Aspia 12

26.6K 3.9K 164
                                    


"Bakpiaaa kacang ada telepon dari ayah."
Aku langsung memakai kacamataku saat mendengar teriakan Kenan.

Pagi ini hari minggu, yang artinya aku libur kerja. Inginnya sih bermalas-malasan di rumah. Tapi si Kenan minta dianterin beli peralatan sekolah. Jadilah aku sudah mandi dan cantik. Tapi hatiku masih tetap merepih setelah ucapan Aslan kemarin. Aku tidak mau menyebutnya si bos lagi karena itu terlalu susah. Juga tidak mau menyebut Kak Atma lagi karena itu akan menimbulkan kenangan yang nano-nano rasanya buatku. Mengetahui dia dulu pernah akan menikah hal itu masih membuatku perih. Tapi toh memang bukan salah siapapun. Aku juga sedang dalam masa perjodohan saat ini.

"Nih..."

Kenan sudah masuk ke dalam kamar lalu memberikan ponselnya kepadaku. Aku langsung menerima dan kini menempelkan di telinga. Kenan sendiri kini malah tiduran di atas kasurku.

"Assalamualaikum ayah."

Begitu aku duduk di tepi kasur, Kenan kini menggelendot manja di bahuku. (

"Waalaikumsalam. Pia udah sehat? Katanya Dimas. kamu kecelakaan?"
Aku langsung mengernyit dan kini menatap Kenan. Dia juga sepertinya mendengar ucapan ayah di ujung sana.

"Enggak ayah. Pia cuma keserempet kok. Kaki cuma terkilir."
Akhirnya aku menjawab itu. Padahal aku sama Kenan dan bude juga sepakat gak akan memberitahu ayah dan bunda biar gak khawatir. Eh ternyata malah dapatnya dari Dokter Dimas. Itu orang ih..

"Kenapa gak bilang sama ayah? Bunda denger langsung nangis. Beneran udah gak apa-apa? Kalau enggak ayah sama bunda mau ke Yogya. Kata Dimas juga kamu udah bandel masuk kerja."

Tuh kan aku jadi kena omel. Kuhela nafasku dan kini Kenan tambah merapat ke arahku.

"Enggak apa-apa ayah. Bilang sama bunda, Pia udah bisa lari-lari kok. Tenang saja."

Ada jeda di sana. Pasti ayah sedang memberitahu bunda.

"Ya udah kalau gitu. Tapi jangan bohong lagi ya? Kenan mana? Ayah mau ngomong."
Aku langsung memberikan ponsel kepada Kenan yang langsung diterimanya.

Kali ini aku kesal dengan Dokter Dimas, dia sudah melanggar janjinya untuk tidak bilang ke ayah.
Aku langsung meraih ponselku sendiri yang ada di atas nakas.

"Assalamualaikum dokter. Pia gak suka dokter bilang sama ayah soal kecelakaan Pia."

Aku langsung mengirimkan pesan itu. Biarlah, aku kesal kalau dia terlalu banyak mengurusi masalahku. Padahal kita sendiri belum ada hubungan apa-apa.

"Waalaikumsalam. Maaf Sofia, kemarin itu aku bilang ke papa kalau kamu kecelakaan dan mungkin papa langsung bilang ke Om Kafka. Maaf ya."

Aku membaca balasannya. Dia selalu begini mencari pembenaran. Aku letakkan ponsel lagi di atas kasur dan kini melirik Kenan yang juga baru saja mengakhiri teleponnya dengan ayah.

"Udah yuk berangkat. Keburu siang."

Akhirnya kuanggukan kepalaku. Mending have fun aja daripada terlalu mumet memikirkan semuanya.

*******
Akhirnya kami ada di sini. Biasa walaupun Kenan udah SMA kebiasaannya main di time zone tetap saja. Aku yang sudah kelelahan diseret ke sana sini akhirnya cuma duduk dan melihatnya yang kini asyik main.

"Sofiaaaa...aih ketemu di sini."

Aku langsung menoleh ke arah suara itu dan menemukan Mbak Asih yang tersenyum senang melihatku.

"Mbak Asih sama siapa?"
Mbak Asih kini menunjuk anaknya yang baru kelas dua sd yang sedang bermain.

"Biasa kalau minggu gini, kamu sendiri ngapain?"

Gantian aku yang menunjuk Kenan dan Mbak Asih langsung tertawa.

"Eh Pi, adek kamu itu masih kecil kok wes ganteng yo? Pesonahnya gitu loh udah ada. Nek aku masih muda aja tak pek pacar."

Kali ini aku terkekeh mendengar ucapan Mbak Asih.

"Apaan sih mbak, entar si Kenan gede kepala tuh."

"Lha emang iyo kok. Gedenya bakalan kayak si bos kita wes."

Mendengar ucapan Mbak Asih jantungku berdegup kencang.

"Bos tuh nek gak galak pasti gantengnya tumpah-tumpah yo? Eh tapi dia udah ada yang naksir loh. Kemarin pas makan di kantin bawah tuh, anak-anak spg lagi ngerumpiin dia."

Aku hanya tersenyum tipis. Bagaimanapun pesona Aslan memang sudah ada sejak dulu. Aku saja juga begitu.

"Sayang kamu udah punya Dokter Dimas. Coba kalau belum kan aih cucok meong kamu sama si bos."

Aku langsung menoleh ke arah Mbak Asih. Dia ini kadang kalau ngomong itu memang suka ceplas-ceplos.

"Apaan sih mbak. Enggak ah."

Pipiku terasa panas sebenarnya. Aku malu.

"Eh eh lha kok pucuk cemara pinus pun tiba."

Aku bingung dengan ucapan Mbak Asih yang amburadul itu. Tapi seketika juga menatap mbak Asih yang kini malah melihat ke arah kanan.

Di sebelah wahana bom-bom car di sanalah sosok yang kami bicarakan baru saja berdiri. Dia tengah memakai kacamata hitam, celena cargo warna navy dan kaos polo putih. Tampak sangat gagah berdiri.

"Omongane dewe kok manjur yo Pi? ( omongannya kita kok tepat ya pi)"

Mbak Asih berbisik di sebelahku. Aku kini hanya menganggukkan kepala. Tapi mata masih terarah ke Aslan yang tampaknya sudah melihat kami, tapi kemudian Kenan yang melihatnya juga langsung memanggilnya. Aslan langsung melangkah ke arah Kenan, ber tos ria dan mengacak-acak rambut Kenan. Mereka berdua cepat sekali akrab.

"Woooo papaable banget wes to Pi."

Mbak Asih masih berdecak-decak kagum di sampingku. Dan apa kabar hatiku yang saat ini sudah kembali ditumbuhi bunga-bunga musim semi setelah sekian lama gersang. Aku jatuh cinta lagi.

"Sik yo pi, itu anakku manggil je."

Mbak Asih sudah beranjak dari duduknya dan kini melangkah ke arah anaknya. Sedangkan aku kini mengalihkan pandangan ke arah Kenan lagi. Tapi Aslan sudah tidak ada di sana. Loh dia kemana coba?

Kuedarkan pandangan ke sekitar tapi juga tidak menemukannya. Saat akhirnya fokus lagi ke depan aku hampir terlonjak. Karena di depanku sudah ada orang yang baru saja aku cari.

"Astaghfirullah."

Kuelus dadaku, tapi Aslan kini tersenyum.

"Kenapa? Nyariin aku?"

Tentu saja aku langsung menggelengkan kepala dengan cepat.

"Aku kangen sama kamu Sofia."

Tentu saja aku makin terkejut dengan ucapannya. Aih dia ngapain coba? Ngomong kayak gitu di tempat rame begini?

Bersambung

Hohohoho udah gak melow lagi kan?
Coment yuk kalau rame dobel up

SIAP MAS BOS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang