2. Di Hotel Itu

1.2K 26 0
                                    


Jam menunjukkan pukul 07.15 saat sebuah nomor tak dikenal muncul di layar handphone-ku.

"Halo," sapaku.

"Sudah sampai mana, Dek?" Sebuah suara di ujung telepon membuatku bingung.

"Maaf, ini dengan siapa, ya?" tanyaku.

"Ah, masa ngga kenal? Coba dengarkan suaraku baik-baik." Suara bernada bass itu ngotot bahwa aku mengenalnya.

"Mm ... maaf, aku memang ngga kenal. Mau bicara dengan siapa, Mas?" kataku.

"Oh, oke. Ya, sudah kalau ngga kenal. Tutup aja telponnya!"

Tut ... Tut .... Sambungan langsung terputus.

Lho? Kenapa jadi ia yang marah? Harusnya aku yang marah. Telepon darinya telah membuang waktuku yang sangat berharga ini. Pukul 09.00 aku harus sudah sampai di terminal 3 Soekarno-Hatta, sementara bahan presentasiku masih perlu dilengkapi. Ya, hari ini aku ada seminar di Jogjakarta.

Tanpa mempedulikan telepon gelap itu lagi aku langsung berangkat menuju bandara. Kukenakan kemeja satin lengan panjang dan rok selutut bernuansa merah hari ini. Sambil menunggu waktu boarding, kuselesaikan bahan presentasiku yang sempat tertunda. Perjalanan udara sekitar 1 jam 15 menit kulalui dengan lancar meskipun ada sedikit turbulensi karena cuaca kurang bersahabat. Tak seperti penumpang di sampingku yang mengisi waktu dengan menonton LCD TV di hadapannya, aku memilih untuk memikirkan Mas Ben. Aku rindu padanya.

Aku tak henti tersenyum kala mengingat tingkah Mas Ben saat chatting denganku. Ia itu lucu. Kalau sudah mengenalnya dekat, kamu pasti tahu. Ya, kuakui kadang aku juga suka bercanda dan iseng mengganggunya, tapi ketahuilah bahwa keisengannya jauh lebih dahsyat untuk menjatuhkan dan mempermalukanku saat kami berdebat tentang sesuatu. Meskipun menyebalkan, Mas Ben itu cerdas. Itu yang kusuka.

Komunikasi yang hanya terjalin melalui pesan Whatsapp itu sudah berlangsung selama 10 bulan. Memang tak setiap hari, tapi cukup untuk membuat hubungan kami kian hari terasa semakin dekat.

Waktupun berjalan. Pengumuman di kabin pesawat membuyarkan lamunanku. Akhirnya aku sampai di bandara Adisutjipto. Di sana sudah menunggu Mas Abik, utusan panitia seminar yang akan mengantarku ke lokasi acara.

Sekitar dua puluh lima menit kemudian mobil berhenti. Sebuah hotel mewah berdiri gagah di hadapanku. Kumasuki lobi hotel itu bersama dua orang panitia ber-dress code hijau yang menyambutku. Belum terlalu jauh aku melangkah, sekilas kulihat sosok yang kukenal berada di kejauhan. Ia sedang terlibat pembicaraan yang sangat serius dengan seseorang. Sosok itu tak lain adalah Mas Ben. Mengapa ia ada di sini? Pikirku, heran.

"Excuse me?!" teriakku, mendekat. Aku tak bisa menahan diri saat melihat Mas Ben kemudian dibentak oleh orang itu.

Keduanya terkejut.

Sekilas lelaki berkulit gelap itu menoleh padaku, lalu menatap Mas Ben, "Ini istrimu?" katanya.

"Sepupuku," kata Mas Ben, sigap.

"Oh?" Lelaki itu mengangguk-angguk sambil menatap ke arahku dengan senyumnya yang sudah tak punya kesempatan lagi untuk mendapat simpatiku.

Aku heran mengapa Mas Ben mengenalkanku sebagai sepupunya, tapi sudahlah, saat ini orang yang tadi membentak Mas Ben jauh lebih penting bagiku.

"Maaf, Anda harus berkata-kata lebih sopan padanya," kataku ikut campur.

"Ou, stop!" Mas Ben melangkah, menengahiku dan lelaki itu sambil merentangkan tangannya.

Ia mengajakku menepi. "Na, jangan seperti ini!" katanya setengah berbisik.

"Aku ngga suka ia membentakmu," jawabku juga berbisik.

TERGODA MAS BENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang