.
Lee Jihoon bukannya tidak tahu tentang bisikan buruk disepanjang koridor sekolah untuknya, dirinya tahu.
Tentang tatapan merendahkan yang ditujukan padanya, ia paham.
Alasan mengapa ia dilabeli perusak hubungan orang, ia mengerti.
Sadar atas posisinya, ia menyalahkan diri yang tak mampu menahan sahabatnya untuk tetap jauh di jarak aman. Meski ia juga meragu jika bisa tetap bertahan jauh dengan sahabatnya.
Pagi itu kepalanya tertunduk. Menatapi lantai koridor yang lebih baik ketimbang manusia jahat di sekelilingnya yang menghujat dengan mata.
Tepukan pelan di bahu kiri membuat ia mengangkat kepala. Disambut dengan senyum secerah matahari.
Dia Lee Seokmin.
Adik tingkat yang akhir-akhir ini menjadi sosok penyemangatnya. Energinya yang kelewatan batas nyatanya efektif menularkan senyum di wajah bulat Jihoon pagi itu.
Ia tidak akan merasa sepi lagi ketika waktu makan siang. Seokmin, satu-satunya pemuda yang hari itu mau duduk di hadapannya, menemaninya, dan lagi-lagi menerbitkan tawanya.
Di sore hari ketika dirinya melangkah pulang, sekarang ada sepasang sepatu lain yang melangkah bersama, dengan suara tawa melengking khas adik tingkat yang tinggi badannya menjulang di atasnya.
Yang tanya di mana Kwon Soonyoung, dia belum mati 'kok, tenang saja.
Bahkan ketika Lee Jihoon berjalan lelah di sisa hari malam itu, bukan lagi sahabat kecilnya yang memaksa menyampirkan jaket di atas bahunya.
Tangannya dihangatkan, digenggam erat selama melangkah beriringan. Meski hanya sunyi yang menemani ketika dua manusia itu sampai tujuan.
Jihoon masih tetap diam, membiarkan tubuhnya direngkuh dalam pelukan penuh afeksi yang lebih muda. Usapan halus di punggungnya dan bisikan penenang di puncak keplannya.
Detik itu Jihoon sudah rela jika memang Soonyoung benar-benar pergi dari sisinya.
Hanya saja, takdir belum membiarkan. Pelukannya terlepas paksa ketika entah siapa menarik mundur yang jangkung pada pukulan telak di rahang.
Jihoon tidak terima. Kebaikan hati Seokmin dibalas kasar oleh pemuda tidak tahu diri yang seenak jidat lebarnya malah membuang sahabatnya.
Lee Jihoon merasa ditinggalkan oleh sosok itu. Dia tidak lagi menyapanya di pagi hari, tidak ingat dengan eksistensinya di sekolah, bahkan tidak pernah meliriknya ketika berpapasan di depan pagar kediaman masing-masing.
"Kwon Soonyoung berhenti!"
Suaranya sarat akan kecewa. Matanya berkaca dan hidungnya bahkan sudah memerah.
"Aku menyesal pernah mengenalmu."
Dan mulai hari itu hubungan keduanya makin merenggang.
Nyatanya itu hanya sebuah mimpi buruk Kwon Soonyoung di tengah malam. Ia terbangun dengan napasnya yang tertahan sebelum kembali membuang napas panjang merasa lega.
Sahabat kesayangannya masih nyaman di dalam tidur berbantalkan lengan kanannya. Ia makin merengkuh Jihoon dalam dekapan erat. Mengecupi pelipisnya dengan sayang bersama usapan halus di pipi.
Lalu mencuri ciuman kecil di ranum Jihoon sebelum mulai mengarungi mimpi lagi. Berharap mimpi buruknya tidak akan pernah jadi kenyataan.
