chapter 7 : the first

155 27 4
                                    

-Corbyn POV-

"Aku..." aku mendengar suara Carissa di sela-sela suara mobil Zach yang mulai menjauh.

"Aku hanya tidak tega membiarkannya pulang sendirian karena ini sudah malam," jelas Daniel di hadapannya. "Aku merasa tidak enak jika membiarkan Zach mengantarnya, mereka bahkan baru bertemu hari ini. Jack sudah pulang tadi sore, 'kan? Jonah dan Silena pulang dengan motornya. Jadi..."

Aku melihat Carissa mengangguk dan mengulas sebuah senyuman. "Aku tidak meragukanmu."

Sudah kuperkirakan hal ini akan terjadi sejak Jack pulang tadi sore. Aku sudah lama mengenal Daniel dan aku tidak terkejut dengan fakta bahwa ia sulit sekali menolak permintaan orang lain—bahkan sekalipun permintaan mereka menyulitkan dirinya—dan Drew bukanlah tipe orang yang suka mempertimbangkan situasi sebelum meminta.

Tetapi mengapa ia harus melakukan hal itu sekarang bahkan pada permintaan Drew, gadis yang selama ini dekat dengannya? Baiklah, Daniel memang tidak pernah mengatakan bahwa ia memiliki perasaan lebih pada Drew. Namun, tidakkah ia menyadari kalau sekarang ada hati seseorang yang harus ia jaga?

"Corbyn?" panggil Carissa. "Bisakah aku tetap di sini sampai Daniel pulang?"

Aku mengangguk. "Tentu saja."

Drew baru saja keluar dari dalam rumah dengan sling bagnya. Ia langsung menghampiri Daniel yang sudah menunggu di dalam mobilnya setelah berterima kasih padaku dan mengatakan sampai jumpa pada Carissa.

Aku duduk di sebelah Carissa pada tembok di teras. "Daniel memang tidak bisa menolak permintaan."

Mengatakan hal tersebut, aku teringat hari di mana ia memintaku membalas e-mail dari Carissa. Kejadiannya tidak jauh berbeda, ia hanya ingin menepati janjinya dan tidak ingin mengecewakan Carissa karena tidak berani menolak permintaan Carissa untuk berjanji padanya sebelum ia pindah.

Carissa terkekeh. "Did you mean he was like a Genie?"

"Maksudku, bukan tidak bisa," balasku. "Yang lebih tepat adalah sulit."

Carissa hanya mengangguk paham kemudian kembali larut dalam pikirannya sendiri.

Gadis ini terlihat berbeda dengan gadis yang menjadi lawan beraktingku. Ia sangat bersemangat dan energik meskipun ia harus membangun perasaan marah dan kecewa ketika kami mulai melaksanakan syuting tadi siang. Berbeda dengan sekarang, ia tidak banyak bicara dan aku yakin aku akan bisa melihat perasaan kecewa yang berusaha disembunyikan Carissa kalau aku menatap mata cokelatnya lebih dalam.

"Aku tidak keberatan jika kau membagi apa yang kau rasakan denganku," aku memulai, tidak nyaman dengan perasaan canggung yang biasanya selalu menyatakan ketidakhadirannya ketika aku bersama gadis ini.

"That's my weakness, actually," balasnya terkekeh.

Aku memiringkan kepalaku untuk melihatnya. "Maksudmu?"

"Kau tahu mengapa aku lebih memilih film padahal aku sangat menyukai buku-buku klasik?" tatapannya masih menerawang lurus ke depan. "Karena aku sama sekali tidak pandai memberitahukan orang lain perihal apa yang kurasakan."

"Sepertinya memang begitu," gumamku menyetujui. "Kau memang tidak pandai memberitahukan perasaanmu, tetapi kau jelas lebih hebat karena kau bisa membawa orang lain hanyut dalam apa yang kau rasakan."

Carissa langsung menatapku, bingung.

"Aktingmu jelas membuktikan itu," jelasku cepat, tidak ingin membuatnya salah paham.

Ia tidak menjawabku, hanya memalingkan kembali wajahnya dan tersenyum tipis.

"Kau bisa memberitahuku semua yang kau rasakan sekarang—kalau kau mau," aku menjelaskan. "Karena... kau tahu? Membagikan apa yang kau rasa dengan orang lain bisa membuatmu lebih lega, sebab kau tidak memendam itu sendirian. Kau mengekspresikan apa yang kau rasakan. Atau mungkin akan lebih baik lagi kalau seseorang menemukan solusi yang tepat untuk masalahmu."

Falling in Your Lies • why don't we [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang