FLIGHT 23

842 89 16
                                    

-DAY 1: BOARDING-

=========================

"JADI yakin nih lo gak mau nongkrong dulu?" Tanya Dimas, rekan kerjaku.

"Besok-besok aja deh bro, serius gue masih capek banget kalau sekarang. Baru tidur berapa jam soalnya" aku meyakinkannya untuk ketiga kalinya.

Iya mendengus sedikit kesal. "Ya udah gak masalah. Tapi besok janji ya"

"Iyee..." Kataku singkat.

Salahku juga sih, dari sejak minggu lalu membuat janji untuk nongkrong sama mereka selepas pulang kerja karena dari awal aku kerja di sini, belum sekalipun aku meluangkan waktu untuk kumpul dengan anak-anak divisi. Padahal biasanya orang-orang baru di suatu perusahaan suka ikut kemanapun diajak sama senior sebagai cara untuk pendekatan. Sementara aku gak melakukan hal itu. Kendati demikian, aku tetap dekat dengan mereka.

"Ya udah gua duluan ya Dim. Eh, Jo, Meta, Sekar, Jaka, gua duluan ya" aku melambaikan tanganku pada beberapa rekan kerjaku yang masih pada duduk santai di meja kerja mereka.

"Oke..." Meta mengacungkan jarinya ke arahku membentuk lingkaran berbentuk 'OK'.

"Hati-hati!" Timpa yang lainnya serempak.

Sejujurnya, aku ingin sekali kumpul dulu dengan mereka. Apalagi malam ini salah stau rekanku ada yang baru mendapat promosi jabatan. Mereka akan merayakannya.

Aku? Sebenarnya bukan capek. Tentu karena dalam sepuluh hari ke depan ada seseorang yang begitu berharga di hatiku yang sedang menungguku di rumah. Aku tak sabar untuk bertemu dengannya. Bahkan dari habis makan siang tadi, kerjaanku gak begitu fokus karena terus menerus melirik ke arah jam sambil bertanya dalam hati "kapan pulang?".

Akhirnya yang ditunggu-tunggu tiba. Aku pun pulang menggunakan Transjakarta karena Hesa harus lembur. Gak masalah sih. Toh aku juga gak selalu pulang bareng dia. Malahan aku senang dia gak mengantarku. Karena dengan begitu, aku dan Belva bisa menikmati malam ini berdua.

===

TOK TOK TOK!

"Assalamualaikum" sapaku setibanya di apartemen

Gak membutuhkan waktu lama, Belva langsung membukakan pintu.

"Boarding pass-nya Pak" sapanya.

Aku terdiam. Bukan karena dia yang menanyakan hal aneh seperti boarding pass padaku, tetapi ia menyambutku dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya. Masalahnya, kalau handuk berukuran biasa mungkin sikapku akan biasa saja. Tetapi ia sedang mengenakan handuk kecil yang lebarnya gak sampai dua jengkal dan panjangnya pas sehingga nyaris memperlihatkan belahan di bagian tengah. Meski aku pernah melihatnya telanjang dada sewaktu di New York dulu, kali ini berbeda. Ia nampak lebih seksi. Bulu-bulu halus di dadanya ia cukur bersih sehingga memperlihatkan dada putihnya yang juga mengkilat karena basah akibat tetesan air dari rambutnya. Ah, padahal kalau dipikir-pikir, dadaku jauh lebih bidang dari dia. Aku berani jamin kalau dia akan sangat suka kalau melihat dada bidangku ini. Tapi melihat dia kenapa rasanya begitu seksi? Perutnya saja lebih bagusan aku perasaan. Iya, perasaanku sih begitu.

"Maaf? Boarding pass-nya Pak. Kenapa Bapak malah bengong?" Belva menyadarkanku dengan melambaikan tangannya di depan mukaku.

"Eh, apa?"

"Boarding pass Pak..." jawabnya pelan.

Aku menatapnya sesaat. "Ini kan bukan di pesawat. Kok..."

"Aaahh... Lama kamu ini. Ya udah masuk-masuk" ia menarik tanganku dengan cepat.

"Hem?"

"Masuk Gelaaaar.... Mau sampai kapan bengong di depan pintu? Aku mau pakai baju dulu. Nitip Langit ya" Ia menutup pintu dan menguncinya.

TRANSITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang