chapter 3 : actress

212 43 37
                                    

-Corbyn POV-

Stuck, sendirian, dan kacau, sepertinya itulah kata-kata yang dapat mengekspresikan suasana hatiku saat ini. Aku tidak yakin siapakah teman yang bisa kuajak untuk berbagi cerita. Tetapi yang jelas, Tori tidak akan bisa berada dalam daftar teman untuk berbagi cerita karena penyebab utama kekesalanku adalah dirinya.

Sore tadi, Tori menghubungiku di sela-sela tournya sebagai dancer. Ia mengatakan kalau ia minta maaf karena belum bisa menyelesaikan kesalahpahaman antara dirinya dan ayahnya yang menganggapku seorang aktor. Aku memakluminya karena ia sedang sibuk dengan tournya.

Namun kemudian ia berkata bahwa pada hari yang sama ketika kesalahpahaman itu terjadi-tepatnya, sebelum kesalahpahaman itu terjadi-ia juga mengatakan pada ayahnya bahwa aku akan berusaha menyelesaikan karya pertamaku akhir musim panas ini.

Kuakui aku juga pernah mengatakan hal yang sama pada Tori, tetapi karya yang aku maksud adalah sebuah animasi pendek yang memiliki pesan-pesan sederhana seperti tidak boleh berbohong, harus menjaga lingkungan, dan semacamnya. Jelas semua itu tidak ada kaitannya dengan aktor dan film.

Masalahnya, Tori adalah tipe-tipe orang dengan prinsip Aku Tidak Akan Menarik Kembali Kata-Kataku, Jadi Lebih Baik Kau Turuti Saja dan di akhir panggilannya ia berkata, "Ayahku terlanjur beranggapan seperti itu, bagaimana kalau kau coba lakukan saja? Tidak ada salahnya, 'kan? Lagipula kau akan terlihat cocok menjadi aktor."

Sialnya, aku mencintainya.

Aku sedang duduk di teras ketika mobil Daniel melintas dan aku melihat gadis dengan short denim coveralls turun dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya, sementara ia memarkirkan mobilnya di garasi. Ia menyapa dan menghampiriku setelahnya.

Daniel langsung mengetahui aku dalam masalah ketika ia menghampiriku, raut wajahku pasti menunjukkan hal itu dengan sangat sempurna.

"What's going on, huh?" Daniel menepuk punggung dan duduk di sebelahku di teras. "Kau putus dengan pacarmu?"

"Ini lebih buruk," keluhku.

"Baiklah," ujarnya. "Apa yang lebih buruk dari putus? Ditampar? Selingkuh? Atau—"

"Berbohong."

"Ouch..." ia mendecakkan lidahnya berkali-kali seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau dalam masalah besar, man! Mau membaginya denganku?"

Aku menghela napas dan mulai menceritakan semua masalahku pada Daniel. Sepanjang ceritaku, ia tak henti-hentinya ikut membeo, menyatakan kekesalannya terhadap pacarku. Aku tidak masalah dengan ini, karena sekarang aku juga kesal.

"Kupikir, solusi untuk masalahmu itu sudah ada di sebelah rumahmu," ia berkata ketika aku selesai.

"Kau?" ucapku tak percaya. "Tidak, tidak mungkin."

"Bukan aku, tapi Carissa," Daniel meluruskan. "Kau bilang dia seorang sinematografer, 'kan? Dia bekerja di dunia perfilman, dia pasti bisa membantumu."

Aku hanya mengangguk pelan, tidak yakin bagaimana aku akan meminta bantuan Carissa untuk menyelesaikan masalahku. Lupakan soal e-mail, aku bahkan baru bertemu dengannya sekali. Aku tidak bisa menariknya begitu saja ke dalam masalahku. Carissa—

"Daniel?" seru gadis yang ada di benakku dari teras rumah Daniel. "Ibumu sudah menunggu untuk makan malam."

Daniel menepuk bahuku. "Kita bicara lagi nanti."

***

"Baiklah, apa yang bisa kulakukan untuk proyek kalian?" Carissa memulai pembicaraan. Kami sedang berada di rumahku untuk mendiskusikan "karya" yang tidak pernah kami harapkan-setidaknya, menurutku begitu. "Adakah tema untuk lomba ini atau semacamnya?"

Falling in Your Lies • why don't we [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang