PROLOG

99.2K 5.3K 139
                                    



Keringatku bercucuran membasahi bagian ketiak kemejaku yang aku pakai hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keringatku bercucuran membasahi bagian ketiak kemejaku yang aku pakai hari ini. Pagi ini matahari sudah menyambutku dengan sinarnya yang panas. Kerudung yang menutupi rambutku juga terasa basah, karena aku harus berlarian dari halte trans Yogya untuk mengejar waktu. Padahal aku memakai sepatu hak tinngi 10 cm, yang baru keluar dari kardus. Semalam aku membeli diskonan di mal, khusus untuk hari penting ini. Rok tutu warna putihku sepertinya juga sudah kusut, ditambah kacamata minusku yang patah bagian tangkai kanannya. Sehingga menyebabkan melorot dan membuatku berhenti sebentar untuk membenarkannya. Pagiku kacau.

Berawal dari bangun kesiangan karena semalaman mabar [main bareng] dengan adikku yang tengil itu. Si Kenan, cowok yang sudah menambah kerepotan dalam hidupuku. Sejak kepindahannya ke Yogya ini dia meracuniku dengan game yang membuatku juga kecanduan. Sungguh semua itu membuat aku selalu telat bangun. Adikku yang baru berusia 15 tahun dan sudah duduk di kelas 1 SMA itu memang mengekoriku ke kota kelahiran bunda. Aku tentu saja sudah di sini sejak aku masuk perguruan tinggi. Setidaknya memang kota asal bunda adalah kota pelajar yang sudah aku impikan sejak kecil. Tinggal di sini aku juga bisa menjaga rumah peninggalan nenek dan kakek. Bersama bude, saudara sepupu dari bunda.

"Pagi mbak Pia. Loh masih pagi kok udah ngos-ngosan gitu to mbak?"

Aku tersenyum kecut saat mendengar sapaan Mas Tono, satpam kantor. Pria yang tiap pagi tak pernah absen menyapaku dengan ramah dan memamerkan kumis ala pak Radennya kepadaku.

"Saya habis olahraga mas. Biar sehat." Malu kan kalau ketahuan aku berlarian dari halte.

Mas Tono malah tersenyum lebar memamerkan giginya yang gingsul itu. Lalu membuka pintu gerbang dan mempersilakan aku masuk.

"Tapi mbak Sofia tetep cantik kok. Itu hidung kayak menara eiffel, nangkring gitu. wes wes cah ayu."

Tuh kan rayuan gombal Mas Tono selalu sukses membuatku begidik.

"Uwes ndak usah ngerayu nanti Pia malah tambah keringetan. Eh mas absennya Pia mana?" Aku mulai mencari kartu absenku. Biasanya memang Mas Tono sudah menyiapkannya.

Aku mencari kartu absen pagi ini, kantorku ini memang absennya masih memakai kartu absen yang dimasukan ke mesin. Bukan absen menggunakan sidik jari.

"Tenang mbak Sofia, Mas Tono selalu mengerti kalau mbak Sofia ini pasti terlambat jadi udah tak absenin. Jam 8 kurang 15."

Dengan bangga Mas Tono menunjukkan kartu absenku. Wah bersyukur juga punya fans loyal kayak mas Tono ini.
"Alhamdulilah, mas Tono baik deh. Yowes mau masuk dulu, nanti keduluan bos baru kena semprot nanti."

Aku membungkuk untuk mengusap noda di sepatu putihku dengan tangan lalu menegakan tubuh lagi tapi Mas Tono sudah menepuk dahinya sendiri.

"Eh mbak, tapi tadi 5 menit yang lalu bos baru eh Pak Serkannya udah masuk ke dalam."

"Hah?"

Aku tentu saja melongo mendengar ucapannya. Kok dia gak bilang kalau udah ada si bos? Padahal kan ini fatal. 

"Lah kok gak bilang dari tadi. Aduuuhh."

Dan seketika aku berlari memasuki lobi kantor, tapi tiba-tiba kakiku terpeleset dan membuat hak sepatuku patah. Duh jangan deh, jangan kayak iklan permen. 

"Eh Sofia, hati-hati."

Suara Rani, resepsionis yang kini sudah melongok dari balik meja resepsionis membuat aku meringis kesakitan. Duh pergelangan kakiku rasanya terkilir ini. Aku membungkuk dan baru saja akan memijat saat terdengar teriakan lagi.

"Piaaaaaaa, selamat kamu nak. Ayuk cepetan ikut ke ruang meeting. Kamu udah ditunggu."

Suara Mbak Asih, tim telemarketing yang sama denganku kini terdengar. Aku tentu saja menegakkan tubuh meski kaki rasanya nyut-nyutan. Mbak Asih tampak terengah, wanita yang selalu menggunakan bulu mata palsu itu kini menatapku dengan kelegaan.

"Aduh mbak, kaki Pia sakit ini. Hak sepatu juga patah, lha masa jalan pincang gini?"

Aku menunjuk kakiku, tapi Mbak Asih sudah menyambar lenganku.

"Wes dipikir nanti. Pokoke kamu ketemu sama manajer kita yang baru dulu. Sekarang."

****** 

"Sik to mbak {bentar mbak}". Aku melepaskan tangan Mbak Asih yang sejak tadi menyeretku dari lobi. Padahal ruangan meeting ada di lantai 3 dan tidak ada lift karena masih dalam perbaikan. Alhasil aku harus naik tangga dengan kaki sakit dan hak tinggi sebelah.

"Kamu itu, mau diterkam apa sama si bos? Dia udah ngaum dari tadi. Wes ayo.."

Aku memberengut mendengar paksaan Mbak Asih. Tapi akhirnya aku menurutinya. Padahal udah keringatan dan bau asam kemejaku ini. Kerudungku juga entah bagaimana bentuknya. Ketukan di pintu dan suara teredam dari dalam yang mempersilakan masuk kini membuat aku sedikit penasaran dengan bos baru kami. Katanya dia lulusan luar negeri dan termasuk berkompeten di bidangnya. Sebagai telemarketing sebuah perusahan distributor susu, tentu saja kami memang harus memiliki bos yang handal.

"Maaf pak, ini saya bawa Sofianya..."

Pintu terbuka dan Mbak Asih langsung menyeretku masuk. Hawa dingin dari AC langsung membuat tubuhku terasa segar. Menghela nafas dan kini menatap Melly, junior telemarketing yang masih magang, lalu ke arah Nino yang termasuk cowok sendiri di tim kami. Lalu ke arah depan dan...

"Kamu niat gak sih masuk kerja? Ini sudah pukul berapa? Saya tidak bisa menerima alasan apapun. Gaji kamu saya potong."

Deg

Ya Allah. Astaghfirullah. 

Tentu saja aku hampir pipis di celana saat mendengar hardikan galak dengan suara bariton itu. Pria yang berdiri dengan setelan jas warna biru navy dan berdasi merah itu kini tampak menatapku galak. Rambutnya yang kecoklatan dan lebat itu kini tersisir rapi. Cambangnya yang menutupi rahangnya membuat penampilannya makin garang. Kedua alisnya yang tebal kini membingkai matanya yang juga tajam. Jadi dia bos baruku?

"Kalau saya bicara itu dijawab, punya mulut kan?"

Astaghfirullah. Dia kan...

Aku benar-benar ternganga saat ini. Tidak mungkin. Ini tidak mungkin terjadi. Pria galak itu adalah....


BERSAMBUNG


SIAP MAS BOS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang