FLIGHT 1

3.4K 229 79
                                    

-AWAL PENERBANGAN KEHIDUPAN-

========================


23 Hari sebelum keberangkatan ke New York.

KOTA Baru Parahyangan nampak begitu sejuk di kala matahari lagi terik-teriknya melemparkan panas ke hamparan bumi Pasundan. Aku baru saja turun dari BMW 6 Series GT yang kuparkir di depan rumah. Tak hanya mobilku, di depan rumah ada satu Toyota Rush putih yang kupastikan adalah mobil Bibi Liza. Adik dari mama yang pernah tinggal bersama sejak ia kecil hingga menikah dan sudah kuanggap sebagai kakak sendiri. Di garasi sana ada dua mobil yang jelas adalah milik kedua orang tuaku.

Hari ini ada kumpulan keluarga untuk membicarakan warisan kakek dari papaku yang sempat bermasalah dari sejak satu tahun ke belakang. Karena itu aku bela-belain pulang lebih cepat dari kampus di bilangan Sukajadi sana mengingat acara akan dimulai jam dua siang.

Hari ini Sabtu, jam dua lebih sepuluh menit. Artinya aku sudah telat gara-gara kejebak macet yang sudah menjadi penyakit keterlambatan hampir setiap orang.

Sama seperti keluarga pada umumnya, meski pembahasan di Sabtu siang ini adalah pembahasan serius, tetapi semuanya dikemas dengan kehangatan keluarga. Terlebih ada Zayn, anak bungsunya Bibi Liza yang lagi aktif-aktifnya di usia 3.5 tahun yang berkali-kali membuat kami tertawa bahkan pusing dengan tingkahnya. Apalagi aku. Sebagai orang yang bisa dibilang paling dekat dengan Zayn, aku juga ikut pusing karena dapat tugas jadi pengasuhnya secara tidak langsung. Tetapi aku sudah tahu trik jitu untuk membuatnya diam.

Zayn adalah anak zaman sekarang yang tumbuh bersama teknologi. Maka solusi tercepatnya hanya satu, YouTube.

Ya, anak sekecil itu sudah mengerti aplikasi berbagi video itu bahkan ia sudah pintar menggunakan ponsel. Zayn paling anteng kalau sudah nonton serial anak-anak, Taiyo. Bi Liza biasanya marah kalau aku sudah memberikannya ponsel. Tetapi disaat-saat darurat seperti ini, ia aka membiarkannya.

Aku bisa saja membawa Zayn pergi keluar. Tetapi papaku melarang. Katanya aku sudah dewasa dan harus tahu masalah pembagian hak waris. Sehingga aku harus tetap di dalam rumah. Bahkan adikku yang baru mau masuk SMA saja harus ikutan.

Karena sudah mengerti juga dengan kondisi Zayn yang dalam masa aktif seperti itu, orang tuaku tak mempermasalahkannya meski Bi Liza berkali-kali merasa tidak enak hati karena tingkah Zayn yang bikin geleng-geleng kepala. Ya mau gimana lagi, Bi Liza tidak mengandalkan pengasuh untuk mengurus Zayn. Kakaknya, Zidan yang saat ini kelas lima Sekolah Dasar pun belum dipercaya untuk mengasuh adiknya. Alhasil Zayn ada di tengah-tengah keluarga.

Jam empat sore, Zayn sudah tertidur di sofa ketika pembicaraan seputar hak waris selesai. Om Irwan, papanya Zayn juga sudah lebih dulu pergi ke masjid bersama adikku untuk salat Asar lima menit yang lalu. Di rumah tinggal aku bersama kedua orang tuaku dan Bi Liza.

"Papa tumben gak salat tepat waktu?" aku menuangkan orange juice ke dalam gelas. Sementara itu ibuku menggendong Zayn ke kamar.

Meski kami bukan dari keluarga yang religious, tetapi soal salat, papa selalu melaksanakannya di awal waktu. Berbeda sekali denganku.

Belum sempat jus itu mengenai tenggorokanku, tiba-tiba saja papa meminta ponselku. Reflek aku mengerutkan dahi sebelum menuntaskan jus itu ke dalam perut. "Buat apa Pah?"

"Musik di Hp Papa kok gak bisa diputar ya? Coba lihat punya kamu" Papa menjulurkan tangannya.

Aku sempat ragu untuk memberikannya. Bukan apa-apa. Beberapa aplikasi sesama jenis masih terpasang di dalam ponselku. Aku memang sudah menyembunyikannya di folder privasi, tetapi ada akun alternatif alias akun palsu Twitter-ku yang belum sempat aku keluarkan. Masalahnya kalau sampai papaku membuka Twitter itu, aku bisa kena masalah besar. Twitter dengan akun palsu itu pasti dipenuhi timeline yang menyebarkan status berisi cuplikan dewasa sesama jenis.

TRANSITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang