ASPIA 49

37.3K 4.2K 125
                                    


"Jadi Mas memang mau beneran pergi?"

Aku bukannya sedang merengek kepada Aslan. Hanya saja ini kok rasanya nyesek saat mendengar dia tadi mengatakan kepada Melly, Nino dan Mbak Asih. Apalagi setelah itu Aslan benar-benar serius membuat laporan kepada Bos besar dan membahas tentang keluarnya dia beberapa hari lagi. Ini terlalu mendadak buat aku.

Aslan baru saja keluar dari dalam kamar mandi, rambutnya basah dan handuk kini melingkar di lehernya. Kami baru saja pulang, dan sekarang aku sedang tiduran di atas Kasur. Entah kenapa kepalaku pusing.

"Masih sekitar 2 mingguan kok, Dek."

Aslan kini naik ke atas Kasur lalu menatapku dan tersenyum.

"Tapi kan Pia..."

Aslan langsung mengusap rambutku dan kini menunduk untuk mengecup pucuk kepalaku. "Masih nyimpen surat dariku dulu nggak?"

Aslan memotong ucapanku. Yang malah membuatku mengernyitkan kening. Tapi kemudian aku memang teringat. Surat perpisahan dari Aslan yang diberikannya saat dia mau berangkat ke Mesir.

"Astaghfirullah. Pia kasih dimana ya Mas?"

Aku langsung beranjak duduk dan kini membuat Aslan tersenyum.

"Ya udah kalau nggak inget."

Tapi aku segera meloncat turun dan melangkah menuju lemari baju. Kubuka dan mengambil satu tas tempat menyimpan dokumen-dokumen penting. Mataku langsung berbinar saat melihat sampul kertas di depanku. Aku langsung mengambilnya.

"Masih ada Mas."

Aslan kini hanya tersenyum dan menepuk sisi sebelahnya. "Sini, kita baca sekarang."

Kuanggukan kepala lalu naik kembali ke atas Kasur. Aslan sudah mengulurkan tangan untuk merangkul bahuku, lalu meminta surat itu dan membuka amplopnya. Jantungku kok berdegup kencang saat Aslan mengeluarkan kertas surat itu. Lalu diberikannya kepadaku.

"Nih dibaca ya..."

Aku menganggukkan kepala dan kini membuka kertas yang sudah beberapa tahun terlipat. Jadi lipatannya itu sampai terlihat begitu jelas. Surat dengan penuh kenangan sedih kalau menurutku.

Aku merasakan usapan lembut di pucuk kepalaku. Lalu Aslan mengecupnya. Tanganku bergetar saat membukanya.

Assalamualaikum Sofia

Saat kamu membaca ini pasti kamu sudah menikah. Selamat ya, akhirnya impian kamu menikah tercapai. Jadi tidak sia-sia kamu selalu mengejarku dan menyebutku imam masa depan untukmu. Meski aku tahu, ini salah. Aku menulis ini disaat kamu pasti sudah mencintai orang lain. Pria yang sudah kamu jadikan imam, meski bukan aku.

Aku menghentikan bacaanku lalu mendongak ke arah Aslan yang kini malah memejamkan matanya. Wajahnya penuh dengan kesedihan. Aku tahu dia tidak mau membaca tulisan tangannya sendiri.

"Mas.."

Mata Aslan membuka, dia lalu menelan ludah.

"Mas inget saat nulis surat ini ya?"

Aslan langsung menganggukkan kepala, dia mengusap kepalaku dengan lembut.

"Aku menangis saat menulis surat ini. Aku pikir kita memang tidak bertemu lagi dan ini..."

Aslan menunjuk surat di tanganku lagi. "Baca dulu."

Akhirnya aku menganggukkan kepala lalu kembali ke tulisan tangan Aslan.

Selamat ya Sofia. Bidadari surgaku. Aku bermimpi kamulah yang menjadi istriku. Tapi kita tidak boleh mendahului takdir. Nasihatku, kamu harus mencintai suami kamu sepenuh hati ya? Jangan ingat aku lagi. Eh tapi pasti juga udah lupa. Aku memang jahat Sofia. Sangat jahat. Kamu berhak membuangku ke dalam lautan yang dalam. Buang semuanya. Tapi aku di sini, tetap berdoa untuk kebahagiaanmu.

Yang selalu menggenggam hatimu.

ATMA...

Love you forever..

Membaca suratnya itu aku membayangkan Aslan dalam keputusasaan yang sangat dalam. Aku langsung menghambur ke pelukannya dan menangis. Aslan memelukku erat dan menenangkanku. Lama kami terdiam sampai akhirnya aku sudah bisa tenang.

"Jadi Mas nulis ini karena Mas nggak bisa ungkapin semuanya ke aku saat itu?"

Aslan menganggukkan kepala lalu kini mengecup keningku.

"Saat itu Mas benar-benar patah hati. Ingin rasanya bilang sama kamu saat itu juga. Tapi yang ada kamu pasti akan mengharapkanku. Maka aku menulis surat dan mengatakan setelah kamu menikah. Biar kamu hanya menjadikan Mas kenangan, karena tidak mungkin juga kamu mengejarku lagi. Kamu sudah punya suami."

Aku langsung menatap Aslan yang kini juga menunduk menatapku.

"Tapi kita memang tidak boleh mendahului takdir kan? Buktinya suami Pia adalah Aslan, bukan Atma."

Ucapanku itu membuat Aslan terkejut, dia kemudian tertawa.

"Iya, Atma sudah patah hati. Yang ada kamu dapat Aslan yang mencintai kamu dan mau berjuang demi kamu. Bukan Atma yang lembek. Hust buang memori tentang dia, ok?"

Aku kini tersenyum dan memeluknya erat.

"Jadi intinya, dulu kita berjauhan dan tidak dalam kepastian. Tapi kita masih bisa bertemu dan menikah. Sekarang kamu sudah menjadi istriku, bukan ketidakpastian lagi. Jangan bersedih ya? Kamu aja kuat aku tinggal dulu ke Mesir, sekarang kamu juga harus kuat. Aku cuma satu bulan di Turki, jadi nggak usah sedih dan bilang LDR-an nggak sanggup. Ok."

Ucapan Aslan membuat aku terbahak, dan membuat wajah Aslan terlihat bingung.

"Emang siapa yang sedih coba? Pia mah seneng, sebulan nggak ada yang ngaum kayak singa, yeee..."

Seketika wajah Aslan langsung terlihat galak.

"Piaaaaaaaaaaa."

BERSAMBUNG

Yeaiii memang dibuat beda ya Aslan tetap berangkat ke Turki, tapi jangan komen nanti dia kepincut pelakorlah inilah. Tenang konflik punya author itu antimainstream. Kagak ada bakal pelakor segala, udah biasa itu mah.

EH SURAT YANG DI SURAT UNTUK KETOS UDAH KELUAR YA ITU YANG NANYAIN...YANG BELUM TAHU BACA SURAT UNTUK KETOS DULU, ROMANSA PIA ATMA MASA SMA

SIAP MAS BOS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang