Chapter - Eight

7.7K 364 19
                                    

"Aku sudah mengirimnya." Kayla menempelkan ponsel ditelinganya sambil berjalan. "Tidak. Jangan khawatir. Aku bisa mengatasinya." Ia terus berjalan menuju halte. "Jangan mencemaskanku. Jaga dirimu. Aku menyayangimu."

Panggilan terputus. Kayla memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Berdiri di halte. Menunggu bus seperti biasa.

Scarlette Morreira Harper. Adik dari Kayla. Gadis berusia delapan belas tahun itu melanjutkan pendidikannya di Columbia University. Tidak jauh dari tempatnya berada. Hanya saja, Scarlette yang sangat mandiri itu lebih memilih tinggal di asrama kampusnya.

Ketika Kayla bertanya mengapa tidak berangkat dari rumahnya. Gadis itu menjawab untuk menghemat biaya transportasi dan biaya hidup di asrama lebih murah.

Padahal Kayla tahu jika bukan itu alasan Scarlette tinggal di asrama. Pekerjaan sampingan yang dikerjakan adiknya menjadi alasan satu-satunya. Hanya saja Scarlette tidak pernah memberitahunya hingga Kayla tahu dengan sendirinya. Sebagai kakak, Kayla sangat bangga padanya.

Dan uang hasil pekerjaannya di club waktu itu untuk kebutuhannya. Saat itu, Scarlette menelpon dan memberitahu sambil menangis perihal biaya kuliahnya. Kayla tahu, jika bukan karena sangat mendadak. Scarlette tidak akan meminta uang padanya.

Selain Scarlette ada putrinya yang harus ia perhatikan. Hidupnya hanya untuk mereka berdua. Karena cuma mereka berdua yang ia punya setelah neneknya meninggal.

Tidak ada orang lain selain dirinya. Kayla memutuskan untuk duduk. Merasa mual dan keringat dingin muncul di dahinya. Ia mengangkat tangannya. Gemetar. Sebelum tangan itu menyeka keringatnya, semuanya telah menjadi gelap. Sangat gelap.

Kepalanya terasa sakit. Semua yang terjadi dalam hidupnya berputar begitu saja. Mulai dari masa kecilnya hingga ia menjadi wanita dewasa.

Tidak ada yang dilewatkan sedikitpun. Tangis. Tawa. Rasa bersalah. Pengorbanan hingga penderitaan yang dialaminya diputar dari awal.

Lelah. Menyerah. Dua keinginan yang ingin ia lakukan. Tapi ketika melihat bagaimana gadis kecilnya tertawa, Kayla melupakan keinginannya itu. Ia terus bangkit. Berjalan. Berlari mencari kebahagiaan yang ia yakini sudah menanti didepannya.

Alam bawah sadar menyuruhnya membuka mata. Dan yang Kayla lihat pertama kali adalah langit-langit kamar yang begitu tinggi, putih. Padahal dikamarnya tidak terlalu tinggi dan ada bercak hitam akibat air hujan yang merembes.

Aroma yang tercium juga bukan miliknya. Ini lebih kepada maskulin.

Maskulin?

Pria?

Ohhh tidak... Kayla segera duduk dan pening menyergapnya. Ia memijat pelipisnya. Sambil memicing, ia mengamati sekitar dan benar. Bukan kamarnya.

Tergesa. Kayla bangkit dan hampir terjatuh jika tidak ada sebuah tangan yang menahannya. Ia mendongak dan begitu terkejut saat matanya melihat siapa yang berada didepannya.

Matanya membulat, bibirnya terbuka namun tidak ada yang bisa keluar.

"Jangan memaksakan diri untuk berjalan."

Suara yang sedikit dikenalnya menyapa telinganya. Ia mendongak dan menatap orang yang menuntunnya dan membawanya kembali duduk dikasur. Pria itu berlutut didepannya. Dan Kayla merasa lega sebab ia sangat mengenal pria ini.

"Kau pasti bertanya bagaimana mungkin?" Pria itu tersenyum. Senyum yang sama yang Kayla ingat selama beberapa tahun. Hanya saja, selama satu tahun belakangan. Ia tidak pernah melihatnya lagi.

"Aku menemukanmu pingsan di halte. Dan aku membawamu kesini."

Yeah... Sangat simple. Dan Kayla ingat kejadian sebelum ia pingsan. Mual dan keringat dingin yang menerpanya.

Crazy Mistake [Sudah Terbit -- OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang