-Corbyn POV-
Beberapa hari berlalu dan pikiranku masih dijejali banyak hal. Carissa jelas tidak pernah menyingkir dari dalam benakku, aku terus mengkhawatirkan perasaannya, tetapi aku tidak pernah memiliki keberanian untuk bertanya. Terkadang aku juga mengingat Tori.
Yeah, it's okay we're broke up, but—hey, I didn't mean to hurt her feeling too. We've been together for almost three years and I don't want to end up like this. At least, we can be friend.
Namun pada akhirnya, ketakutanku terjadi juga. Aku menyakiti Carissa—walaupun yang ini sudah jelas akan terjadi, hanya tinggal menunggu waktu—dan memiliki akhir yang buruk dengan Tori juga. Aku kehilangan cinta dan temanku. Meskipun aku tidak tahu yang mana yang harus kusebut cinta dan yang mana yang harus kusebut teman. Namun yang jelas, aku telah kehilangan keduanya.
Aku pernah berpikir untuk membicarakan hal-hal yang mengganggu pikiranku pada Carissa. Tetapi aku tidak mungkin datang tiba-tiba ke rumah Daniel dan mengatakan semuanya di sana. Di sisi lain, aku terlalu bingung memikirkan cara lain untuk mengajaknya bertemu denganku. Aku takut membuat kesalahan dan membuatnya semakin menarik diri dariku.
Aku membuka jendela kamar tidurku, membiarkan udara masuk ke dalam dan berharap bisa menjernihkan pikiranku. Menatap lurus ke depan, dari sela-sela pagar, aku melihat rambut cokelatnya yang tergerai. Aku tahu betul itu dirinya. Ia berada di sana, di depan rumahku.
Tanpa berpikir panjang, aku berlari ke luar dari kamar tidurku, menuju pintu depan, dan berlari ke teras kemudian meneriakkan namanya.
Aku bisa melihatnya berhenti mengikat tali sepatunya dan aku segera berjalan cepat menghampirinya. "Carissa," panggilku.
Ia berdiri dan mengulas sebuah senyuman yang rasanya sudah lama sekali tidak kulihat. "Maaf, aku buru-buru," ujarnya cepat. "Aku harus pergi sekarang."
"Carissa, tunggu!" aku berlari kecil menyusulnya.
Katakan sekarang atau tidak sama sekali, desak benakku.
"Aku ingin mengatakan sesuatu," aku menyerah.
Ia menghentikan langkahnya tetapi tidak mengatakan apapun.
"Aku mengerti kau kecewa padaku," aku berusaha menyusun sebuah kalimat. Ada banyak hal yang ingin kukatakan. Aku ingin mengatakan permintaan maafku atas kejadian malam itu. Aku ingin dirinya tahu kalau aku berusaha mengatakan mencintainya—benar-benar mencintainya dan cara yang tepat untuk menyampaikannya bukan dengan cara seperti waktu itu.
Aku ingin mengatakan kalau aku berharap bisa mengatakan semuanya dengan jelas dan pikiran lebih jernih sehingga ia tidak akan meragukan perasaanku. Aku ingin dirinya tahu kalau aku bersungguh-sungguh tentang semua yang kukatakan malam itu, meskipun aku mengatakannya setelah menegak alkohol.
"A-aku hanya berharap kejadiannya tidak seperti malam itu. Kuharap kau mengerti," hanya itu yang kukatakan. Aku gelagapan.
Carissa hanya mengangguk sementara aku berharap ia bisa mengerti bagaimana persaanku, meski aku hanya mengatakannya dalam satu kalimat abu-abu.
"Aku harus pergi sekarang," ia beranjak meninggalkanku sendirian.
Aku sudah mengatakan semua yang bisa kukatakan dan sekarang aku hanya bisa menatapnya pergi meninggalkanku. Ia bahkan tidak menatapku. Hal itu membuatku takut akan kehilangan dirinya—tidak, aku tidak boleh kehilangan dirinya. Bahkan meskipun aku harus melupakan perasaanku padanya, itu tidak masalah selama ia tidak membenciku dan kembali menjadi orang asing bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falling in Your Lies • why don't we [✔]
Fanfiction"Nice to meet you, I'm Sacharissa Rylance." "Corbyn Besson." "So, you're..." [ w r i t t e n i n b a h a s a ! ] ©️raaifa, wdw 3rd anniversary.