Menangisi nasib bukanlah sesuatu yang perlu dilakukan. Karena ia harus sadar bahwa takdir memang mengharuskannya untuk menjalaninya.
Banyak orang berkata bahwa takdir bisa berubah. Tapi ia bisa apa ketika ternyata takdirnya telah ditentukan.
Hujan deras yang memercik tubuhnya tidak serta membuatnya menggigil. Kulitnya mati rasa. Bahkan jika boleh meminta maka ia akan meminta mati daripada harus mengalami ini.
Kayla tidak pernah meminta. Ia tidak pernah menginginkannya. Tapi mengapa ia seolah dipermainkan oleh takdir.
Sambil memeluk erat tubuh mungil dalam dekapnnya. Ia berhenti, menutup payungnya dan bernaung dihalte. Menunggu bus datang yang akan membawanya ke tempat tujuan. Tujuan yang tidak pernah ia rencanakan.
Dering ponsel membuatnya segera merogoh tasnya dan menempelkan benda pipih itu ditelinganya..
"Tentu. Aku masih dijalan. Tiga puluh menit lagi akan sampai."
Setelah menutup panggilannya. Ia kembali memasukkan ponselnya dan semakin mengeratkan dekapannya. Berharap dingin sedikit berkurang. Bibirnya bergetar. Namun tubuh yang dibalut banyak selimut itu masih nyaman dengan mata terpejam. Jam sepuluh malam dan ia tidak yakin dengan kata tiga puluh menit lagi yang diucapkan tadi.
Jarak ketempat tujuan jelas membutuhkan waktu satu jam. Namun ia tidak mau membuat seseorang disana khawatir.
Matanya menelisik jalanan sekitar. Sepi. Dan Kayla sedikit takut. Apakah busnya masih lama?
Ditempat berbeda. Ditempat yang lebih hangat dari halte. Seorang pria tengah menghembuskan asap rokok. Duduk dengan kaki yang terangkat keatas meja belajarnya. Dante Gritson tengah berpikir apakah ini keputusan yang tepat. Meninggalkan Newyork demi melanjutkan studinya di Harvard University.
Terlalu berat. Bukan beban sebagai mahasiswa yang memberatkan dirinya. Tapi berjauhan dengan orang yang dicintainya yang membuatnya berat meninggalkan Newyork. Meski jarak tempuh hanya lima jam tapi ia tidak mungkin setiap hari pulang dan mencari alasan disetiap kepulangannya. Ia tidak mungkin mau mengecewakan Dale dan Floria. Mereka adalah kedua orang tua yang tidak pernah menuntut apapun darinya.
Dante bisa saja memilih Columbia university sama seperti pilihannya. Tapi rengekan Anneta mengalahkan segalanya.
Selalu bersama menjadi alasan terberatnya untuk pergi. Namun meski begitu, sampai saat ini ia tidak pernah mengungkapkan apa yang ia rasakan. Takut selalu menjadi alasan. Hubungan pertemanan yang terjalin diantara keduanya sudah lama dan ia tidak ingin merusak itu. Karena Dante tahu siapa orang yang diinginkannya.
Memandang gelapnya malam melalui jendela kamarnya. Dante tahu jika hujan yang turun saat ini mewakili perasaannya. Sekali lagi. Dante meyakinkan dirinya jika ini sudah benar.
*****
Aku gak pinter bikin prolog.... Mohon dimaklumi..😅😅
Cerita ini ditulis oleh penulis amatiran yang khayalannya tingkat jauhh....😉
Jadi apa kalian masih tertarik??
#Lope u all 😘😘
- Roemdania -
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Mistake [Sudah Terbit -- OPEN PO]
Romance[Sekuel Bastard Lawyer] Bisa dibaca terpisah... Plagiat dilarang mendekat...!!! ~~~~~ Dante Gritson - Anak pertama dari empat bersaudara. Meski bukan anak kandung, tapi kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Sebagai pemegang jabatan Ceo di perusah...