8. Rumah Kusut sang Kepala Suku

129 21 1
                                    


Besoknya, aku sudah beranjak dari rumah panggung nenek menuju ke rumah kepala suku itu, awalnya aku mau kabur dan lari dari hutan ini tetapi, Sandra selalu meawasiku bersama dengan Synta.

Banyak sekali warga yang kulihat mirip sekali dengan penampilan nenek, gigi hitam, kulit hitam, rambut seperti tali yang awur awuran, berjalan tanpa alas kaki. Menyeramkan sekali.

"Jangan menatap mereka nak, mereka pengabdi kepaa suku," Aku mengangguk saja dan memalingkan wajahku.

"Sandra hilang!" Histeri Synta, Trya tersentak kaget. Mengapa menghilang.

"Mengapa?" Trya berusaha bertanya pada Synta yang tadinya teriak.

"Tubuhku juga melemah Trya, mungkin aku tidak bisa masuk kedalam. Mereka sedang mengadakan upacara didalam," Aku mengerti maksudnya, para hantu itu tidak tahan karena di dalam sedang mengadangan upacara ritual entah acara apa itu.

"Nek, Sandra menghilang dan Synta juga," Wajah panik mendominasi perasaanku sekarang, aku benar benar ketakutan.

"Setiap harinya mereka mengadakan upacara, rumah ini memang terlindungi dari khawasan hantu," jantungku berdebar, Rasanya aku mau menangis, lantas bagaimana rencana kemarin, kami telah menyusunnya dan sekarang satupun hantu tak dapat membantuku.

Bisakah aku berbuat sendiri, aku tidak mau mati mati sia sia, aku masih mau bertemu ibu, aku masih mau sekolah, menikmati masah jombloku sampai aku punya seseorang. Lupakan!! Aku tidak akan pernah hidup setelah masuk kedalam rumah ini.

"Berpakaianlah layaknya nenek nak, Kita akan datang untung memijit para orang rumah," Apa usul nenek akan berhasil, bagiamana jika aku ketahuan dan di bunuh.

"Nenek akan selalu menjagamu nak, nenek bertaruh nyawa membantu Sandra karena rasa bersalah nenek," Aku ingin sekali menangis karena nenek sangat merasa bersalah akibat kematian sandra.

"Jangan begitu nek, nenek tidak bersalah, ini semua takdir, mungkin takdir Trya kesini untuk membantu sandra, nenek dan warga keluar dari kampung ini," Berkata seperti itu memenang gampang tetapi melakukannya sulit, aku berkata seolah berani padahal aku tidak bisa. Dasar sok bisa, meski aku tak rela nyawaku sia sia, apa salahnya membantu. Dasar ambigu.

"Baik nek, tetapi bagaimana aku bisa mengubah penampilanki seperti ini," Aku menunjuk nenek yang benar benar seperti hantu, maafkan aku nek mengataimu, itu hanya deskripsiku tentangmu.

"Nenek punya baju, kamu hanya mengambil arang dan menyapu bersih kulit putihmu itu beserta gigimu," Pertama kalinya aku berbuat bodoh, tetapi apa salahnya berbuat menjijikan hanya untuk membantu seseorang.

"Jadi, kita balik lagi nek," Nenek mengangguk lalu berbalik mendahuluiku, cepat cepat aku menyusul nenek.

"Nek, apa yang mereka lakukan sehingga bersikap seperti itu," Tunjukku pada salah satu pria yang sedang menjemur ikan.

"Mereka sudah terpengarug pada kepala suku nak, kepala suku mengunakan jin untuk menguasai pikiran mereka," Aku mengangguk, mistis sekali.

Tibanya aku di rumah panggung nenek, aku segera menyusul nenek masuk kedalam ruangan di bawa rumah panggungnya, seperti gudang.

"Pakailah baju ini, ini juga arang pakaikan pada kulitmu," Suara serak nenek kemudian hilang dengan pintu yang tertutup, gudang ini terbuat dari bambu yang sudah di potong kecil kecil dan di satuhkan dengan rotan, otak yang menakjutkan bukan.

Setelah semua tubuhku kulumuri arang, aku memakai baju kusut seperti yang di pakai nenek, betapa aku mirip orang kampung ini, menyeramkan. Aku menatapsekelilingiku berhati hati, aku sempatkan mengambil telephone genggamku untuk memotret diriku, Alay.

Beberapa ku ulangi dengan gaya berbeda pula, semoga saja tuhan masih mengisinkanku hidup, amin. Jika tuhan masih mengizinkan aku hidup, aku bisa mengambil potret bersama nenek nanti, sangat menakjutkan.

Setelah itu, aku memutuskan untuk keluar dan beranjak bersama nenek ke rumah dimana tadi aku sempat memijak.

"Apakah kamu merasa nyaman?" Tanya sang nenek melihat ki dengan ekor mata, aku merasa bodoh, aku mau bilang 'iya' tetapi rasanya memang tidak enak dan menjawab 'tidak' takutnya nenek tersinggung.

"Katakanlah, aku tak akan merasa tersinggung," Aku tersenyun kikuk dan mengangguk, jika bisa kulitku akan gatal gatal nantinya.

"Doakan saja, semoga kita selamat," Ucapan nenek membuatku ketar ketir, bagaimana tidak, itu mampu membangun citra di dalam tubuhku. Apakah aku sedang mempertaruhkan nyawaku sekarang.

"Ayolah," Ajak nenek telah mendahuluiku, aku mengikutinya memasuki rumah putih yang kusut itu, itu adalah satu satunya rumah yang berbatu di sini semua rumah kampung disini terdiri rumah panggung.

Aroma menyengat masuk ke lubang hidungku, aroma asap dupa didalam sangat menyengat. Aku tidak suka aroma dupa, terapi aku tetap pada pijakanku dan masih terdiam diri menahan nafas.

"Permisi, saya kesini ingin menawarkan pijakan," Ujar nenek pada salah satu pengawal rumah yang berpakaian seperti nenek, kusut

"Maaf, kepala suka baginda sedang upacara roh jahat, tidak ada orang lain yang dapat memasuki rumahnya tanpa seisinya," Ujar pengawal tersebut, kemudian berjalan kembali berdiri didepan pintu kayu yang agak tidaj terawat, padahal didepan halaman terdapat bunga bunga cantik dan indah.

"Saya akan menunggu sampa tuan kepala suku mau saya tawarkan pijakan," Ujar nenek, ia beberapa kali menghelan nafas kasar.

"Siapa!!" Nyaring suara beriton itu membuatku dan nenek tersentak, suaranya nyaring sekali.

Salah satu dari pengawal itu bergegas masuk kedalam, apakah itu kepala suku dan apakah ia marah. Oh tidak, bagaimana jika dia memang benar benar marah, habislah riwayat hidupku.

Wajahku pucat pasih, itu menandakan aku sedang cemas, mencemasi diriku.

"Kamu tenang saja nak, dia tidak akan melukai kamu karena dia tahunya kamu warga kampung ini, satu lagi. Ubah suaramu seperti seorang nenek, jika tidak penyamaranmu akan terbongkar," Jelas sang nenek, aku mengangguk saja. Kali ini aku harus diam tak boleh banyak bicara.

Cukup lama kami berdiam, sang pengawal keluar dari rumah tersebut dan berbicara pada temannya dan menatap kami beberapa detik.

"Baiklah, kalian tukang pijit, ayo masuk. Tuan kepala suku ingin di pijit," Ujarnya, rasanya senang tapi sedih juga memasuki rumah ini yang seperti neraka didalamnya.

Aku mengikuti nenek dari belakang, aku terus menunduk layaknga nenek dan membawa tongkat, penyamaran luar biasa.

Tibanya ku didalam, ingin rasanya aku pipis di celana, bagimana tidak. Isinya semua adalah tulang. Tetapi rumah ini masih kokoh dan di dalamnya masih bagus meski banyak menghitam akibat sudah lama tidak di bersihkan oleh manusia pada umumnya.

"Jadi kau ingin memijit, Mayang," Jadi nama nenek ini mayang, aku baru tahu bahkan, aku tidak berkenalan dengan sang nenek.

"Iya, tuan," Jawab nenek dengan sopan, sepertinya kepala suku ini sangat garang, lihat saja dirinya sangat besae sepertj monster.

"Kau punya teman baru rupanya," Ujarnya menunjukku, ini saat paling menegankan. Di tunjuk oleh manusi killer seperti Kepala suku ini, dasar dekil.

"Aku suka pijakanmu mayang tetapi, aku ingin mencoba pijakan dari temanmu ini," dasar si dekil mesum, bisa bisanya ia tertawa jahat seperti itu.

Mayang menatapku lalu mengangguk, aku semakin cemas. Kepala suku berjalan entah kemana itu tetapi, nenek menyuruhku mengikutinya. Yang benar saja.

"Aku takut nek," Ujarku pelan, suaraku benar benar lirih.

"Pergilah, aku akan memijiit sang wakil kepala suku, nyonya rumah ini," Perasaanku benar benar tidak karuan, katanya hantu itu akan membantuku, dimana dia sekarang, aku rasanya ingin menangis.

***

Misteri Buku HarianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang