak. Haruskah kukatakan padanya apa yang kulihat? Dua jenak kubiarkan diriku dalam bimbang.

"Mas," kataku, akhirnya.

"Hm?" sahutnya.

"Diah," sambungku, lirih.

Mas Ben segera melepaskan pelukan itu. Spontan ia berpaling ke arah Diah yang sedang terbaring lemah. Jemarinya masih bergerak perlahan.

"Diah, kamu sadar, Sayang? Alhamdulillah." Dengan cepat Mas Ben menghapus air mata. Suamiku seperti baru saja mendapatkan sebuah berita maha bahagia, dan pancaran itu terlihat jelas di wajahnya.

"Dek, tolong panggilkan dokter!" katanya. Seolah tangisannya beberapa detik lalu bukanlah apa-apa, semua sirna begitu saja.

"I ... iya, Mas," kataku, gugup. Ternyata inilah yang bisa membuat Mas Ben berbahagia sejak masalah beruntun menimpanya. Ia memang tak pernah kasar padaku, bahkan selalu menyalahkan dirinya sendiri karena telah membuatku terseret terlalu dalam, tapi bukan kehadiranku yang bisa menciptakan kebahagiaan dalam dirinya.

Kutepis gundah hatiku dan menekan tombol panggilan agar perawat segera datang. Beberapa menit berselang dokter Andi sudah ada bersama kami. Ia memeriksa kondisi Diah, dan benar saja, perlahan Diah tersadar dari komanya.

"Mas ... Ben," ucapnya, lemah.

"Iya, Sayang. Mas di sini." Mas Ben mengeratkan genggamannya. Satu tangannya membelai kepala Diah yang bergerak perlahan.

Kelopak mata perempuan itu membuka. Ia seperti mengernyit dan mengejapkan matanya berulang kali.

"Mas ... aku kok .... Aku kenapa ngga bisa lihat apa-apa, Mas? Kok gelap? Kok aku ...? Ya, Allah ...." Kalimat Diah terucap dengan kacau, dan bercampur isakan yang hampir saja meledak.

"Dok, ada apa dengan istri saya, Dok? Diah ... yang sabar, Sayang. Dok, tolong istri saya." Tak bisa dihindari Mas Ben pun menjadi panik.

"Tenang, ya Bu, Pak. Sebentar saya periksa." Dokter Andi tampak memberikan beberapa instruksi pada perawat yang mendampinginya, lalu ia memeriksa mata Diah dengan saksama.

Suasana panik itu mempengaruhi siapa saja yang ada di ruangan, termasuk aku yang sejak tadi berada di samping Mas Ben. Aku mengusap pundak suamiku agar ia sabar menghadapi semua ini.

"Diah anak Ibu ... Diah udah sadar?" Ibu Diah yang sejak tadi pergi pun tiba di ruangan dengan sumringah.

"Alhamdulillah," ucap ibu Mas Ben yang mengiringinya di belakang.

Namun beliau berdua sangat terkejut melihat kenyataan yang ada. Diah bercucuran air mata.

"Mas, aku ngga mau buta, Mas. Tolong aku, Mas. Tolong aku!" Tangisan pilu Diah membuat ruangan itu berbalut kengerian.

"Sabar, Sayang. Biar dokter periksa dulu, ya. Kita akan cari solusinya sama-sama." Mas Ben berusaha menenangkannya.

Dokter Andi memberikan penjelasan yang cukup panjang pada kami. Lanjutan pemeriksaan kondisi Diah akan segera dilakukan. Namun dari semua itu sesuatu yang jelas adalah bahwa saat ini Diah tak bisa melihat lagi.

"Tidak! Aku ngga mau, Mas. Aku ngga mau! Aku ngga berguna. Aku benci!" Diah meraung, dan Mas Ben berusaha merangkulnya dengan susah payah. Kondisi Mas Ben yang saat ini sedang lumpuh tak memungkinkannya untuk bergerak dengan leluasa.

"Ya Allah, apa yang terjadi dengan anakku? Tolong anakku ya, Allah." Ibu Diah tak bisa menahan tangisnya.

"Sabar, Nora," kata ibu Mas Ben menyabarkan.

"Kamu lihat, Ratmi ... betapa malangnya anakku. Apa salah anakku?" Ia meraung kembali.

Kedua orangtua itu lalu terisak bersama sambil berangkulan.

***

Waktu berlalu. Hari ini harusnya menjadi malam pertama kami, aku dan Mas Ben. Namun di sini lah kami sekarang. Di ruangan perawatan Diah dengan Mas Ben yang hanya terpaku di sisi istri pertamanya itu sejak selesai makan malam tadi.

Ia menemani Diah yang sudah mulai bisa mengendalikan diri, meskipun air mata selalu mengalir tanpa diundang sejak ia tahu sudah tak bisa melihat lagi. Suami kami menenangkannya. Mereka bercakap-cakap dengan penuh mesra seperti sepasang kekasih yang dilanda asmara, sementara aku harus ada di ruangan itu menyaksikan semuanya.

Meskipun ibu Mas Ben dan ibu Diah juga ada di sini, tapi aku tak mungkin meninggalkan Mas Ben. Ia terkadang membutuhkanku untuk mengambilkan sesuatu dan lain hal, atau sekadar menemaninya dan entah apa alasannya, saat aku ingin beranjak, Mas Ben selalu melarangku.

Sampai tiba-tiba Diah berkata, "Mas, aku ingin berdua saja denganmu malam ini."

Aku tersentak. Mas Ben mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tanpa pikir panjang, ibunya dan ibu Diah beranjak keluar diikuti olehku yang tertunduk oleh rasa cemburu. Ah, dalam kondisi ini masih sempat saja aku merasakan cemburu ini. Tapi apakah aku salah? Mas Ben sekarang juga suamiku. Aku berhak atas kehadirannya di sisiku, apa lagi kami baru saja mengikat janji suci pernikahan beberapa jam yang lalu.

Sesampainya di luar, ibu Diah dan ibu Mas Ben berjalan melewatiku. Katanya, mereka ingin duduk di lobi dan mengajakku serta. Namun aku ingin di sini saja, dekat ruangan ini, agar bisa segera datang saat Mas Ben membutuhkanku.

Ada kursi tunggu juga di koridor. Aku duduk sambil menatap terus ke pintu ruangan itu. Sedang apa suamiku saat ini? Aku berharap binar di matanya saat tahu Diah siuman, takkan pernah hilang lagi. Kurasa tugasku mulai berkurang. Keinginanku untuk mengembalikan senyum Mas Ben, perlahan terpenuhi dengan sadarnya Diah.

Ketika aku berharap bahwa kehadiranku adalah untuk mendampingi Mas Ben melewati semua ini hingga ia sembuh nanti, ternyata memang itulah yang kudapatkan. Mas Ben tak pernah ragu menumpahkan tangis di hadapanku, ia dengan lebih leluasa bisa meminta tolong untuk diambilkan benda apapun yang ia mau, bahkan aku orang pertama yang diberitahunya jika ia rindu pada Diah yang waktu itu sedang koma, dan ingin berkunjung ke ruang perawatannya.

Tak terasa bulir bening membasahi pipiku. Mengapa ini terasa menyakitkan?

"Hei, kamu menangis?" Sebuah tangan yang hangat menghapus air mataku.

"Mas Ben?" kataku, terkejut. Ia menempatkan kursi rodanya tepat di sampingku. Dengan sigap kuseka wajahku agar tak terlihat begitu kusut.

"Maaf, Mas ... aku ngga tahu Mas ada di sini," sambungku lagi.

Mas Ben tak menjawab, ia hanya menatapku, dan berusaha mengulaskan sebuah senyum. Digenggamnya tanganku, lembut.

"Hm ... bagaimana keadaan Diah, Mas? Udah baikan?" tanyaku menghalau kecanggungan itu. Mas Ben bergeming.

Aku tersenyum. "Ya , udah ... kalau gitu malam in ...."

Belum sempat aku menyelesaikan kalimat itu, Mas Ben menarik tanganku. Perlahan kurasakan kehangatan yang luar biasa menjalar di antara kedua bibirku yang dikulum mesra olehnya.

Ciuman pertama!

Jantungku berdebar ... sangat cepat.

***

TERGODA MAS BENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang