ASPIA 17

25.4K 4K 195
                                    


"Bakpia susu jahe... kenapa?"
Aku tidak menghiraukan panggilan Kenan. Aku lagi ingin menyendiri saat ini. Setelah pulang dari kerja, aku memang mengurung diri di dalam kamar. Mengunci di kamar dan menangis. Tapi Kenan adikku itu mempunyai kunci cadangan kamarku ini, bude saja tidak punya. Alhasil dia berhasil masuk di saat aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun.

"Apaan sih, sana keluar."

Aku membenamkan wajahku di bantal. Si krucil ini, kalau lihat aku menangis pasti akan cerewet sampai ujung dunia. Kasur terasa melesak, dan aku tahu Kenan pasti duduk di sebelahku. Aku bergeming dan membiarkan Kenan. Sekarang ini aku memang sedang galau akut. Di satu sisi, aku bahagia karena harapanku dan doaku terkabul. Tapi di sisi lain, semuanya makin rumit. Aku membalas pesan ayah yang menanyakan tentang Aslan dengan kata iya. Setelahnya ayah tidak menjawab lagi, tapi aku tahu ayah pasti sedang ke sini. Beliau itu orangnya tegas, apalagi tahu kalau aku masih menyukai Aslan. 

Saat kurasakan usapan lembut di rambutku, aku tahu Kenan sangat peduli denganku. Kugeser  bantal kepalaku dan kini berbaring miring. Menatap kenan yang menunduk dan mengamatiku. Raut wajahnya terlihat muram.

"Kenapa? Siapa yang buat mbak nangis?"

Suaranya begitu lembut, dia selalu seperti ini tiap kali aku menghadapi masalah. Kugelengkan kepala dengan perlahan, lalu beranjak untuk duduk dan menatap Kenan. Tangan Kenan kini mengusap bahuku. 

"Dokter Dimas? Ken juga gak suka sama dia. Besok Ken mau bilang sama ayah aja, bakpia coklat gak usah jadi ama Dokter Dimas. Kata-katanya itu selalu saja memerintah."

Aku mencoba untuk tersenyum mendengar ucapan Kenan. Dia ini memang sama denganku. Kalau tidak suka dengan seseorang pasti akan langsung mengatakannya.

"Semuanya Ken, Aslan juga buat mbak nangis."

Mendengar jawabanku, Kenan kini membelalakkan matanya. Dia malah kini beringsut dan bersandar di bahuku. Kedua tangannya memelukku erat.

"Ken, tahu kok, Mas bos itu cinta pertamanya bakpia, tapi apa sekarang masih juga suka?"
Pertanyaan Kenan itu membuat air mataku kembali mengalir. Ini terlalu menyakitkan untuk diingat. Aku sudah mulai menata hati untuk melupakan semua kenangan, tapi kenapa Aslan tiba-tiba datang dan langsung melamarku?

******* 

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku tentu saja menjawab saat mendengar salam itu. Sepertinya... dan benar saja saat sampai di ruang tamu aku melihat ayah sudah berdiri di ambang pintu. Aku langsung menghambur ke hadapan ayah. Dokter gigi milikku itu kini masih tampak tampan, meski usianya sudah tidak muda lagi. 

"Ayah, kok gak kasih tahu Pia sama Kenan?"
Aku mencium telapak tangan ayah dan kini memeluknya. Ayah mengusap kepalaku lalu menatapku.

"Kamu baik-baik saja?"
Kuanggukan kepala, tapi rasanya ingin menangis kalau seperti ini. 

"Siapa yang datang Pia?"

Suara bude membuat aku dan ayah menoleh. Bude langsung tersenyum cerah begitu melihat kedatangan ayah.

"Kafka, mana Rahma? Naik apa?"

Ayah langsung melepaskanku dan melangkah mendekati bude. Mencium tangan bude dengan sopan.

"Rahma lagi nemenin Nisa. Dia kerjanya gak bisa ditinggal juga."

"Ya udah, masuk, duduk. Bude buatin jahe anget mau ya?"

Ayah langsung menganggukkan kepala. Aku menyeret travel bag warna hitam milik ayah,yang masih di teras lalu membawanya masuk. Ayah kini duduk di sofa ruang tamu dan menatapku lagi.

SIAP MAS BOS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang