chapter 21 : break up

121 19 3
                                    

-Carissa POV-

Aku mengenakan jam tanganku sebelum menatap pantulanku di cermin sekali lagi, merasa semangat sekaligus sedih karena hari ini adalah hari terakhirku mengerjakan proyek di Princeton. Aku dan semua rekanku akan kembali ke Denver besok malam dan aku tidak tahu kapan tepatnya aku akan kembali ke sini.

Beberapa waktu lalu, aku akan berkata dengan yakin bahwa aku akan kembali ke Princeton pada akhir musim panas, namun setelah apa yang terjadi kemarin aku... ragu? I don't know which truth that hurt me the most, the fact that Corbyn using me for his business or the moment when he told he love me when he was drunk. Harapan tentang Corbyn mengatakan perasaannya padaku memang pernah melintas setidaknya sekali dalam benakku, tetapi mendapati bahwa ia mengatakannya ketika tidak sadar, aku tidak tahu apa yang sebenarnya kurasakan.

Semua mimpiku hancur dalam semalam.

Tidak, aku tidak sedang membicarakan perasaanku, aku mengatakan tentang filmnya. Aku selalu bersemangat untuk itu dan aku menyimpan banyak harapan untuk film pendek yang kami buat, tetapi lagi-lagi ia membuatku kecewa. Ia seharusnya tahu betapa berharganya film pendek itu untukku. Sudah cukup ia mempermainkan perasaanku, tidak dengan mimpiku.

"Kau mau berangkat sekarang, Carissa?" tanya Aunt Keri ketika melihatku membawa sepatu dari rak.

Aku mengangguk. "Hari ini adalah hari terakhirku, aku harus segera pergi untuk menyelesaikan proyekku dan merayakannya."

"Kau tidak akan menunggu Daniel?" ia bertanya.

"Daniel belum kembali?"

Aunt Keri mengangguk. "Ya, entah apa yang membuat minimarket tiba-tiba menjadi sangat jauh."

Aku terkekeh karena kalimatnya. "Tak apa, aku berangkat sendiri saja," kataku. "Aku buru-buru."

"Baiklah, akan kuberitahu Daniel nanti," balasnya disusul dengan harapannya untuk kesuksesanku.

Aku mengatakan terimakasih sekaligus berpamitan dan segera pergi keluar rumah. Belum sampai 15 meter aku berjalan setelah menutup pagar, aku menginjak tali sepatuku sendiri. Aku ingat betul kalau aku sudah mengikatnya dengan benar sebelum keluar rumah. Padahal kenyataannya tidak.

Aku berjongkok dan meraih tali sepatuku yang terlepas, membetulkannya ketika samar-samar mendengar suara seseorang yang kuhindari memanggil namaku. Aku bertanya-tanya apakah suaranya berasal dari dalam benakku atau bukan. Kuakui aku memang sempat memikirkannya sebelum pergi, tapi ini tidak mungkin dirinya. Jangan bilang kalau ia-huft, yang benar saja, aku berhenti dan membetulkan tali sepatuku yang lepas tepat di depan rumahnya?

Aku segera berdiri dan memberikan senyumanku ketika ia menyapa. "Maaf, aku buru-buru," ujarku menghindarinya. "Aku harus pergi sekarang."

"Carissa, tunggu!" ia berlari kecil menyusulku. "Aku ingin mengatakan sesuatu."

"Katakan saja," alam bawah sadarku berkata.

"Aku mengerti kau kecewa padaku," ujarnya. "A-aku hanya berharap kejadiannya tidak seperti malam itu. Kuharap kau mengerti."

Aku mengangguk. "Aku harus pergi sekarang," aku beranjak meninggalkannya.

Berharap kejadiannya tidak seperti itu? Kejadian apa? Berharap dirinya tidak membohongiku? Berharap ia tidak mengatakan perasaannya padaku? Tentu saja, sudah seharusnya ia tidak mengatakan apapun padaku. Karena hal itu hanya membuatku menaruh harapan lebih ditengah kekecewaanku padanya.

Falling in Your Lies • why don't we [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang