Aspia 14

27.1K 4.1K 137
                                    

Aku mengusap lengan yang terasa dingin. Akhirnya aku benar-benar disuruh lembur. Meski bukan di kantor, tapi di cafe depan kantor. Aslan beralasan kalau di sini banyak orang dan tidak akan ada setan diantara kami. Tapi sejak tadi dia sibuk dengan laptopnya. Sedangkan aku hanya memainkan ponselku. Lha aku disuruh di sini, buat jadi patung? Sementara dia terus menjejaliku dengan makanan-makanan yang terus dipesan.

"Dingin?"

Suara itu membuatku mengalihkan tatapan kepada Aslan. Aku memberengut dan menganggukkan kepala. Udah tahu aku gak pake jaket, terus ini di ruangan Ac, udah malam juga. Aslan kini malah menegakkan diri dan melepas jaket jins yang dipakainya.

"Pakai ini."

Ih masa aku suruh pakai jaketnya? Kan malu. Lagipula aku bukan siapa-siapa dia. Gak boleh.

"Pia.."

Aslan masih mengulurkan jaketnya kepadaku. Tapi kugelengkan kepala.

"Enggak ah pak. Bukan mahram."

Jawabanku tentu saja membuat Aslan mengernyit, tapi kemudian dia menghela nafasnya lalu beranjak dari duduknya. Aku tentu saja bingung, tapi tahu-tahu dia sudah berdiri di belakangku dan meletakkan jaket itu ke tubuhku. Eh...

Dia kembali duduk di tempatnya dan fokus kembali ke laptop.

"Pak kapan kita pulang?"

Aslan kini menatap jam yang melingkar di tangannya.

"Bentaran lagi."

Aku makin kesal, udah dingin eh tapi ini udah hangat sih. Aroma segar menguar dari jaket yang kini menghangatkanku.

"Udah malem. Nanti dicariin Kenan."

"Ken udah aku telepon kok. Malah bilang have fun gitu."

Mendengar jawaban Aslan aku membelalak kepadanya. Tapi Aslan hanya mengangkat bahu dan meneruskan menatap laptopnya.

"Dih, terus dari tadi saya disuruh jadi patung di sini buat apa? Pegel ini pak."
Biarin aku merengek juga. Habis ngeselin sih. Mendengar hal itu akhirnya Aslan menatapku lalu kemudian mematikan laptop dan menutupnya.

"Jadi gak suka?"

Kugelengkan kepala. Aslan kini menyesap kopi yang terhidang di depannya. Dia ini kok santai banget coba?

"Nemenin aku gak suka? Dulu suka malah nyamperin aku."

Tuh kan dia ngeledek aku lagi.

"Udah deh pak. Kalau mau ngeledek terusin aja. Tapi Pia gak mau ya jadi calon istrinya bapak."

Eh...ngomong apa aku coba?
Aslan kali ini malah terbatuk. Aduh aku makin membuatnya runyam. Wajahnya memerah dan masih terus batuk padahal udah minum air putih. Duh aku salah ngomong kan?

Live music di depan kini terdengar merdu. Tapi aku tetap merasa khawatir kepada Aslan yang kini tampak diam dan mengusap-usap dadanya.

"Maaf pak."

Aslan menatapku dan mengusap hidungnya yang memerah. Pasti sakit banget deh, aku juga pernah tersedak kayak gitu.

"Kamu udah gak mau sama aku karena Dokter Dimas ya?"

Lah kok dia nyinggung-nyinggung Dimas coba?

Aku menggelengkan kepala dan kini menatapnya. Lalu merapatkan jaket miliknya. Beneran aku kedinginan.

"Pak mending kalau bapak serius lamar saya ke ayah. Yang menjawab kan ayah bukan saya. "

Aduh mulutku ini. Tapi Aslan sepertinya mengerti. Dia menganggukkan kepala dan tersenyum.

"Ok."

Eh hanya gitu doang jawabannya? Dia langsung beranjak dari duduknya.

"Loh mau kemana pak? Jangan bilang mau langsung lamar ke ayah? Lha jauh harus naik kereta dulu satu malam pak. Ayah kan di Jakarta bukan di sini?"

Aku kayaknya mabuk pizza ini. Habis tadi suruh habisin pizza satu loyang sama Aslan jadi ngomongnya ngaco. Aslan kini malah mengernyit tapi kemudian tertawa. Yang membuat orang di sekeliling kami menatap aku dan Aslan. Kan malu.

"Pia, pia.... bakpianya Kenan dan calon istri masa depannya Kak Atma. Kamu kenapa gemesin sih?"

Ucapan Aslan itu tentu saja membuat pipiku lagi-lagi memerah. Padahal ya kalau ingat dulu, aku memang malu-maluin. Tiap kali ketemu Aslan, aku terus menggoda dia. Bahkan sampai membuat dia merona pipinya. Aku kok bisa kayak gitu ya dulu? Jaman SMA, masih labil-labilnya. Dan terlalu bucin kepada Aslan. Sekarang, aku diperlakukan begini oleh Aslan, malah yang keki sendiri. Ternyata gini nih, rasanya digoda terus?"

 Aslan makin menikmati pipiku yang memerah. Aku mengekorinya saat dia membayar di kasir, sedangkan aku hanya diam berdiri tanpa dosa di sampingnya. Lalu Aslan menoleh ke arahku, tersenyum lagi. Tuh kan, ini beneran pipiku masih belum reda apa ya? Kok Aslan malah tampak senang, melihatku seperti ini.

"Udah deh, pak."

Aku akhirnya mengatakan itu saat Aslan melangkah mengiringiku keluar dari cafe.

"Why?"
Tuh kan dia malah bertanya lagi? 

Kami akhirnya menyeberang jalan, karena mobil Aslan masih ditinggal di kantor. Sedangkan aku sudah mengetikkan pesan di ponsel.

Bakpia: Ken, jemput mbak yo.

Conan edogawa: Loh, Bakpia ubi ungu kan diantar mas Bos. Ken, tunggu di rumah aja. Jangan lupa, mintain game lagi sama mamas tersayang ya?

Bakpia: Dih, gak ada ya. Pokoknya jemput mbak. Tititk.

Conan Edogawa: Gak mau weeekk. Masih koma ini weeeekkk.. Bubeeehhh bakpia combro.

Aku mengentakkan kakiku saat mendapat balasan dari Kenan. Dia adik rese, emang. 

"Ada apa?"

 Aslan tiba-tiba menoleh ke arahku saat kami sudah sampai di depan kantor. Mas Budi, satpam yang bertugas di pos satpam menyapa kami dengan ramah.

"Ken gak mau jemput."

Aslan mengernyitkan kening, dia bahkan menatapku lekat.

"Lah ngapain? Kamu aku antar."

Jawabannya seringan kapas deh. Mending kalau kapasnya wangi, ini asem. Males aku.

"Biasanya juga gak mau satu mobil sama saya pak."

Aslan kini hanya mengangkat bahu dan meneruskan langkahnya.

"Kamu calon istriku, soon."


BERSAMBUNG'

 AIH AKU JUGA MAU DI SOON PAK ASLAN, SOON PIPI KANAN APA KIRI? HUAHAHAHAA

SIAP MAS BOS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang