3. Kejutan Mas Ben

1K 32 1
                                    

"Mas, aku ngga bisa!" kataku sambil mendorong tubuh Mas Ben yang berada sangat dekat dengan tubuhku.

"Ngga bisa apa? Aku ngga ngapa-ngapain," kata Mas Ben. Tubuh atletisnya hanya bergerak sedikit karena doronganku.

"Iya, aku ngga bisa berdiri lama-lama. Kakiku sakit habis jalan-jalan tadi," kataku lagi. Kram betisku sepertinya mulai kambuh. Tapi aku tak perlu menceritakannya pada Mas Ben agar tak ada kejadian ajaib lagi malam ini.

Lagi pula siapa yang tak lelah seperti itu. Apalagi dengan jantung berdebar-debar tak karuan. Sudah 60 detik Mas Ben berdiri di hadapanku memamerkan ketampanannya yang tiada tara.

Sementara Mas Ben memperhatikanku terus, aku malah menatap lurus ke kancing kemejanya. Tak sanggup menatap mata lelaki yang kucintai itu.

"Na, kenapa sih kamu merusak suasana romantis? Ah, kamu ini!" Mas Ben menatapku sambil tersenyum.

Apa? Romantis katanya?

"Sudahlah Mas jangan mencandaiku lagi. Ngga semuanya bisa dijadikan candaan lho." Aku baru saja hendak duduk di sofa, tapi Mas Ben menahanku.

"Hei, siapa yang bercanda, Sayang?" ucapnya lembut.

Hah, Sayang? Mas Ben sudah keterlaluan menggombaliku sejak tadi. Aku sungguh tak percaya ia mengucapkan kata-kata itu. Ini hari yang sangat aneh. Mungkin saat ini wajahku sudah berwarna pink karena kegeeran.

"Na, kamu itu cantik. Kamu jaga diri baik-baik, ya!" kata Mas Ben melanjutkan.

"Kenapa Mas perhatian padaku? Apa karena aku sepupumu?" Mas Ben terkekeh mendengar sindiran itu. Semoga ia ingat kejadian di lobi tadi siang.

"Jangan cemberut. Kamu tau kenapa aku tadi mengenalkanmu sebagai sepupuku? Karena aku ngga mau mengenalkanmu sebagai temanku. Bagiku kamu lebih dari sekadar teman." Sepertinya Mas Ben mengucapkan itu dengan tulus. Matanya menatap tepat ke manik mataku.

"Aku mencintaimu, Na!"

Jantungku terasa berhenti mendengarnya. Aku tak menyangka ia juga punya perasaan yang sama denganku. Jadi semua chatting itu adalah cara Mas Ben untuk menunjukkan cintanya? Memang bukan dengan kata-kata gombal, tapi dengan candaan dan segala keisengan yang membuatku gila.

Aku tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Mas," kataku membalas genggaman tangannya.

Sejak saat itu aku resmi menjadi kekasih Mas Ben.

Dan tiba-tiba rasa bersalah menguasaiku. Rasa bersalah pada istrinya.

"Ohya, bagaimana kepalamu? Masih sakit? Sering seperti itu?" kataku memecah keheningan.

"Oh .. Hm ... Itu hanya modus!"

"What? Mas Ben! Tega sekali, sih! Ngga lucu, Mas. Udah kubilang ngga semua bisa dijadiin becandaan! Uh!" Aku kesal selalu dikerjai Mas Ben.

Melihatku merengut, Mas Ben tersenyum. Senyum menawan yang selalu bisa membiusku.

Sudah malam sekali, aku harus memesan kamar. Tapi Mas Ben melarangku. Katanya biar ia yang pesan kamar baru. Aku disuruhnya tidur di kamarnya. Aduh, aku jadi tak enak. Apa memang harus begini?

Malam itu berakhir di kamar masing-masing. Paginya kami langsung berangkat ke Jakarta, dan Mas Ben melanjutkan perjalanannya ke Padang. Aku hanya pulang sebentar mengganti bajuku, lalu langsung berangkat ke kantor. Siang itu ada meeting untuk penerbitan beberapa buku. Ohya, apa aku sudah cerita bahwa aku seorang editor akuisisi di sebuah penerbitan ternama di Indonesia? Dan aku sangat mencintai pekerjaanku.

***

Rasa bahagia kubawa sejak Mas Ben mengakui perasaannya. Sudah sekitar dua bulan sejak kejadian di hotel itu. Seperti biasa aku dan Mas Ben intens berkomunikasi melalui pesan Whatsapp. Obrolan kami semakin seru dan membahagiakan. Apalagi semalam Mas Ben mengatakan sesuatu dalam pesannya. Sesuatu yang mengguncang imajinasiku. Hari-hariku terasa semakin indah saja.

Kumasuki ruang kantor dengan wajah berseri sambil bersenandung. Tugas yang menanti sungguhlah banyak, tapi aku yakin bisa menyelesaikannya.

"Ada yang lagi bahagia nih," goda Mba Eva, mengagetkanku.

"Biasanya senyum seperti itu tandanya orang sedang jatuh cinta, tuh." Ani ikut menggodaku.

"Siapa, sih lelaki beruntung itu, Mba Na? Suruh gerak cepat aja dia. Nanti Mba Na –nya keburu diambil Widodo lho!" sambung Agus disambut tawa rekanku yang lain.

Widodo adalah kepala urusan rumah tangga di kantor kami. Memang tersiar kabar ia menaruh perhatian padaku. Entah pada siapa saja ia curhat tentang perasaannya itu. Sementara ia sendiri tak pernah berusaha untuk mendekatiku secara terang-terangan.

"Rahasia, dong!" kataku sok misterius. Kutinggalkan mereka yang mencibir penasaran, dan melangkah menuju pantry untuk membuat minuman kesukaanku.

Usai melewati hari yang meriah dan padat karya itu, tepat pukul 19.00 aku bersiap untuk pulang. Aku terkejut. Mas Ben tiba-tiba saja ada di depan kantorku. Ah, ia memang pandai sekali untuk urusan seperti ini.

"Lho? Mas lagi di Jakarta?" Pertanyaan yang tak memerlukan jawaban itu meluncur begitu saja dari bibirku.

"Surprise!" Mas Ben merentangkan tangannya sembari memamerkan gigi putihnya yang rapi.

Tak lama kemudian kami sudah berada di dalam Honda Jazz merahnya ditemani hentakan lagu Sugar-nya Maroon-5 menuju mal Pejaten Village.

Sesampainya di sana Mas Ben mengajakku memasuki sebuah restoran Jepang yang indah. Aku masih mengulaskan senyum sampai akhirnya apa yang ada di hadapanku menghapus senyuman itu. Mas Ben mengecup kening seorang perempuan berjilbab ungu di meja 17.

"Na, kenalkan, ini istriku," katanya.

Sementara aku berusaha keras mengatur napas, perempuan itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum.

Sungguh keterlaluan.

Mas Ben ... apa kamu tahu? Aku sangat cemburu!

***

TERGODA MAS BENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang