chapter 23 : goodbye, Princeton

124 21 9
                                    

-Carissa POV-

"Kau tidak akan menyelesaikan packingmu kalau terus seperti ini," Daniel mengingatkan.

"Siapa bilang?" tanyaku. "Aku hanya tinggal memasukkan handuk dan peralatan yang ada di kamar mandi lalu aku akan selesai."

"Kalau begitu cepatlah pergi mandi," titahnya. "Agar kau segera menyelesaikan packingmu."

"Nanti saja," balasku. "Aku malas. Lagipula—"

"Kau akan pergi, Carissa," potongnya. "Kita akan pergi makan siang."

"Kau tidak mengatakan itu untuk membuatku segera mandi, 'kan?"

Ia tertawa kecil. "Tentu saja tidak," jawabnya. "Kalau masih tidak percaya, kau bisa tanya ibu atau ayahku."

"Apa?"

"Ibuku yang merencanakan ini," ia menjelaskan. "Katanya, sekaligus sebagai perpisahan dan kau tahu, seharusnya aku memberitahumu sejak tadi karena..."

"Karena?"

Daniel melirik jam yang tergantung di atas pintu kamar. "Kau hanya punya 30 menit untuk bersiap."

"Astaga, Daniel!" seruku lantas menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Sementara itu, aku mendengar Daniel terkekeh dan menyerukan permintaan maaf kemudian terdengar suara pintu kamar, mungkin ia juga akan mempersiapkan dirinya.

Setelah mandi dan bersiap, aku membawa koperku turun dari lantai dua, tempat di mana kamarku berada dan menariknya ke luar rumah untuk diletakkan di dalam mobil. Daniel memberitahuku untuk melakukannya supaya kami tidak terburu-buru untuk pulang dan mengejar jam penerbanganku. Kami akan langsung pergi menuju bandara sepulang dari sana.

Baiklah, begini, kami tidak menghabiskan waktu dari siang hingga petang hanya untuk makan siang. Setelah makan siang bersama, kami mengantar kedua orang tua Daniel pergi menghadiri sebuah meeting. Sedangkan aku dan Daniel—seperti saat awal kedatanganku ke sini—kami pergi berkeliking dan menghabiskan waktu bersama.

Sebenarnya tidak berkeliling. Aku bersikeras menghabiskan sebagian besar waktu kami di toko buku dan ia menuruti keinginanku, meskipun tak jarang ia kelihatan bosan, membuatku terkekeh setiap kali melihat wajahnya. Berniat membalas, ia membawaku masuk ke toko alat musik dan dengan sengaja membuatku menunggunya ketika memainkan ini, itu, dan masih banyak lagi.

Aku tidak keberatan dengan itu. Sejak dulu aku selalu mengagumi permainannya, tetapi yang membuatku keberatan adalah ketika ia kembali memintaku bermain gitar. Aku mati-matian menghindarinya karena tidak ingin merasakan jari-jari tanganku panas setelah berusaha memainkannya.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah game station. Tempat yang menjadi bagian paling adil dibandingkan dengan tempat-tempat sebelumnya. Tidak ada yang terpaksa membolak balik halaman buku dengan bosan dan bermain gitar. Kami menikmatinya bersama sebelum merasa kecewa karena waktuku pergi ke bandara sudah dekat.

Mampir ke supermarket hanya untuk membeli minuman mengakhiri kesenangan kami. Sesuai rencana, kami meninggalkan pusat perbelanjaan bertepatan dengan selesainya meeting orang tua Daniel. Jadi kami pergi menjemputnya kembali sebelum pergi ke bandara.

"Carissa," panggil Daniel ketika kami dalam perjalanan menuju tempat parkir di pusat perbelanjaan. "Silena memberitahuku kalau... um—"

Falling in Your Lies • why don't we [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang