10. Tolong Rahasiakan Ini dari Diah

659 41 16
                                    

"Kamu itu cuma istri kedua. Sudah! Nurut aja sama apa yang disuruh!" Ucapan pedas ibunya Diah membuat jantungku terasa ditikam belati.

"Maaf, Bu ... tapi Mas Ben sebaiknya istirahat saja karena kondisinya juga masih belum pulih," kataku, berusaha tenang.

"Memangnya kenapa kalau ia mau menunggui istrinya? Kamu ngga usah mencari-cari alasan, ya," timpal ibu Diah, sengit.

Aku terdiam.

"Baiklah, Bu," kataku, akhirnya.

Kurapikan jilbabku dan berjalan menuju ruang perawatan Diah. Kami baru saja membahas tentang keinginan Mas Ben untuk menemani Diah di sana. Aku hanya tak sampai hati melihat ia terlalu lelah, tapi ibu Diah menganggapku hanya ingin mencari perkara.

Hari kedua menjadi istri Mas Ben membuat kesibukanku meningkat dari waktu sebelumnya. Kini aku yang bertugas mengurusi semua keperluan suamiku. Tidak hanya sekadar menemaninya seperti dulu, tapi aku yang memandikannya, menyiapkan bajunya, menyuapi makan, sampai membalas email pekerjaannya. Ya, hari ini Mas Ben sudah mulai membuka file-file pekerjaan.

Sepertinya aku harus semakin menguatkan hati. Kini hanya aku yang ada di sini. Ibu Mas Ben yang cukup berpihak padaku, sudah berangkat ke Surabaya tadi pagi. Meskipun sering berseberangan, aku dan ibu Diah semakin tak bisa terpisahkan. Apalagi mulai besok Mas Ben dan Diah akan pindah ke ruang perawatan yang sama.

"Mas ... aku takut kehilanganmu." Diah sedang bercakap-cakap dengan Mas Ben saat kami sampai di ruangannya.

"Kamu ngga akan kehilanganku, Sayang. Mas, kan, suamimu?" Mas Ben menggenggam tangan Diah, dan satu tangannya membelai lembut kepala wanita itu.

"Tapi aku ingin menarik semua ucapanku waktu itu ... waktu kita bertengkar. Mulai detik ini, aku ngga rela suamiku dekat dengan wanita manapun." Ucapan Diah membuat kami terperanjat.

"Ba ... baik, Sayang," ucap Mas Ben, tergagap.

Ia menempelkan telunjuknya ke bibir, memberi isyarat pada kami untuk tak berkata apapun. Aku tercenung. Apakah pernikahan ini harus dirahasiakan? Kondisi Diah memang sangat tak memungkinkan untuk menerima berita mengejutkan, takutnya nanti bertambah parah.

Mas Ben menatap tak enak ke arahku. Tanpa terasa bulir bening meluncur begitu saja. Kehidupan seperti apa yang akan kujalani setelah ini? Dan sampai kapan? Diiringi tatapan tajam ibu Diah, kutinggalkan ruangan itu.

Kuatlah, Na! Aku membatin. Aku harus mengendalikan perasaan ini agar tetap teguh pada tujuan utamaku menikah dengan Mas Ben, termasuk jika harus merahasiakan hubungan ini dari istri pertamanya.

Ya, Diah memang tak bisa melihat. Namun apa mungkin hatinya bisa dibohongi ketika aku sedang berdekatan dengan Mas Ben? Ya, Allah. Bagaimana caranya menikah dalam sandiwara?

***

Siang yang cerah.

"Ayah ... Bundo ...." Dua orang bocah berhamburan memeluk Mas Ben dan Diah. Setelah beberapa hari tak datang, mereka dibawa kembali oleh eteknya ke sini.

"Tadi Etek membelikanku ini, Bun. Lihat, deh, bagus kan?" Robin memamerkan mobil-mobilannya pada Diah.

"Em ... Robin ... Bun ...Bundo ...." Diah tampak gugup. Matanya berkaca-kaca.

"Bundo enapa, A ... yah?" Bocah yang lebih kecil tampak kebingungan dalam pelukan Mas Ben.

Aku ingin membantu, tapi urung. Aku tak mau Diah mengetahui keberadaanku di sini.

Mas Ben tak menjawab pertanyaan anaknya itu. Ia hanya mengeratkan dekapan, mencoba menyembunyikan sesak di dada.

"Lho, kok Bundo nangis?" Robin yang lugu kembali bertanya.

Tangis Diah pecah sudah. Ia menangkupkan tangannya ke wajah. Mas Ben menatapku dengan tatapan tak berdaya.

"Bundo kenapa, Bun?" Dua bocah itu semakin penasaran dengan apa yang mereka lihat.

"Robin, ikut Etek ke luar, yuk." Eteknya berusaha meraih tangan Robin yang berusaha mengguncang tubuh bundonya.

"Ngga mau! Robin mau di sini, Tek!" elaknya. Lalu ia kembali mendesak agar ibunya menjawab, "Bundo ... kok Bundo nangis?"

"Ikut Etek!" Dengan mata yang mulai memerah, wanita muda itu menarik paksa tangan Robin. Ia pastinya juga tak sanggup melihat kondisi kakaknya yang makin terpuruk.

"Ngga mau!" Robin meronta.

Tak hanya mereka, aku juga tak sanggup menahan tangisku menyaksikan dua bocah itu. Tak mudah bagi mereka untuk mengerti semua ini. Kudekati Robin dan eteknya, membelai kepalanya untuk menenangkan.

"Ke sini, Sayang." Mas Ben menggapai tangan Robin dan merengkuhnya.

"A ... yah uga a ... ngis?" Kini anaknya yang kecil bertanya dengan kalimatnya yang belum sempurna. Dihapusnya air mata Mas Ben dengan jarinya yang mungil.

"Robin dan Raka, dengarkan Ayah." Mas Ben menatap mereka bergantian. Aku berdiri di belakangnya mengusap pundak suamiku agar ia kuat untuk menjelaskan semua ini pada anak-anak. Di sana tampak Diah yang terisak dalam pelukan adik perempuannya.

"Kita semua sedang diuji oleh Allah, Nak. Untuk sementara Bundo ngga bisa melihat dulu," ucap Mas Ben, bergetar.

"Hah? Kok gitu, Yah? Jadi nanti siapa yang nemanin Robin? Siapa yang antar Robin sekolah, Yah? Bundo ...." Mata bocah itu mulai berkaca-kaca. Lalu ia pun terisak, bergegas melepas pelukan dan berlari ke arah Diah.

Raka yang masih kecil sepertinya tak terlalu mengerti, tapi ia juga terpancing untuk menangis. Malam itu berakhir dengan terlelapnya wajah-wajah lelah usai menumpahkan tangis.

***

Mata sembab menghiasi pagi. Anak-anak masih bermalas-malasan saat neneknya datang. Ya, semalam ibu Diah pulang untuk menaruh baju-baju kotor, dan membawakan kembali baju yang bersih untuk Mas Ben dan Diah. Sementara adik perempuan Diah yang akhirnya kuketahui bernama Mira itu membawa anak-anak menginap di rumah sakit karena sudah cukup lama mereka tak datang.

"Ada apa cucu nenek matanya sembab begitu?" sapa ibu Diah saat melihat bekas tangis di wajah cucunya.

Tak ada jawaban. Mereka hanya bergelayut manja pada neneknya yang membawakan makanan kesukaan. Aku sendiri tak banyak bicara. Mencoba melakukan segala aktivitas di ruangan itu tanpa menimbulkan tanya bagi Diah.

Kuhempaskan tubuh di kursi koridor. Sejenak ingatanku berbalik pada rentang beberapa jam yang lalu.

"Dek, kamu tahu saat ini Diah sangat rapuh. Mas ngga mau kondisinya semakin memburuk. Tolong rahasiakan pernikahan kita padanya, ya? Maafkan Mas." Begitu kata Mas Ben saat kami duduk di sini subuh tadi.

"Ya, Mas, Adek ngerti. Tapi gimana caranya ada satu ruangan dengannya tanpa bicara apapun? Lama-lama Diah pasti akan curiga. Wanita bisa melihat sesuatu dengan mata hatinya, Mas." Kuungkapkan uneg-unegku pada Mas Ben.

Kulihat ia berpikir cukup lama tentang ini.

"Hari ini aku akan meminta Ali berkunjung. Anggap saja kamu saudara Ali yang datang untuk membantu keluarga kami."

"Apa? Sejauh itu, Mas?" Aku terkejut mendengar rencana suamiku.

"Ya, demi Diah apapun akan kulakukan. Ini semua salahku. Aku telah menyakiti hatinya. Diah pasti sangat terluka. Kecelakaan itu, kondisi tubuhnya saat ini, ah! Andaikan kubisa mengulang waktu." Kalimat demi kalimat meluncur begitu saja dari bibir Mas Ben. Ia bicara, namun matanya menatap lurus ke deretan bonsai yang terlihat samar.

'Andaikan ia bisa mengulang waktu?'

Ingin rasanya kubertanya apa makna kalimat itu bagi Mas Ben. Ingin kumendengar sebenarnya apa artiku baginya. Tidakkah Mas Ben tahu bahwa kalimat itu sangat membuatku terluka? Hampir saja bibir ini bergerak untuk mendapatkan semua jawaban itu, saat kulihat bulir bening meluncur di kedua pipinya. Suamiku sangat terpukul.

Tidak! Aku takkan menyakitinya lagi.

***



Bundo = Ibu

Etek = Tante

TERGODA MAS BENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang