-Carissa POV-
"Daniel, lihat aku," ujarku dan ia menurutinya. "Bagaimana mungkin kau berubah dari seratus persen serius dan membuatku emosional kemudian menjadi seperti ini hanya dalam satu kedipan mata?"
"Mungkin kau membutuhkan waktu terlalu lama untuk berkedip," balasnya.
"Terserah," aku mengakhiri aksi saling menatap diantar kami dan kembali menyedot frappé di hadapanku. Daniel melakukan hal yang sama.
"Kau belum menjawabku," kata Daniel kemudian.
Aku mengerutkan alisku. "Menjawab apa?" tanyaku bersamaan dengan berderingnya ponselku karena panggilan masuk. "Ini ibumu," laporku, mengingat kami tidak memberitahunya kemana kami pergi.
"Tidak perlu dijawab, kau jawab saja pertanyaanku dulu."
"Hush, kau tidak boleh berkata seperti itu," aku memberitahunya lantas menjawab panggilan masuk tersebut.
"Carissa, kau baik-baik saja?" suara dari seberang berkata. "Kenapa kau masih belum pulang juga?"
"A-aku bersama Daniel," aku menyebutkan apa yang saat ini ada di benakku. "Kami—"
"Kupikir ia tidak pergi untuk menjemputmu, karena tadi, ia bilang padaku kalau ia akan pergi ke Starbucks, tapi baguslah kalau ia tidak jadi pergi ke sana," aku mendengarnya bernapas lega. "Kalian dalam perjalanan pulang?"
Aku tertawa kecil menanggapinya. "Tidak juga, sebenarnya kami... um, pergi ke Starbucks."
"Jangan pulang terlalu malam," ia mengingatkan dan aku menyetujuinya. "Sekarang, berikan teleponnya pada Daniel."
Aku menjauhkan ponselnya dari telingaku dan memberikannya pada Daniel.
"Apa?" bisiknya.
"Ibumu ingin bicara," kataku. "Cepat."
Aku mendengarkan pembicaraan sepihak dari dirinya sambil menghabiskan minumanku. Aku berkali-kali mendengarnya mengiyakan ucapan ibunya di seberang dan mengatakan bahwa ia akan pulang sebentar lagi. Tipikal telepon dari seorang ibu yang mengkhawatikan anaknya, aku sudah sering mengalami hal itu.
Daniel menyerahkan ponselku kembali dan tanpa diminta, mengatakan pembicaraannya dengan ibunya di telepon. Seperti tebakanku, isinya adalah pertanyaan kapan kami akan pulang, nasihat untuk tidak pulang terlalu malam, dan memberitahu beberapa hal yang harus dilakukan sesampainya di rumah.
"Kalau begitu, kita pulang sekarang," usulku. "Aku berada di luar rumah hampir seharian hari ini."
Daniel menyetujui usulanku. Kami segera meninggalkan Starbucks setelah ia menghabiskan minumannya. Tetapi pulang yang ada di pikiranku tidak sama dengan pulang yang dimaksud Daniel. Keinginanku untuk segera sampai di rumah dan pergi tidur, tidak ia penuhi dengan segera. Sepertinya deginisi pulang menurutnya hanya meninggalkan Starbuck, mengambil rute jalan memutar dan membiarkan kami sampai di rumah nyaris tengah malam.
Saat aku bertanya alasannya, ia dengan santainya menjawab, "Aku ingin berbagi asyiknya night drive denganmu, bukankah ini menyenangkan?" Kemudian menambah volume tape di mobilnya dan memutar Top Hits Michael Jackson.
"Get a little throwback?" ia bertanya saat lagu Billie Jean terdengar.
Aku menggeleng. "Ya, for the songs only, we've never done night drive or something like this before."
"I know," balasnya. "Now just get the window down, feel the wind, and thank me later."
Aku terkekeh sebelum menuruti apa yang dikatakannya, minus mengatakan terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling in Your Lies • why don't we [✔]
Fanfiction"Nice to meet you, I'm Sacharissa Rylance." "Corbyn Besson." "So, you're..." [ w r i t t e n i n b a h a s a ! ] ©️raaifa, wdw 3rd anniversary.